Membincang kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren rasa-rasanya masih kurang lengkap bila tak memasukkan satu kitab humaniora terpopuler di dunia, yakni Muqaddimah karya Ibnu Khaldun.
Sebagaimana judulnya, Muqaddimah, kitab ini sebenarnya adalah pengantar dari kitab pokoknya yang berjudul Al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyami al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar wa Man Asarahum min Dzawi as-Sultan al-Akbar (Sejarah Peradaban Arab, Persia, Barbar dan Bangsa Besar Lainnya). Muqaddimah sendiri ditulis dalam satu jilid tebal yang oleh beberapa penerbit lantas dicetak terpisah dari kitab pokoknya. Singkatnya, Muqaddimah berisi bangunan teori ilmu sosial, kebudayaan dan sejarah, sedangkan bukti empiris-historisnya dipaparkan Ibnu Khaldun dalam kitab al-‘Ibar.
Sangat sedikit pesantren di Indonesia yang memasukkan Muqaddimah kedalam kurikulum wajib. Biasanya hanya pesantren sekelas Ma’had Aly saja yang menjadikannya sebagai pelajaran tambahan yang dikaji setiap Ramadhan. Kendati demikian, para ustadz dan santri senior bisa mengakses dan mendiskusikan kitab tersebut di perpustakaan pesantren. Biasanya, hanya santri-santri ‘pilihan’ yang mau membaca Muqaddimah.
Sejarah mencatat, di antara orang-orang ‘besar’ yang khatam ngaji Muqaddimah adalah Mbah Fadhol Senori, HAMKA, Gus Dur dan Cak Nur. Mereka tak jarang mencatat Muqaddimah Ibnu Khaldun sebagai rujukan dalam tulisan-tulisannya. Satu kutipan yang paling populer dari Ibnu Khaldun bahwa manusia adalah produk sejarah, lingkungan, adat istiadat, bukan produk darah nenek moyangnya. Determinasi lingkungan-lah yang memengaruhi dan membentuk manusia akan menjadi sesuatu yang bermanfaat atau tidak. Gagasan besar Ibnu Khaldun ada pada pemunculan istilah ilmu ‘umran. Cikal bakal ilmu sosiologi yang ditawarkan sebagai paradigma alternatif untuk memahami sejarah dan peradaban manusia lebih komprehensif, rasional dan ilmiah.
Tak pelak, Ibnu Khaldun disebut sebagai ‘Bapak Sosiologi Dunia’. Gelar ini cukup mentereng, bukan kaleng-kaleng dan sangat beralasan. Di mana para pemikir, filsuf, dan ilmuwan di dunia—setelah tuntas membaca Muqaddimah— sepakat bahwa metode penulisan serta landasan teori sosial yang disampaikan Ibnu Khaldun telah mengubah perspektif dan cara berpikir masyarakat menjadi lebih kritis dan objektif.
Dari teori-teorinya, Ibnu Khaldun menunjukkan sudut pandang baru dalam merumuskan serta mendeskripsikan berbagai fenomena kehidupan di tengah masyarakat, bagaimana karakter pembentuk tradisi dan budaya, pola-pola keresahan sosial, perebutan kekuasaan politik dan jabatan publik, dasar-dasar pendidikan modern, hingga jalannya sistem pasar, tata kelola ekonomi dan penanggulangan krisis. Ajaibnya, teori-teori yang disampaikan Ibnu Khaldun—6 abad lalu—masih sangat relevan diaplikasikan hingga sekarang.
Tiap 26 Ramadhan kita memeringati haul Ibnu Khaldun. Ia dilahirkan pada 1332 M di Tunisia dan wafat di Kairo pada 1406 M. Nama lengkapnya Waliuddin Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrami al-Ishbili, ia seorang pakar di berbagai keilmuan, ilmu dunia dan akhirat. Ia mampu mengintegrasikannya menjadi satu kesatuan yang wajib dipelajari umat Islam. Ibnu Khaldun tercatat sebagai politikus, agamawan, ilmuwan serta sejarawan. Ibnu Khaldun juga pernah menjadi diplomat handal yang diutus para raja untuk menyelesaikan berbagai konflik dan persoalan negara.
Ada kisah menarik, saat Ibnu Khaldun diutus menemui Timur Lenk di Damaskus pada 1401 M. Selama 35 hari, di tenda Timur Lenk, terjadi diskusi dan perdebatan panjang antara keduanya membahas berbagai persoalan umat, yang dicatat rapi dalam otobiografi bertajuk at-Ta’rif bi Ibn Khaldun. Dari pertemuan itu, Ibnu Khaldun beropini bahwa Timur Lenk adalah politisi yang alim, bijak, tegas dan rasional. Bila rerata sejarawan Arab menulis nama Timur Lenk sebagai pemenggal bengis yang merobohkan peradaban Islam, tetapi di mata Ibnu Khaldun, justru Timur Lenk-lah pencambuk kesadaran umat Islam sebenarnya. Timur—dengan kebengisan pasukannya—meluluhlantakan dinasti-daulah yang ‘mengatasnamakan Islam’ tetapi sangat korup, terlena dengan materi, hingga memanipulasi fatwa ulama untuk kepentingan dan kelanggengan politiknya tanpa memikirkan kebutuhan rakyat yang tertindas.
