Sekilas bangunan di depan saya ini terkesan biasa saja dibandingkan dengan bangunan super megah yang berjarak kurang lebih 700 meter Tepatnya, di Calle Officios. Sebuah distrik perkampungan melegenda yang dikenal dengan nama Albayzin. Distrik ini lekat sekali dengan identitas Arab, Arab Muslim yang dahulunya sempat menjadi penduduk kota Granada. Yah, ratusan tahun yang lalu.
Madrasah al-Yusufiyya, begitu kira-kira bangunan ini dikenal. Pusat studi sederhana yang menjadi cikal bakal Universitas Granada. Umurnya kurang lebih delapan ratus tahun. Madrasah ini dibangun sejak era Dinasti Nasrid (1238-1492). Tak main-main, lulusan madrasah al-Yusufiyya termasuk para ulama sekaliber Abu Ishaq as-Shathibi (d. 1388), Abdrrahman ibnu Khaldun (d. 1406), Ibnu Marzuq (d. 1379), Ibnu al-Khatib (d. 1374) dan cendekiawan terkemuka Andalusia lainnya yang pernah singgah dan mengampu ilmu di sini.
Jalan sempit nan padat ini tampak selalu ramai, tak kunjung sepi. Katedral dengan bangunan gigantis, yang konon merupakan bekas sebuah masjid pada masa Nasrid, dipenuhi orang-orang yang hendak melakukan ziarah. Tidak hanya ada dalam tradisi Islam, para penganut Katolik menjadikan pusat kota ini, Granada dan sekitarnya, sebagai salah satu situs keagamaan penting dari sejarah Katolik khususnya peristiwa Reconquista. Di sini, berbagai latar belakang wisatawan atau peziarah, saling bertemu, menggali memori berbeda dalam satu bangunan yang sama.
Keramaian manusia yang berjejal di jalan yang hanya muat untuk dua pejalan kaki akhirnya berujung di sebuah bazar. Bazar yang umurnya juga hampir sama dengan madrasah Yusufiyya. Nuansa timur tengah terasa kental, terlihat dari barang dagangan yang ditata sekenanya dari mulai rempah-rempah khas Arab, kaligrafi, keramik, dan hiasan berbentuk geometri yang menjadi ciri khas peninggalan arsitektur Islam di Andalusia.
Seperti tata kota muslim pada umumnya saat itu, bazar elit penjual kain-kain sutra khas Timur, juga emas dan berbagai komoditas lain turut meramaikan hiruk pikuk kota. Tak jauh dari madrasah terdapat katedral serta bangunan-bangunan penting Granada.
**
Madrasah Yusufiyya, dikenal dengan sebutan madrasah Nasriyah. Nama ini dinisbatkan kepada dinasti yang berkuasa saat itu. Seperti halnya Baytul Hikmah di Bagdad, madrasah Yusufiyya juga menjadi pionir sekaligus pusat keilmuan yang mencakup berbagai studi baik filsafat, teologi, kedokteran, hukum, astronomi, geometri, mekanik, matematika, musik, tasawuf, politik juga sastra. Banyak para ilmuwan yang datang dari kota-kota kecil di seantero Andalusia yang mulai dikuasai kerajaan Katolik untuk belajar di sini. Bisa dikatakan, madrasah ini sebagai madrasah tandingan atas madrasah-madrasah lain di dunia Islam saat itu.
Madrasah Yusufuyya kini menjadi bagian dari Universitas Granada, dan dikelola oleh pihak kampus yang dijadikan sebagai sebuah museum. Beberapa manuskrip kuno terpampang di salah satu eksibisi ruang terdepan madrasah. Tales of the Alhambra, buku karya Washington Irving, seorang penulis, esais, sejarawan, dan juga diplomat Amerika menjadi pemandangan awal saya ketika memasuki madrasah Yusufiyya.
Buku ini saya baca sebulan sebelum perjalanan ke Andalusia. Deskripsinya tentang Alhambra, dan juga masyarakat Granada dari abad 14 hingga 18 sungguh menarik. Bahkan salah satu ruangan Washington Irving di istana Al-Hambra diabadikan hingga hari ini untuk mengenang catatan-catatannya tentang Al-Hambra hingga akhirnya dikenal di dunia Barat.
Seni dekorasi madrasah ini sungguh memukau, marbel berwarna putih dengan hiasan “muqornas” merah dan emas menjadi bagian paling inti. Karakter arsitektur bergaya “Mudejar” sangat kental di lantai kedua madrasah. Lantai dua difungsikan sebagai aula yang dipakai untuk acara-acara tertentu.
Seni arsitektur Mudejar biasa dikenal dengan seni dekorasi periode Post-Islamic Christian Iberia yang banyak dipengaruhi oleh seni dekorasi Islam. Terma ini juga kerapkali merujuk kepada kelompok Muslim yang masih ada di semenanjung Iberia setelah peristiwa Reconquista dan turut terlibat dalam membangun peradaban baru di bawah kekuasaan Kristen.
Gaya arsitektur mudejar membentang luas di bangunan-bangunan lama Spanyol, khususnya di kawasan Andalusia dari mulai abad 13 sampai 15 M. Sebenarnya seni arsitektur Mudejar tidaklah baru, ia hanya merupakan perpaduan seni Kristen renaissance, gothic dan roman dengan menggabungkan elemen dan ornament Islam. Seperti bentuk muqornas dan ragam kerajinan lainnya seperti kayu, batu bata dan keramik berbentuk floral dan geometri. Bagi beberapa kalangan, seni arsitektur Mudejar dikenal sebagai seni yang sempurna sebagai hasil dari integrasi beberapa elemen antara tiga tradisi besar Kristen, Yahudi, dan Islam.
Di madrasah ini, saya menyaksikan kembali perpaduan harmonis antara ketiga tradisi besar yang kerapkali justru dihadap-hadapkan. Alih-alih menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk menjadi beda, gaya dan seni arsitektur Mudejar membawa pesan lain di semenanjung Iberia. Bahwa melalui formula seni baru ini sejarah hubungan nan harmonis pernah hidup dan saling bekerjasama guna membangun peradaban yang gemilang.
Sayang sekali, seni arsitektur Mudejar kembali dijadikan sebagai sebuah ancaman bagi penguasa Katolik yang ingin menghapus segala hal yang berhubungan dengan tradisi Islam dan Yahudi di Spanyol. Abad 16 merupakan tahun-tahun kelam bagi perkembangan seni arsitektur Mudejar. Ia tak lagi dikembangkan, ia tak lagi diperhatikan. Sebaliknya, ia mulai dihilangkan dari memori penduduk Iberia.
Madrasah Yusufiyya masih menyimpan memori ini hingga hari ini. Memori yang berjalan sangat panjang tentang perjalanan hubungan tradisi Kristen dan Islam dalam sebuah peninggalan seni dan arsitektur.
Hari ini, museum ini berdiri bukan tanpa pesan, ia hadir memberikan kesaksian lain yang hanya mampu kita tafsirkan sendiri untuk kehidupan keberagamaan sehari-hari.