George Orwell menghentak pembaca Indonesia lewat novel Animal Farm dan 1984. Novel tak berisi petuah. Prosa Orwell bergerak melawan pakem, bahwa sebuah karya sastra mesti berisi anjuran hidup agar bahagia di hari tua. Dalam dua novel tersebut, kita mendapati narasi tentang sikap dan perlawan terhadap totalitarianisme, juga sedikit satir. Tulisan-tulisan Orwell punya cirinya sendiri. Sebuah ekspresi politik. Sebuah kritik.
Selain seorang prosais tangguh, Orwell juga merupakan esais handal. Orwell komentator yang cerewet terhadap banyak hal. Ia gemar mengulas fenomena keseharian, namun dengan sudut pandang mendalam. Ia mungkin menulis hal remeh, tapi berhasil terhindar dari banalitas.
Sekiranya esai Orwell itu fenomena, maka di baliknya terselip nomena. Ada suatu cara berfikir, sebuah gagasan khas dari proses kreatif Orwell mencipta.Di buku kumpulan esai Negara Saya Kanan atau Kiri (Akasia: 2019), pembaca bisa menemukan esai-esai George Orwell yang menjangkarkan perspektifnya di aneka ragam tema.
Di esai berjudul “Mengapa Saya Menulis” pembaca dapat mengetahui rekam jejak pengalaman menulis Orwell saat masih kecil hingga dewasa. Orwell kecil bukan seorang yang disukai banyak orang. Ia dianggap tak begitu menyenangkan oleh temannya, sehingga ia dirundung sepi. Ia dikucilkan dan seringkali tak dihargai. Ia pun merasa penting untuk mencari siasat menyelamatkan diri. Hidup harus berlanjut, dan menulis, kata Orwell merupakan sebuah “kekuatan dalam menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan”.
Menginjak remaja, Orwell mulai mengirim tulisannya ke pelbagai majalah. Ia cukup percayadiri dengan kecakapanya merangkai kata-kata. Ia menulis puisi, cerita, drama dan beberapa tulisan pesanan. Sebagai penulis pemula, ia seringkali mendapati tulisannya gagal. Buruk. Namun, Orwell bukan orang yang terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Ia bukan pemalas dan cepat patah arang. Ia gigih belajar. Orwell memutuskan terlibat dalam beberapa kegiatan sastra. Mulai dari membaca novel dengan komposisi rumit. Menelaah karya klasik penulis Eropa. Menulis catatan politik. Hingga sesekali bereksperimen meniru gaya menulis Aristophanes.
Kisah tersebut penting untuk dapat mengerti kondisi mengapa Orwell bisa menjadi penulis. Ia sempat bertitah “Motif seorang penulis sulit untuk dapat dinilai tanpa memahami hal yang berhubungan dengan awal karirnya.” Pengalaman eksistensial variatif masing-masing subjek, serta realitas politik, pada akhirnya menciptakan corak menulis yang pusparagam. Sehingga kemudian, Orwell memetakan bahwa ada setidaknya empat hal motif seseorang dalam menulis: egoisme belaka, antuisiasme estetik, dorongan sejarah, dan propaganda politik.
Hidup di zaman ketika perang berkecamuk, diam dan tak menulis secara politis, merupakan pengkhianatan atas hidup. Di suatu kesempatan, Orwell sempat mengungkapkan jika ada pretensi untuk mengubah catatan politik menjadi sebuah karya seni. Eksperimen menggunakan fabel pun pada akhirnya tercapai. Binatang, peternakan, kuasa juragan ternak, merupakan tamsil kekuatan dan kekuasaan negara yang eksploitatif. Gagasan itu tertuang dalam novel legendarisAnimal Farm, yang ditulis sebagai propaganda politik. “Sekali, lagi, tak ada buku yang terlepas dari bias politik. Pendapat bahwa seni semestinya tidak dikaitkan dengan politik itu sendiri adalah sikap politik,” ujar Orwell.
Keberpihakan Politik
Selalu ada pertatutan antara karya dan pengalaman. Selalu terselip hubungan antara gagasan dan keberpihakan. Memoar politik di buku kumpulan esaiNegara Saya Kanan atau Kiri, yang mayoritas ditulis sekitar perang dunia kedua, membawa pembaca memahami bagaimana keberpihakan politik Orwell.
Dalam konteks esai itu ditulis, di mana dunia terpolarisasi menjadi dua blok dominan yang terlibat dalam perang dingin; kanan dan kiri; liberalisme dan sosialisme; menurut saya, kemurkaan terhadap kaum liberal memang tak akan memberi efek progresif ketika di saat bersamaan juga menulis Animal Farm sebagai kritik tajam terhadap sosialisme.
Sastrawan kondang Indonesia, Eka Kurniawan, pernah berkomentar bahwa Animal Farm merupakan karya sastra yang hebat, namun buruk sebagai karya politik; membuat revolusi terasa pesimistis, dan menganggap pemimpin pada akhirnya selalu korup dan totaliter. “Revolusi Rusia, misalnya, tak menimbulkan kesan apa pun, kecuali untuk segelintir orang tua yang memiliki uang yang diinvestasikan di Rusia,” tukas Orwell dalam esai berjudul “Negara Saya Kanan atau Kiri”.
Orwell yang tak ingin mencitrakan diri berpijak pada kedua kubu, ingin dunia berjalan lebih adil, damai, dan baik. Logika lesser evil ala Franz Magnis Suseno, barangkali tak berlaku bagi Orwell. Di Spanyol, dalam buku catatan jurnalistik berjudul Bakti Untuk Katalonia, Orwell melihat kelompok fasis dan kelompok komunis sama menindasnya. Sama kejamnya terhadap rakyat. Atas dasar itulah, memilih berpihak di kubu kanan atau kiri, akan sama saja berkontribusi terhadap kejahatan kemanusiaan. Orwell pun berlepas pada pelekatan dua terma politik itu.
Keadilan, kebebasan, perdamaian, penolakan terhadap hirarki, bahaya hegemoni, dan kemanusiaan, merupakan sedikit kata kunci yang memenuhi gagasan dalam tulisan Orwell. Jika kita telaah, letupan pikiran Orwell, bisa jadi, cenderung lebih dekat dengan gagasan anarkisme. Hal itu tampak ketika ia mencoba menjelaskan bagaimana perlawanan dengan pasifisme Mahatma Gandhi di India. Ia menganggap Gandhi merupakan penganut anarkisme.
Selain novel, esai dan karya yang lain, buku Negara Saya Kanan atau Kiri, menjadi penting untuk dibaca saat hendak memahami konstruksi pikiran Orwell. Buku ini memuat 11 esai yang merekam sikap politik penulis terhadap banyak hal-ihwal. Orwell menulis tentang efek bom atom, hubungan sains dengan masyarakat, tentang buku yang buruk dan baik, dan tentang bagaimana ia memandang pengetahuan.
Di era, paradoksnya identitas hari-hari ini, bagaimana Orwell memandang masyarakat, patut untuk dipelajari. (RM)
Identitas Buku
Judul : Negara Saya Kanan atau Kiri
Penulis : George Orwell
Penerjemah : Wawan Kurniawan
Penerbit : Akasia
Cetak : Pertama, 2019
Tebal : 115 halaman
ISBN : 978 602 52743 0 5