Sebagai umat Islam di Indonesia, kita patut bersyukur karena memiliki banyak sekali ulama yang ahli dalam pelbagai bidang keilmuan. Mereka memiliki silsilah keilmuan yang bersanad jelas sampai ke Rasulullah. Juga memiliki karya tulis yang menjadi sebuah legacy intelektual berupa banyak sekali kitab dan juga menelurkan banyak santri yang menjadi ulama besar kemudian.
Kehadiran Nahdlatul Ulama tak bisa disangkal menjadi benteng besar akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah di Nusantara. Pemahaman akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah diwariskan secara turun-temurun, bersanad jelas, mengikuti ajaran Rasulullah, para Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in serta para ulama besar di sepanjang zaman.
Misalnya, keberadaan ulama tiga serangkai Guru-Murid yang menuliskan urgensi umat memegang teguh pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam kitabnya masing-masing. Mulai dari Kiai Sholeh Darat (1820-1903 M) yang menulis kitab tauhid Sabilul Abid fi Jauharah at-Tauhid, lalu muridnya, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947 M)—yang pernah nyantri ke Semarang sebelum berangkat ke Haramain—dengan karyanya Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, serta muridnya, Syekh Abul Fadhol Senori (1917-1989 M) dengan kitabnya Syarah Kawakib al-Lama’ah. Kalau kitab pertama membahas seputar ilmu kalam sesuai pemahaman para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, maka dua kitab selanjutnya membahas definisi siapa yang layak disebut sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah.
Menguatnya istilah Ahlussunnah wal Jama’ah sendiri sebagaimana telah digambarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya: “Umat Yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, hanya satu golongan saja yang masuk surga sedangkan tujuh puluh golongan sisanya akan masuk neraka, umat Nashrani juga telah terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, sedangkan tujuh puluh satu golongan dari mereka akan masuk neraka terkecuali hanya satu golongan saja yang akan masuk surga selanjutnya aku bersumpah demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamannya, sungguh umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, sedangkan hanya satu golongan saja yang akan masuk surga adapun tujuh puluh dua golongan sisanya akan masuk ke neraka”. Lalu sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Siapakah yang termasuk satu golongan yang selamat tersebut wahai Rasulullah”? Rasulullah Saw. menjawab: “al-Jama’ah”.
Pada mulanya, masyarakat muslim di pulau Jawa mengikuti madzhab yang sama, memiliki landasan referensi dan metode pengambilan hukum yang sama. Dalam bidang fiqih mengikuti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; dalam akidah mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, dan dalam tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Abu Hasan as-Syadzili. Ini sebagaimana dijelaskan oleh KH. Sholeh Darat. Selanjutnya beliau menjelaskan prinsip agama secara ringkas bisa dibagi kedalam empat hal: (1) صِدْقُ الْقَصْدِ (niat yang benar) beribadah dengan niat ikhlas karena Allah; (2) وَفَاءُ الْعَهْدِ (menunaikan janji) melaksanakan seluruh kewajiban dari Allah; (3) تَرْكُ الْمُحَرَّمَاتِ , meninggalkan seluruh yang diharamkan syariat Islam, serta (4) صِحَّةُ الْعَقْدِ, berpegang teguh pada akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. (Sabilul Abid, hlm. 10)
Selanjutnya, KH. Hasyim Asy’ari mengisahkan pada awal abad 19 M, muncul berbagai aliran hingga timbullah berbagai pendapat yang saling bertentangan di pulau Jawa. Akibatnya terjadi keresahan di tengah masyarakat hingga terjadi konflik dan pertikaian. Di antara mereka terdapat kelompok salaf yang berpegang teguh pada ajaran dan tradisi para ulama salaf saleh. Mereka ini bertaklid pada salah satu madzhab yang jelas, berpedoman pada kitab-kitab muktabar, mencintai Ahlu Bait Nabi, para waliyullah, dan para ulama saleh serta memohon keberkahan kepada mereka baik masih hidup ataupun setelah meninggal, mengamalkan ziarah kubur, talqin mayit, sedekah kepada mayit, meyakini syafaat Nabi, fadhilah doa dan tawasul, dan lainnya.
