Gemercik air segar dari sebuah sebil mengiringi langkah saya menyusuri bilik-bilik nan sunyi dibalik kemegahan istana harem.
Sebil, atau air mancur dalam tradisi seni arsitektur Islam menjadi sebuah kelaziman. Di Kairo, sebil kerapkali saya temukan di kawasan Kairo lama khususnya di Syari’ Muiz Lidinillah. Dinasti Usmani menjadi pelopor pembangunan sebil di setiap situs-situs penting. Seperti di depan masjid, depan istana, bangunan publik, di jalan-jalan umum, juga di wilayah paling privat sekalipun seperti di dalam kamar istana raja, dan ratu. Tradisi ini semakin matang hingga periode Mamluk yang berpusat di Kairo.
Sebil, dari bermacam ukuran dibangun dengan indah dan matang di istana harem. Ornamen perpaduan Rococo Usmani nampak mencolok di beberapa bagian. Air yang dipompa kemudian dialirkan melewati batu-batu marmer yang telah didekorasi sebagai selsebil.
Tak ada yang spesial sepanjang yang saya amati di beberapa ruangan terdepan istana, termasuk bilik-bilik jendela kayu berwarna coklat yang dilapisi pagar besi berwarna hitam. Hanya Çini, ubin mozaik berwarna biru tua berpadu dengan biru muda yang menjadi ciri khas arsitektur Usmani. Diselangi warna hitam dan merah, Çini menghiasi hampir di setiap dinding istana harem yang dibatasi dengan beberapa tiang marmer.
The Mosque of the Black Eunuch, sebuah plang bertuliskan keterangan singkat beberapa bagian di istana harem mengalihkan perhatian saya akan ragam detail mozaik yang variatif. Saya berada di ruangan para kasim, atau bisa disebut dengan khadim. Para kasim yang telah dikebiri ini menjadi tangan kanan Sultan untuk bertanggung jawab atas segala administrasi harem.
Konon, posisi eunuch dalam kesultanan Usmani berada di bawah wazir, dua posisi setelah Sultan. Kizlar Aga, adalah sebutan untuk pimpinan khadim. Posisinya dalam istana sangat kuat, bahkan abad delapan belas Kizlar Aga bertanggung jawab atas 500 masjid di seantero wilayah Usmani, termasuk di Madinah dan Makkah.
Eunuch, para abdi istana tak berkelamin menjadi populer setelah Usmani berhasil menaklukkan Bizantium. Jauh sebelum itu eunuch sebagai orang kepercayaan dan juga khadim dalam istana sudah di praktekkan sejak awal dinasti Islam, khususnya Abasiyah. Dalam catatan sejarawan Hilal Al-Sabi’, Sultan al-Muqtadir Billah mempunyai 7.000 khadim kulit hitam dan 4.000 kulit putih. Khadim di sini, menurut Al-Jahiz, adalah para eunuch.
Di ruangan ini, detail-detail mozaik Iznik abad 17 yang pada awalnya populer pada era Seljuk dan disempurnakan oleh para artis Usmani seakan mendapat tempat. Ragam motif bunga seperti roset, tulip, anyelir, dan cemara mendominasi ruangan khadim, termasuk berbentuk kaligrafi Rumi. Sebagai bagian terdepan, ruangan ini menjadi akses utama dan paling penting untuk para harem.