Sudah sekian lama penulis berikhtiar, jelang peringatan Haul Almagfurlah KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ingin menulis sesuatu tentang beliau. Tentang apa saja.
Meski kelak resikonya, tulisan itu bagi pembaca akan dianggap biasa saja. Dianggap biasa sudah pasti bukan karena Gus Dur, tapi keterbatasan dan segala kekurangan penulis yang menulis tentang beliau. Sebuah kebanggaan yang luar biasa, apabila dapat merayakan bulan dan haul Gus Dur dengan secarik coretan sederhana.
Penulis memulainya dari pengalaman saat masih mahasiswa, mengikuti sebuah pelatihan di Kota Gudeg Jogja, tahun 2012 silam. Tepatnya, di kantor Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). Waktu itu, dibuka Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) yang diinisiasi para penggiat Gusdurian.
Waktu itu, hadir puteri sulung Gus Dur, Alissa Wahid, Ahmad Suaedy, Nur Kholik Ridwan, Abdul Gaffar Karim, dan pastinya dua pemateri santuy, Hairus Salim dan Heru Prasetia. Intelektual NU yang terkenal dengan guyonan-guyonan khasnya.
Penulis sendiri untuk bisa menginjakkan kaki ke sana lewat jejaring dan rekomendasi dari Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan (Sulsel). Hanya rekomendasi, tiket pulang-pergi wajib tanggung sendiri.
Bukan suasana pelatihan yang ingin penulis kabarkan dalam catatan ini, melainkan, sedikit kegusaran dan kegalauan pasca mengikuti pelatihan dikala itu. Tiket dan uang transport untuk pulang ke Sulawesi belumlah pasti. Saldo kas dikantong, pun hanya untuk sepiring nasi.
Di tengah kegalauan, tiba-tiba ada sejumput berkah. Ada kawan yang kerja di percetakan LKiS, tiba-tiba mengajak jalan-jalan ke sejumlah kota di Jawa Timur. Berangkat dari Jogja, Solo, melintasi kota-kota seperti Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, Kediri, dan “ibu kota” Kaum Nahdliyin, Jombang. Betapa bersyukur penulis waktu itu. Sesuatu yang tak pernah terbersit, apalagi direncanakan.
Menumpang mobil kawan, sekaligus bantu-bantu, jadi “marketing dan kuli dadakan”, memasarkan buku-buku LKiS ke sejumlah pesantren di kota-kota yang kami singgahi, tentu saja di Tebuireng Jombang, tempat Gus Dur “beristirahat” dengan tenang saat ini.
Itu pengalaman pertama penulis menginjakkan kaki di Ponpes Tebuireng. Makam Gus Dur yang berada di areal pesantren tak pernah sepi peziarah, siang dan malam, tak tahu dari mana saja asalnya.
Kesempatan itu penulis pergunakan sebaik-baiknya untuk nyekar di makam Gus Dur, makam keluarga besar pesantren Tebuireng, dan bertawasul memohon keberkahan selama dalam perjalanan menuntut ilmu, sembari, itu tadi, menyampaikan kegalauan untuk bagaimana cara pulang kembali ke Sulawesi. Kata Gus Baha, “Ini penting saya utarakan.”
“Tabe Yai, barakka’ta, saya mau balik ke Sulawesi, saya belum punya tiket kapal, apalagi pesawat,” gumamku selepas khatam satu dua surah, dan membacakan surah Al-Fatihah, bertawasul kepada Gus Dur dan leluhur beliau.
Singgah di Kota Kediri juga demikian, saat rombongan tiba di makam KH. Chamim Jazuli dan KH. Ahmad Siddiq, kurang lebih doa di makam Gus Dur penulis juga utarakan. Bertawasul kepada Gus Miek dan KH. Ahmad Shiddiq. Kedua tokoh ini, waktu itu penulis belum terlalu update. Hanya Gus Dur yang alfakir tahu persis kiprahnya.
Pengalaman menziarahi makam-makam para aulia itu, tak pernah terpikir sebelumnya, sejak berangkat dari Polewali Mandar. Niat hanya satu, belajar tentang keragaman di kota Jogja. Niat ikut sekolah Multikulturalisme, tapi batal, digantikan dengan Kelas Pemikiran Gus Dur.
Selesai berkeliling dari pesantren ke pesantren, kami akhirnya kembali ke Jogja. Membantu kawan jualan buku, untuk mensiasati biaya makan selama di Jogja. Beraktivitas seperti biasa. Mengunjungi sekretariat sahabat PMII Komisariat Universitas Gajah Mada (UGM) dan berkunjung ke kantor Lafald Initiative di Kaliurang Sleman, termasuk menemani salah satu sahabat di Mandar yang lagi ada urusan di kampus UGM.
Setali tiga uang, penulis tiba-tiba dihubungi senior yang bekerja di Balai Penelitian Agama Makassar (BLAM) yang lagi berada Plaza Hotel Jogja. Kebetulan, ada kegiatan di tempat itu. Di situ berjumpa untuk pertama kali, salah satu tokoh Mandar yang jadi kepala balai di Balai Penelitian Agama Semarang. Dr. Arifuddin Ismail, penulis buku “Agama Nelayan”.
Diajak makan siang, cerita-cerita tentang Mandar, dapat nasehat motivasi dan mengapa bisa tiba di Jogja. Di akhir pembicaraan, penulis mendapat pertanyaan tak terduga dan cukup menentramkan jiwa.
“Nak, kapan pulang ke Mandar, sudah punya tiket pesawat?” tanya Pak Arifuddin.
“inimi juga puang (puang, sapaan khas orang Mandar kepada orang yang lebih tua),” jawabku sembari menunduk tak karuan.
“Begini, kirimmi saja no rekeningmu, nanti saya kirimkan uang pembeli tiket.”
Saat itu, matahari yang meninggi, sinarnya kian terik, berubah menjadi lembut tak terperi. Seketika, Wajah Gus Dur pun tiba-tiba muncul, tersenyum dan tertawa. Seolah berkata: Rif, santuy, balik sudah, gitu aja kok repot.
Al-Fatihah