Setelah 20 tahun Ibnu Khaldun terlibat aktif sebagai politikus di banyak negara ia merasakan titik jenuh. Berlindung dari satu kerajaan ke kerajaan lainnya sebagai pelarian bukanlah perkara mudah. Hingga tibalah masa ketika Ibnu Khaldun mendapat perlindungan dari Bani Arif di istana Qal’at bin Salamah. Ia tiba di sana sekitar tahun 1374 dan memutuskan keluar dari perkara politik praktis apapun. Di sana Ibnu Khaldun seperti digerakkan Tuhan untuk menuliskan seluruh pengalamannya dalam sebuah buku. Ia jua mengaku mendapatkan fasilitas terbaik yang disediakan Bani Arif untuk memasok seluruh kebutuhannya selama di dalam istana. Ia lantas menulis Muqaddimah dan Al-I’bar dirampungkan selama 4 tahun. Tak henti-henti, Ibnu Khaldun mengucap syukur, Tuhan telah menuntunnya ke istana Qal’at bin Salamah, di sanalah tempat paling aman seumur hidupnya, hingga pikiran benar-benar tenang dan mampu melahirkan karya besar yang diakui dunia.
Isi Muqaddimah
Muqaddimah Ibnu Khaldun terdiri dari enam bagian tematik yang disusun sebanyak 188 pasal. Tema pertama membahas sejarah peradaban dan karakter manusia beserta pola kehidupan sosial, intrik politik dan ambisi ekonomi yang melingkupinya. Pada bab ini terdapat satu pasal dan enam prolog yang bervariasi gaya tutur dan perspektifnya. Di antaranya yang paling menarik adalah pandangan Ibnu Khaldun ihwal urgensi penulisan sejarah yang kritis. Pembaca akan diajak mengkritisi setiap kisah-kisah lisan yang banyak beredar di tengah masyarakat menggunakan piranti akal sehat dan pijakan literasi agama. Jika secara nalar tidak bisa diterima, maka bolehlah dikatakan sebagai dongeng saja, bukan menjadi bagian sejarah. Pandangan ini sebagai upaya kritiknya pada kitab sejarah karya Al-Mas’udi (w. 857 M) dan al-Bakri (w. 1094 M) yang banyak menukil kisah-kisah tak rasional dan menggelikan.
Dari perspektif ini, Ibnu Khaldun hendak menetapkan adanya kerangka teori scientific history, penulisan sejarah harus diawali dengan pengujian-pengujian yang kritis. Konsep inilah yang kemudian menjadi pijakan sejarawan modern sebelum memulai penelitian ilmiahnya.
Tema kedua menjabarkan secara eksklusif kehidupan suku Badui, peradaban bangsa Barbar dan primitif lainnya, serta seluruh aspek kehidupannya. Ditulis dalam 29 pasal. Ibnu Khaldun merumuskan bahwa sebagai makhluk politik dan sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain dalam upaya keberlangsungan hidupnya. Ihwal pola kehidupannya, masyarakat di Asia-Afrika—sebagai studi kasusnya—terbagi menjadi dua, nomaden (lebih dikenal dengan Badui) dan perkotaan. Rerata masyarakat Badui memiliki beberapa keunggulan dibanding masyarakat perkotaan. Orang Badui hidup dalam kemandirian, mampu bertahan di alam bebas (survival), memiliki etos kerja tinggi, hidup dalam kesederhanan, keras kepala, pemikir dan banyak inisiatif, tetapi memiliki semangat kesukuan dan solidaritas tinggi (konsep ashabiyah). Ashabiyah menjadi alat pemersatu yang kuat untuk melanggengkan kekuasaan di bawah kendali kabilah terkuat di kalangan suku Badui. Nah, konsep ashabiyah inilah yang sering dikritik oleh para ulama, hingga menuduh Ibnu Khaldun sebagai sekuler.
Tema ketiga membincang tentang bentuk-bentuk negara, kekhalifahan ideal serta ragam jabatan kepemimpinan. Menjadi pembahasan terpanjang dengan 53 pasal. Di sini, Ibnu Khaldun menyebutkan tiga bentuk pemerintahan suatu negara.
Pertama, siyasah thabi’iyyah, yakni pemerintahan yang terbentuk secara natural, dengan menempatkan pemimpin dari kalangan terkuat atau pemegang dominasi baik di bidang politik maupun ekonomi. Sehingga pemerintahan berjalan sesuai kehendak penguasa tanpa mengindahkan aspirasi rakyatnya.
