Saat ini kita berada di zaman yang penuh dengan ketidakjelasan. Zaman di mana kita semakin sulit untuk menentukan siapa yang patut untuk kita anut dalam bidang agama, zaman di mana kita semakin sulit untuk menentukan bagaimana kriteria ulama yang dapat membimbing pada ajaran Nabi Muhammad SAW. Untuk itu, KH. Marzuki Mustamar dan KH. Miftachul Akhyar menjelaskannya secara detil pada peringatan Haul salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Bisri Syansuri ke-42 (12/02) di Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang yang disiarkan secara langsung di kanal Youtubenya.
Berdasar pada hadis riwayat muslim yang berbunyi, “man ‘amila amalan laysa alaihi amruna fahuwa raddun,” yang berarti “barangsiapa melaksanakan sebuah amal (dalam Islam) yang tidak sesuai dengan yang diperintah dan dituntunkan Rasul maka amalnya ditolak”. Dan hadis riwayat At-Tabrani yang berbunyi, “la tabkuu ala ad-din idza waliyahu ahluh, wabkuu ala ad-din idza waliyahu ghairu ahlih,” yang artinya “jangan kau tangisi agama jika memang diurus oleh ahlinya, namun tangisilah agama jika yang mengurus bukan ahlinya”. KH. Marzuki Mustamar mengajak kita untuk memilih ulama atau ahli agama yang benar-benar mumpuni dan otoritatif.
Menurut beliau, sebuah amal dapat diterima tidak hanya karena didasari keikhlasan atau dilakukan dengan niat dan hati yang bersih tapi juga harus sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Rasul Saw. Nah, bagaimana agar kita dapat melakukan sebuah amal sesuai dengan tuntunan Rasul? Tentu dengan mengikuti ahli ad-din atau para ahli agama. Para ahli ini ialah para kiai dan ulama yang ahlussunnah wal jamaah hingga kita tak perlu kuatir dan risau untuk mengikutinya.
“Ahlu Ad-Din ialah para kiai dan ulama yang memang ahlussunnah wal jamaah, mereka layak disebut ahlu ad-din dan ketika yang mengurusi agama adalah para kiai tersebut maka sudah beres, tidak perlu risau dan khawatir.” Tutur kiai yang juga menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur.
Kiai-kiai tersebut dapat diketahui sebagai ahlu ad-din dari empat faktor. Pertama, para kiai berproses tumbuh dan berkembang di lingkungan agama. Rata-rata para kiai sejak sebelum lahir telah diperdengarkan bacaan Al-Quran, saat kecil pun langsung dididik oleh orang tuanya tentang ilmu agama. Hingga akhirnya, setelah lulus madrasah ibtidaiyah bahkan sebelum itu si calon kiai tersebut ingin masuk pondok pesantren dan belajar tidak hanya tiga atau empat tahun tapi delapan belas tahun bahkan hingga menjadi kiai.
Kedua, kiai mengaji dengan kitab kuning yang telah teruji dan terjaga kualitasnya. Si calon kiai mengaji langsung kepada kiainya menggunakan kitab kuning berbahasa arab dan langsung dibenarkan oleh kiainya apabila adalah kesalahan dalam membaca atau kesalahan cetak. Karena model pendidikan tersebut maka para calon kiai tersebut terwarisi ilmu agmanya secara urut hingga Rasul Saw. Ketiga, para calon kiai diajarkan ilmu alat yang diajarkan di pondok. Ilmu alat merupaka ilmu yang sangat penting dan harus dimiliki oleh kiai untuk membaca dan menerangkan tafsir, hadis, dan kitab-kitab yang besar.
Terakhir, para kiai ketika mondok tidak hanya mendapat transfer ilmu tapi juga mendapat doa, perhatian, dan berkah serta sedikit banyak ketularan karakter dari para kiainya. Lebih lanjut mengenai itu KH. Miftachul Akhyar mengutip ayat Al-Quran yang berbunyi, “innama yakhsyaallaha min ‘ibadihi al-ulama,’” artinya “sesungguhnya hamba yang takut kepada Allah ialah ulama”.
Dari ayat itu, kiai yang juga menjabat sebagai Rais ‘am Nahdlatul Ulama itu memberikan syarat bahwa seorang ulama itu harus dibarengi dengan khasyyatullah. Khasyyatullah sendiri merupakan khauf dan ta’dhim, takut sekaligus mengagungkanNya. Menukil dari Imam Ibnu Athoillah Al-Iskandari, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut menjelaskan bahwa terjemah ayat tersebut menurut Imam Ibnu Athoillah merupakan ilmu nafi’ atau ilmu yang bermanfaat.
Ilmu bermanfaat merupakan ilmu yang menyinari dada sebagai tempat hati dan menyingkap sesuatu yang aslinya tak tahu menjadi tahu serta pengetahuan yang dimiliki merupakan pengegtahuan yang meyakinkan. Selain itu, ilmu bermanfaat juga adalah ilmu yang menghasilkan buah. Oleh karenanya orang berilmu harus menjadikan ilmunya berbuah kalau segala yang ada di dunia ini bersumber kepada Allah.
Beliau pun kembali menegaskan bahwa ulama adalah seseorang yang selain berilmu tapi juga memiliki khasyyatullah. Apabila ada seseorang yang pakar dalam ilmu tapi tidak didampingi dengan khasyyatullah maka tak pantas disebut sebagai ulama. “Memang hanya ulama yang punya khasyyatullah. Kalau ada orang pintar atau orang pandai tapi tidak didampingi dengan khasyyatullah, ya bukan ulama. Bisa disebut ulama sekadar ulama majas, ulama sebutan, dsb.”
Pada akhir peringatan Haul tersebut KH. Miftachul Akhyar menegaskan bahwa KH.Bisri Syansuri merupakan seseorang yang pantas, layak, dan termasuk dalam ulama yang memiliki khasyyatullah kemudian mendoakan agar semua yang ikut memperingati mendapatkan berkah di tengah-tengah dunia yang tidak menentu ini. “Almarhum Almaghfurlah KH. Bisri Syansuri ini merupakan seseorang yang layak dan termasuk dalam ayat innama yakhsyallaha min ibadihi al-ulama’”.