Relasi antara kebudayaan lokal atau adat dengan agama tentunya tidak dapat kita
pisahkan dari kelompok-kelompok masyarakat beragama di Indonesia yang merupakan negara yanga sangat beragama dengan suku, ras, adat dan agamanya. Kajian tentang relasi atau dialog adat dan agama sekalipun merupakan topik yang bukan lagi baru dalam wacana ilmu-ilmu sosial dan humaniora, termasuk studi agama-agama, tetapi isu ini tetap relevan hingga kini karena terdapat respon yang berbeda dari masyarakat atau umat beragama tentang posisi adat terhadap agama dan sebaliknya.
Di pulau Lombok misalnya, dialog adat dan agama menjadi perhatian tersendiri masyarakat setempat, hal demikian berlaku bagi sebuah kelompok Islam di pulau tersebut. Di pulau Lombok terdapat kelompok Islam yang disebut dengan sebutan Islam Wetu Telu dalam praktik keagamaan mereka menunjukan perpaduan antara adat loka dan agama, para pemeluk atau penganut ajaran Islam Wetu Telu di pulau Lombok sangat memegang erat tradisi leluhur atau nenek moyang mereka, maka dengan demikian tidak heran dalam kehidupan mereka setiap hari adat selalu memiliki peranan yang sangat kuat dan juga mendominan.
Tidak hanya hal tersebut, mereka para pemeluk atau penganut ajaran Islam Wetu Telu juga mengadopsi adat sebagai bagian dari ritual kegiatan keagamaan mereka sehingga penerapan ajaran Islam bagi pemeluk atau penganut ajaran Islam Wetu Telu tidak ada batas yang konkrit antara adat atau tradisi dan juga agama,di sinilah tempat konkrit terlihatnya perpaduan atau percampuran antara adat dan agama.
Adanya percampuran antara adat dan agama membuat mereka Islam Wetu Telu terlihat sangat Animisme dan juga teihat dogma Hindu sangat melekat yang belum dapat mereka tinggalkan secara totalitas, sehingga ajaran yang mereka terima terkait dengan Islam belum sepenuhnya dipahami. Hal demikianlah yang kerap dipertentangkan oleh kelompok Islam Waktu Lima. Erni Budiwanti dalam bukunya menyuguhkan keadaan dari Islam Waktu Lima atas serbuan dakwah yang terus menerus terhadap kelompok Islam Wetu Telu yang dilakukan oleh Para Tuan Guru dari kalangan Islam Waktu Lima.
Saat bulan Ramadhan berlangsung di pulau Lombok dikatakan bahwa para penganut ajaran Islam Wetu Telu tidak menjalankan ibadah puasa, akan tetapi mereka melaksanakan ibadah shalat tarawih. Kelompok Islam Wetu Telu melaksanakan shalat tarawih di sebuah masjid kuno yang berada di desa Bayan Lombok Utara. Seperti umat Islam pada umumnya, kelompok Islam Wetu Telu juga melaksanakan shalat tarawih sejak awal datangnya bulan Ramadhan dan sampai akhir bulan ramadhan.
Dalam menentukan kedatangan bulan Ramadhan, kelompok Islam Wetu Telu menggunakan waktu menurut versi mereka sendiri. Jika muslim di Indonesia pada umumnya menunggu pengumuman dari kementrian agama, kelompok Islam Wetu Telu memiliki versi mereka sendiri dengan cara menentukan bahwasanya bulan puasa muncul tiga hari sesudah kelompok Islam di pulau Lombok lainnya “Islam Waktu Lima” melakukan ibadah puasa.
Saat bulan Ramadhan kelompok Islam Wetu Telu di pulau Lombok memperingati Maleman Qunut, ialah merupakan peringatan yang menandai keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan pada malam ke-16 dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan kelompok Islam Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat witir setelah shalat tarawih disisipkan qunut.
Sedangkan Maleman Likuran merupakan upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa. Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada malam ini masyarakat Wetu Telu secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang melaksanakan shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengan makan bersama oleh para kyai.