Sementara di kubu lainnya ada kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tentang bid’ahnya berbagai tradisi ulama salaf tadi. Pendapat ini sebagaimana dilontarkan Muhammad bin Abdul Wahab an-Najd, Ahmad bin Taimiyah, Ibnu Qayim al-Jauzi, dan Ibnu Abdul Hadi. Mereka inilah yang mengharamkan tradisi yang disunahkan kaum muslim, seperti ziarah ke makam Nabi Saw. dan selalu menuduh sesat pendapat kelompok lainnya. (Risalah Ahlussunnah, hlm. 14-15)
Dengan berpijak kepada hadits di atas, KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurutnya, lafadz “sunnah” sebagaimana pendapat Abu al-Baqa’ dalam Kulliyyat-nya, secara bahasa berarti suatu jalan walaupun tidak diridhai. Sedangkan maknanya secara syara’ adalah jalan yang diridlai (Allah) yang ditempuh dalam agama, yaitu yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. atau orang-orang yang memahami agama, misalnya para sahabat Nabi.
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw: “’Alaykum bi sunnati wa sunnati al-khulafa’ al-rasyidin min ba’di” (Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidin setelahku). Golongan Aswaja adalah mereka yang disebut sawadul a’dzam (golongan mayoritas) oleh Rasulullah. Mereka mengikuti ulama Mekkah dan Madinah dan ulama al-Azhar yang menjadi panutan golongan ahli kebenaran. Jumlah mereka banyak sekali, sebagaimana banyaknya bintang di langit dan tersebar di seluruh dunia.
Banyaknya bintang kebenaran yang bersinar di langit inilah yang menginspirasi Syekh Abul Fadhol Senori menulis kitabnya, al-Kawakib al-Lama’ah (bintang-bintang gemerlapan yang cahayanya terang benderang). Syekh Abul Fadhol Senori Tuban. Kitab ini ditulis sekitar tahun 1962 di saat terjadi persitegangan di Nusantara antara masyarakat Islam tradisional dan kelompok pembaharu Islam berpaham Wahabi dari tanah Najd. Syekh Abul Fadhol dikenal sebagai ulama produktif yang memiliki sastra Arab tinggi meski belum pernah belajar di tanah Arab. Ia hanya belajar kepada ayahnya serta KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng.
Syekh Abul Fadhol menyoroti hadirnya sekte Wahabi itu memiliki siasat dan ghirah besar dalam mengajak, membujuk dan meluncurkan propaganda kepada masyarakat awam Islam agar mau mengikuti sekte mereka dan selanjutnya mengamalkan segala ajarannya. Begitulah realitas yang secara de facto dewasa ini selalu bisa dijumpai di sana-sini. Hingga pada akhirnya telah buram dan kaburlah hakikat Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam pemahaman banyak kalangan masyarakat awam Islam, disebabkan karena mereka tidak memiliki bekal intelektual yang memadai. Dari situ, kelompok Wahabi itu mengklaim bahwa merekalah sebenarnya Ahlussunnah Wal Jama’ah serta menuduh kelompok pengikut salaf saleh sebagai ahli bid’ah. (Syarah Kawakib al-Lama’ah, hlm. 21)
Maka di sini, Syekh Abul Fadhol perlu meluruskan bahwa pengertian kata “as-Sunnah” dan “al-Jamaah” adalah dua kata dalam genre ‘urfi yang dalam kesepakatan ulama merujuk pada golongan muhadditsin, golongan shufiyyah, golongan Asy’ariyyah dan golongan Maturidiyyah. Jikalau ada pertanyaan apakah dibenarkan dewasa ini bagi seseorang yang tidak mau bertaqlid atau tidak menganut kepada salah satu dari madzhab empat, lantas mengaku sebagai seorang mujtahid, atau ia tidak sampai mengaku seperti itu akan tetapi ia berpendapat bahwa setiap orang Islam itu wajib menggali setiap hukum agama yang ia butuhkan dengan dirinya sendiri langsung dari al-Qur’an dan Hadits walaupun ia tidak memahami bahasa Arab.
Syekh Abul Fadhol dengan tegas menjawab bahwa mereka bukanlah termasuk sebagai pengikut Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam sebuah Hadits dijelaskan “Barang siapa memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal saja, selanjutnya dia mati, maka kematiannya adalah kematian jahiliyyah” (HR. Muslim), Wallahu A’lam.
menarik.