Kedua, siyasah ‘aqliyah, yakni pemerintahan yang bentuk atas dasar asas partisipasi publik. Pemimpin dipilih dari masing-masing kelompok yang mewakili suara rakyat. Pemerintahan juga dijalankan atas amanat undang-undang yang disusun dengan menggunakan nalar dan logika yang benar –kalangan cendekiawan—untuk mencapai kemajuan dan kemaslahatan bersama.
Ketiga, siyasah diniyyah, pemerintahan dibentuk sebagai perwujudan ajaran agama. Artinya aturan-aturan yang dipakai berdasarkan hukum-hukum Islam. Model pemerintahan ini biasanya ditandai dengan pengukuhan raja sebagai khalifah atau pengganti nabi, yang disertai dengan pengangkatan para ulama sebagai penasehat sekaligus pemegang legitimasi fatwa agama.
Tema keempat mendeskripsikan tata perkotaan maju, sisi arsitektur istana, hingga detail pembangunannya. Disusun dalam 22 pasal. Menarik, Ibnu Khaldun boleh jadi seorang arsitek berpengalaman yang sangat perhatian terhadap struktur bangunan di suatu kota. Ikhtiarnya, dari tata letak kota yang sehat, akan tercipta peradaban bangsa yang maju. Di mana dalam sebuah kota harus memenuhi beberapa syarat utama; tersedianya udara yang bersih (bukan daerah kumuh dan wabah tha’un), sumber mata air yang jernih, lahan perkebunan, pertanian dan peternakan, hingga ketersediaan pohon dan batu sebagai bahan bangunan. Ibnu Khaldun juga menyaratkan adanya pasar, baitul mal, masjid jami’, sekolah dan perpustakaan yang menunjang jalannya tradisi keilmuan dan penelitian. Dengan kata lain, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa suatu negara yang kokoh harus memiliki ketahanan energi, pangan, sandang dan papan yang dikelola secara mandiri, tidak bergantung dengan negara lain. Sehingga stabilitas negara berjalan dengan baik.
Tema kelima menjelaskan berbagai macam profesi dan pekerjaan di tengah masyarakat pada abad 15. Ditulis dalam 33 pasal. Ibnu Khaldun mengidentifikasi empat macam profesi; di bidang pemerintahan (berkaitan dengan urusan administrasi kerajaan), perdagangan (segala macam jual beli dengan berbagai komoditi, jenis dan bentuknya), pertanian dan perternakan (baik itu di area persawahan atau perkebunan) dan keahlian khusus. Menarik, apa yang dijabarkan Ibnu Khaldun di bidang keahlian atau berbasis kreativitas yang diperinci menjadi banyak sekali pekerjaan; arsitek bangunan, tukang kayu, penjahit dan pemintal kain, kaligrafi, penulis dan penerjemah, pembuat kertas, dokter dan bidan, pembuat kertas atau usaha percetakan, musisi atau seniman, hingga akuntan. Sebagai ikhtiasar, Ibnu Khaldun menjelaskan majunya peradaban ditopang oleh jalannya perekonomian rakyat tersebut menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Ketika salah satu roda ekonomi berhenti maka pelan-pelan ketahanan negara akan roboh.
Tema keenam menyoroti pentingnya ilmu pengetahuan, klasifikasi bidang studi, metode pengajaran, dan sarana penunjang lainnya. Disusun cukup panjang dalam 50 pasal. Bagi Ibnu Khaldun, identitas negara maju ditunjukkan dengan pusat ilmu pengetahuannya . Contohnya, kebesaran Andalusia diwakili dengan pusat ilmu pengetahuan Cordova. Begitupun kedigdayaan Maghrib diwakili pusat ilmunya di Qairuwan. Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi dua kategori besar; (1) ilmu thabi’i/aqli, pengetahuan yang dihasilkan dari pemikiran dan daya kreativitas manusia, sebebas apa dan bagaimanapun bentuknya yang bermanfaat bagi kehidupan sosial. Seperti matematika, kimia, fisika, psikologi, arsitektur, botani, kedokteran dan lainnya. (2) ilmu naqli, pengetahuan yang hadir dari informasi langit atau dari wahyu ilahiah (al-Qur’an dan hadits), artinya tidak ada peran akal yang bebas dalam upaya penggaliannya, hanya sebatas qiyas dan sesuai maqasid syariah yang disepakati ulama. Seperti ilmu kalam, fiqih, tafsir, hadits, mawaris, tasawuf dan lainnya.
Akhirnya, Muqaddimah menghantarkan Ibnu Khaldun sebagai intelektual dunia di bidang ilmu sosial. Namanya tak hanya besar di kalangan umat Islam tetapi juga disanjung di negara Barat. Bahkan, Ibnu Khaldun juga disejajarkan setara dengan filosof besar seperti Aristoteles dan Plato. Muqaddimah diklaim sebagai mahakarya spektakuler yang memuat teori awal filsafat sejarah. Di mana, Ibnu Khaldun berangkat dari penafsiran sosiologis yang kritis dan objektif dalam menyusun rangkaian historiografi. Wallahu A’lam.