Kematian merupakan satu tahapan perjalanan manusia kembali kepada Allah Swt. Setiap manusia pasti akan melewati jalan kematian ini. Sebab hakikatnya hidup di dunia adalah perjalanan pulang menuju ke pangkuan-Nya. Manusia milik Allah dan pasti ia akan kembali kepada-Nya.
Manusia lahir ke dunia atas kehendak-Nya. Begitu pula, ia meninggalkan dunia juga atas iradah-Nya. Penentu kematian adalah mutlak Allah. Karena itu, kematian merupakan hak prerogative Allah atas makhluk-Nya. Siapapun tidak akan bisa mengelak jika Allah sudah berkehendak.
Meski demikian, tidak semua manusia siap menghadapi kematian. Bahkan banyak yang berusaha menghindar dari kematian. Andai dibuat polling dengan pertanyaan : “Apakah Anda siap menghadapi kematian?” pasti banyak yang menjawab “belum siap!” Jika manusia boleh meminta ia akan minta hidup selama-lamanya di dunia ini.
Padahal menghindari dan menyangkal kematian adalah kesia-sian. Sekuat apapun manusia, kematian pasti akan menghampirinya. Tidak peduli orang alim, orang kaya, orang miskin, pejabat, ataupun rakyat jelata pasti akan mengalami dan melewati jalan kematian.
Lantas bagaimana jika kematian itu menghampiri kita? Apa yang harus kita lakukan menghadapi detik-detik kematian? Kitab Masailul Janaiz karya Kiai Misbah Zainul Mustafa Bangilan Tuban ini bisa membantu menjawab persoalan cara menghadapi detik-detik kematian tersebut.
Kiai Misbah merupakan satu diantara ulama nusantara yang cukup produktif menulis. Beliau menulis kitab berbagai bidang disiplin ilmu keislaman. Kebanyakan karyanya ditulis dalam bahasa Jawa-Arab Pegon. Karya beliau antara lain Tafsir Al Iklil, terjemah Tafsir Jalalain, terjemah Fathul Muin, terjemah Fathul Qarib, terjemah Riyadhus Shalihin, terjemah Bulughul Marom, terjemah kitab Hikam, terjemah Al Fiyah Ibnu Malik, dan lain-lainnya.
Adapun kitab Masailul Janaiz ini merupakan salah satu karya Kiai Misbah di bidang fikih. Penulisan kitab Masailul janaiz ini dilatar belakangi keprihatinan Kiai Misbah pada praktek-praktek pemulasaraan jenazah yang terjadi di masyarakat. Dimana ia melihat banyak praktek-praktek pemulasaraan jenazah yang tidak semestinya (tidak sesuai dengan syariat Islam) yang terjadi di masyarakat. Boleh dikata, tujuan Kiai Misbah menulis Kitab Masailul Janaiz ini adalah dalam rangka menjelaskan persoalan-persoalan pemulasaraan jenazah yang sesuai dengan syariat islam (fikih).
Jika demikian, tentu fokus pembahasan kitab setebal 62 halaman tersebut menguraikan seputar kaifiyyah atau tata cara memandikan jenazah, mengafani, menyolati, dan mengubur jenazah. Tidak hanya itu, Kiai Misbah juga menguraikan persoalan seputar ziarah kubur dan tradisi tahlilan yang terjadi di masyarakat. Kemudian kitab Masailul Janaiz ini ditutup dengan uraian singkat detik-detik wafatnya Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Akan tetapi, sebelum mengulas detail persoalan seputar pemulasaraan jenazah, Kiai Misbah terlebih dahulu memberikan semacam pengantar atau prolog tentang orang yang sedang menghadapi detik-detik kematian. Dalam prolog inilah Kiai Misbah menguraikan apa yang sebaiknya dilakukan ketika seseorang merasakan dan mengetahui akan tanda-tanda datangnya kematian pada dirinya. Orang yang sedang menghadapi detik-detik kematian ini oleh Kiai Misbah disebut dengan istilah “Muhtadlor.”
Menurut Kiai Misbah orang yang merasakan tanda-tanda akan datangnya kematian sebisa mungkin berusaha menyibukkan hati dan pikiran akan rahmat Allah Swt. Orang tersebut hendaknya berusaha menjaga focus hati dan pikirannya mengharap kasih-Nya dan ampunan-Nya. Selain itu, orang tersebut pikiran dan hati hendaknya berusaha ridho atas kehendak Allah, yakni datangnya kematian.
