Sedang Membaca
Tanjung Anom dan Penjarahan Akbar Yogyakarta
Marufin Sudibyo
Penulis Kolom

Ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula dalam Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), Ikatan Cendekiawan Falak Indonesia (ICFI), Jogja Astro Club dan International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sebagai pembimbing dan pendamping Forum Kajian Ilmu Falak (FKIF) Gombong dan Majelis Kajian Ilmu Falak (MKF) Kebumen, keduanya di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Tanjung Anom dan Penjarahan Akbar Yogyakarta

Datanglah ke keraton Kasultanan, pusat gravitasi kota Yogyakarta. Dari alun-alun utara, bergeraklah ke timur menyusuri jalan Ibu Ruswo. Di ujung jalan anda akan bersua dengan simpang empat unik. Disini lintasan jalan Katamso sebagai jalan utama sedikit melengkung di simpang empat ini kala mengarah ke selatan. Ada kisah tragis di balik lengkungan ini, yang terjadi tepat 217 tahun silam.

Dahulu di dekat persimpangan ini berdiri salah satu pojok beteng (bastion) keraton Kasultanan. Pojok beteng Tanjung Anom (Carey, 2016) namanya, ada pula yang menyebutnya pojok beteng Gondomanan atau pojok beteng timur laut. Keraton Kasultanan adalah sebuah istana berbenteng tembok (Baluwarti) dengan empat pojok beteng dan dan sejumlah plengkung (gerbang), semuanya dirancang untuk tujuan pertahanan. Dua seperempat abad silam, pojok beteng Tanjung Anom juga berperan sebagai gudang mesiu sekaligus pangkalan meriam Kasultanan yang paling kuat. Di masa itu Yogyakarta adalah kerajaan perkasa, berkekuatan 10.000 pasukan reguler. Belum terhitung segenap warganegaranya yang siap dipanggil sebagai pasukan cadangan jika diperlukan. Juga yang terkaya, dengan sedikitnya 6,5 trilyun rupiah (berdasar ukuran masa sekarang) tersimpan di pundi-pundi perbendaharaan negara.

Juni 1812 TU, Raffles memutuskan menyerbu Kasultanan dengan kekuatan militer Inggris nan perkasa. Penyebabnya akumulatif, salah satunya warisan era Daendels yang mencoba melorot Sultan Hamengku Buwana (HB) II dari tahta dan menggantikannya dengan Pangeran Pati (putra mahkota) namun tak berjalan lancar. Kini Raffles ingin melanjutkannya, selain karena HB II dianggap tak kooperatif juga untuk melumpuhkan potensi ancaman kerajaan terkuat itu sekaligus berharap kucuran harta pampasan perang.

Baca juga:  Mengunyah (Cerita) Tumpeng

Serbuan dilakukan mulai 19 Juni 1812 TU. Dari benteng Vredeburg, meriam-meriam Inggris yang kuat-kuat itu menggempur titik-titik strategis di keraton tanpa ampun. Termasuk Tanjung Anom. Hujan peluru meriam membuat tumpukan amunisi tersulut dan akhirnya meledak dahsyat. Membuat bangunan pojok beteng itu hancur lebur sekaligus melumpuhkan meriam-meriam terkuat keraton. Di hari berikutnya giliran serangan darat dilakukan, dari utara dan selatan. Meski hanya berkekuatan 1.000 orang, namun pasukan Inggris cukup kenyang akan pengalaman tempur. Termasuk kala menaklukkan benteng Meester Cornelis (Jatinegara), basisnya pasukan Belanda-Perancis yang jauh lebih kuat ketimbang pasukan Yogyakarta. Maka bandul nasib Yogya pun berayun ke titik terkelam. Dengan keraton babak belur, kehabisan amunisi dan pasukan terdemoralisasi, tak ada pilihan lain kecuali menyerah.

Warga Yogyakarta mengenang peristiwa ini sebagai Geger Sepehi atau Geger Sepei, transliterasi dari Sepoy karena mayoritas anggota pasukan infrantri Inggris berasal dari tanah Sepoy (Benggala) di India. Sultan HB II dicopot dan diasingkan ke pulau Penang (Malaysia). Segenap kekayaan negara dijarah besar-besaran, termasuk gamelan, perangkat wayang, akta-akta tanah dan naskah-naskah kuno. Segenap pasukan dilucuti dan sebagian dikirim ke perkebunan-perkebunan Inggris di luar Jawa. Status Kasultanan Yogyakarta sontak berubah, dari semula negara berdaulat dengan negara-negara asing seperti Inggris (atau Belanda sebelumnya) harus menempatkan duta besarnya menjadi sekedar sebuah negara subordinat dari kekuatan barat.

Baca juga:  Tradisi Riyadloh Santri Penghafal Alquran

Pangeran Pati pun dinaikkan ke tahta dan menyandang gelar Sultan HB III. Putra tertuanya, kelak bergelar Pangeran Dipanegara, diusulkan menjadi putra mahkota berikutnya. Namun ia menolak dan lebih memilih menjadi penasehat terdekat sang ayahanda. Meski mendapat keuntungan politis, ingatan pahit akan Geger Sepehi dengan penjarahan akbar dan rusaknya segenap tatanan (termasuk tatanan moral) menjadi salah satu faktor yang kelak 13 tahun kemudian membawanya memimpin perlawanan terbesar orang Jawa di abad ke-19. Perang Dipanegara atau de Java Oorlog. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top