Sedang Membaca
Sepenggal Kisah Gempa dari Lombok
Masyhur Wahid
Penulis Kolom

Banyak mengoleksi karya Gus Dur. Kini mengajar di MQWH Ponpes Al-Aziziyah dan aktif mengelola Yayasan Bina Muda Insani (YBMI) NTB.

Sepenggal Kisah Gempa dari Lombok

SEJAK musibah gempa menimpa di Indonesia yakni NTB khususnya pulau Lombok (5/8/18)—dan belum ada rupa tanda akan berakhir, situasi dan kondisi berubah begitu cepat. Setiap saat rasanya hampir dicekoki rasa cemas, waswas, dan takut.

Saat malam hari, jika hendak keliling ke rumah-rumah penduduk, rekan kerja, tetangga, dan sebagainya, hampir sulit ditemui pemilik rumah atau warga yang sedang asyik duduk ngobrol bersama keluarga di teras dan berugak. Juga ruang tamu, yang sebelumnya bersinar terang benderang, yang sesekali suguhan kopi nongol di meja tamu sebanyak tamu yang datang.

Yang justru lebih tampak terlihat saat ini, rumah warga, orang yang kita tuju, atau orang yang hendak dikunjungi tempat kediamannya, berbalik seratus derajat: keadaan gelap total. Sunyi dan senyap, meski terdapat sebagian rumah warga menyalakan lampu depan rumah “teras”. Utamanya ini terjadi di wilayah yang parah akibat dampak kejadian gempa.

Kondisi demikian, memang tidak terlepas dari sisa-sisa “ketakutan” musibah gempa yang terjadi. Hampir seantero warga mengalami trauma: tidak berani untuk berdiam lama-lama dalam rumah. Tidak lain, kalau itu dilakukan, bisa berbahaya. Jika seseorang tak sadar gempa bumi datang lagi, boleh jadi, senjata makan tuan. Bisa mengalami nasib tragis. Semoga saudara-saudara kita yang dipanggil lebih awal oleh Yang Mahakuasa meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Amin!

Baca juga:  Pengalaman Jumatan di Bandung: Khatibnya Tidak Paham

***

Satu minggu berjalan, hingga pun saat ini, situasi rumah-rumah warga, kendati siang hari, terlebih pada waktu malam, belum kembali ke kondisi semula, kondisi saat di mana musibah gempa belum terjadi. Suasana rumah, masih terasa sangat berbeda. Sepi dan menyeramkan. Rumah masih terasa angker dan belum berani untuk ditempati seperti sedia kala.

Hampir seluruh warga masyarakat meskipun bangunan sebagian miliknya, tidak rusak fatal, terpaksa harus mengungsi. Aktivitas yang sebelumnya, biasa diselesaikan di ruang rumah, berubah cepat hingga harus dilakukan di luar rumah (outdoor). Rumah seakan telah berubah wajah. Rumah yang sebelumnya tempat berlindung, justru terasa akan lebih aman jika berada di luar rumah. Sekali lagi, aura “rumah” telah berubah. Dari teduh berubah sosok penimbul “cemas”. Ia seakan-akan menjadi biang keladi rasa takut.

Mungkin berlebihan, jika sekiranya dikatakan bahwa rumah menjadi ancaman bagi si pemilik sebab rasa trauma. Ratusan korban jiwa melayang akibat gempa, sebagai bukti tak terbantahkan. Dengan kata lain, ketika seseorang masih berada dalam ruangan saat gempa, kecil kemungkinan untuk tidak mengalami celaka. Tapi, mudah-mudahan perlindungan oleh Tuhan senantiasa menyertai.

Tak ayal, dalam kondisi demikian, masyarakat menjadikan sesuatu yang berada di luar rumah sebagai tempat berlindung. Tidur, makan dan salat bahkan di luar rumah. Berbagai aktivitas akan terasa lebih aman, dilakukan di luar rumah, kalau sekiranya tempat itu lapang dan jauh dari bangunan rumah.

Baca juga:  Memahami Kata Wafat dan Maut dalam Linguistik Arab

Sudah tentu, ketika hampir seluruh aktivitas-aktivitas penting dilakukan di luar rumah, pastinya terasa ada sesuatu yang berbeda dibanding kebiasaan sebelumnya. Ada perasaan tidak nyaman, leluasa, lantaran tiap saat cemas hinggap, menghantui. Pikiran-pikiran curiga dan takut bergelayut begitu saja. Jangan-jangan, skala kekuatan gempa yang akan terjadi, lebih dahsyat ketimbang yang sudah terjadi.

Iya, rumah terasa angker. Ia tak lagi, menjadi dambaan untuk sementara orang saat ini. Ungkapan: “Rumahku adalah Surgaku” telah kehilangan spirit di sanubari si pemilik. Di tengah-tengah nestapa spritual manusia digoncang oleh dahsyatnya peristiwa gempa bumi yang melanda.

Bukankah hidup akan terus mengalami perubahan. Karenanya, situasi dan kondisi apa pun yang di dalamnya kita temukan perubahan, termasuk perubahan sebuah “rumah” yang semula menjadi sarana tempat berlindung dari terik panas dan hujan serta dingin, drastis berubah angker, jelaslah, suatu kelaziman. Bukankah musibah adalah ujian setiap manusia? Oleh sebab itu, manusia, harus optimis terhadap ujian yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya, lantas muncul harapan baru dan kekuatan baru untuk bangkit menata bangunan kehidupan yang sempat ambruk.

Tidak mudah memang. Tidak dengan sendirinya, bisa menghadirkan hal itu dalam batin yang masih dipenuhi oleh nafsu dan tabiat manusia yang serakah. Hal ini bisa, datang mendekat ke hadapan yang bersangkutan tanpa dipanggil manakala hatinya telah menyatu dan iman tertancap kuat di sanubari. Iman yang kemudian menggetarkan dan menggerakkan jiwa si hamba untuk bangkit kembali (Musa Asyari, 2002:40).

Karena dengan imannya, si hamba punya tekad sekuat baja bahwa dirinya tidak sekadar merasa berada di jalan lurus (shiratal mustaqim) selain memang jalan yang ditapakinya sudah benar sehingga melahirkan optimisme, memetik buah kemenangan, dan kebahagiaan.

Baca juga:  The Two Popes (Dua Orang Paus)

Suka tidak suka, mau tak mau, terhadap teguran Tuhan pada manusia ke muka bumi, mutlak menjadi sesuatu yang harus kita petik hikmah di dalamnya. Ada banyak sekali pelajaran, yang bisa menempatkan siapa saja pada surga yang dijanjikan Allah kelak di akhirat nanti. Surga ialah suatu tempat tiada banding. Sebuah dimensi ruang dan waktu di mana berbagai macam dan jenis kenikmatan bisa diraih, dirasakan. Eksistensinya pun tak tembus oleh mata kasat manusia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top