Sederhananya, orang yang sedangkan menghadapi kematian berusahalah berperasangka baik kepada Allah. Berpersangka bahwa Allah adalah Maha Pemurah. Allah adalah Maha Pengasih. Karena itu, ketika seseorang menghadapi kematian hendaknya ia menyibukkan hati dan pikirannya dengan memohon limpahan kasih dan ampunan dari Allah swt. Intinya ia harus menjaga focus hati dan pikirannya untuk Allah semata.
Jika orang yang sedang menghadapi kematian hanya berpikir akan datangnya rahmat dan ampunan Allah, serta ridha akan kehendak Allah, maka ruh akan mudah dan cepat keluar dari jasad. Sebaliknya, jika orang yang sedang menghadapi detik-detik kematian tidak bisa melepaskan pikiran dan hatinya dari hal-hal duniawai, maka ruh akan lama keluar dari jasadnya.
Dengan demikian, agar perjalanan ruh menuju kepada Allah menjadi lancar dan mudah orang yang menghadapi kematian harus membersihkan hatinya dari kesenangan-kesenangan duniawi. Jangan berpikir, bathek, anak, istri, harta benda, dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Jika masih berpikir hal-hal duniawi maka akan menjadi beban dan penghalang perjalanan ruh kembali kepada Sang Khalik.
Kiai Misbah menulis :
“…. kapan Muhtadlor iku ridho ing pamundute Allah Kang Maha Agung, atine ora kumanthil karo kahanan apa kang disenengi ana ing ngalam dunya, metune ruh insyaallah bakal gampang,” hal. 4.
Terjemahnya kira-kira begini :
“….jika muhtadlor (orang yang menghadapi detik-detik kematian) ridho, rela, legowo, pasrah akan kehendak Allah (yaitu datangnya kematian), hatinya tidak terbelenggu atau tertambat dengan hal-hal duniawai yang disukainya di dunia, insyaallah ruh akan keluar (dari jasad) dengan mudah.”
Mengapa demikian? Kiai Misbah menjelaskan bahwa manusia terdiri dari “jasad kasar” dan “jasad halus.” Jasad kasar manusia bisa dilihat dan dirasa oleh panca indera, seperti daging, otot, dan tulang. Sedangkan yang dimaksud jasad halus adalah ruh atau nyawa. Keduanya memilki dunia atau alam tersendiri.
Jasad kasar bertempat di alam syahadah atau alamul mulk (alam materi), yaitu alam yang isinya bisa diraba dan dirasakan dengan panca indera. Singkatnya jasad kasar bertempat di alam dunia ini. Sedangkan ruh atau nyawa semestinya bertempat di alamul ghaib atau alamul malakut (kerajaan rohani), alam yang isinya tidak bisa diraba dirasakan oleh panca indera.
Karena tempat ruh yang sesungguhnya adalah di kerajaan rohani, maka ruh tidak semestinya bertempat di jasad kasar (tubuh). Kemudian, ruh bertempat tinggal di jasad kasar itu karena semata-mata tunduk kepada perintah Allah. Sehingga ketika manusia menghendaki mati, ridha dengan kehendak Allah, legowo dengan datangnya kematian, sesungguhnya ruh sangat senang. Demikian itu, karena ia merasa akan segera kembali kepada alamnya, yakni alam malakut (kerajaan rohani).
Permasalahnnya, jika orang yang sedang menghadapi kematian tidak rela atas takdir kematian, hati dan pikirannya masih berpikir akan anak, istri, harta bendanya dan lainnya tentu akan menghambat perjalanan ruh ke alam malakut (kerajaan rohani). Seolah-olah ruh masih merasa digondeli oleh jasad kasar. Sehingga ruh sulit keluar dari jasad kasar. Perjalanan ruh keluar dari jasad kasar menjadi lama.
Intinya beratnya hati menerima takdir kematian akan menghambat ruh keluar dari jasad kasar. Sebaliknya jika orang yang menghadapi detik detik kematian ridha akan kehendak Allah, hatinya tidak kumantil terhadap apa yang menjadi kesenangannya di dunia, ruh akan mudah keluar dari jasad kasar. Ruh akan merasa senang dan gembira meninggalkan jasad kasar (dunia). Pada akhirnya perjalanan ruh akan lapang dan lancar menuju tempat asalnya, alam malakut (kerajaan rohani) menghadap Penciptanya.