Ushul Fikih merupakan ilmu yang tak dapat ditinggal bagi para ahli fikih dan hakim agama di tengah-tengah pengambilan hukum-hukum syariat. Ilmu ushul fikih juga merupakan sebuah fondasi atau asas yang digunakan para mujtahid dalam mengeluarkan hukum-hukum fikih dan istinbathnya dari sumber-sumber hukum Islam yang dapat digunakan untuk berijtihad.
Dari semua sumber hukum tersebut empat di antaranya disepakati oleh para ulama, yakni; Al-Quran, Hadis/Sunnah, Ijma’, dan dan Qiyas, serta diikuti oleh beberapa sumber dalil lainnya yang masih ada pebedaan di dalam penggunaannya, seperti, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, dan masih banyak lagi.
Para ulama sendiri baik salaf maupun kontemporer mencurahkan banyak tenaga, waktu, dan kerja keras mereka dalam cabang ilmu ini dengan membuahkan hasil-hasil ijtihad mereka, menetapkan pembahasan-pembahasan dan menyebutkannya secara terperinci dalam kitab yang jumlahnya sangat banyak. Mereka juga melarang siapapun yang tidak memahami ilmu ushul fikih untuk berfatwa dan memutuskan sebuah hukum di antara masyarakat muslim.
Selain bagi para ulama, ilmu ushul fikih juga penting untuk dipelajari oleh para santri atau pelajar agar mengetahui kaidah-kaidah istinbath dan tata cara memahami nash-nash Syariat yang mana merupakan kunci dalam mengetahui pemikiran dan amaliyah para mujtahid.
Di Indonesia sendiri atau lebih tepatnya di pondok pesantren, hal di atas telah dipraktekkan sejak lama. Para santri mempelajari berbagai kitab baik berbentuk kecil maupun besar, yang terkadang selesai dalam satu bulan saat Ramadhan saja. Akan tetapi dari prestasi tersebut hanya ditemukan sedikit dari para ulama Indonesia atau ulama pesantren untuk menulis kitab dalam bidang ushul fikih.
Dari sedikit itu, Kiai Muhammad Afifuddin Dimyathi ikut andil untuk menulis kitab ushul fikih yang berjudul “Jadawilul Fushul fi Ilmil Uhsul”. Beliau adalah salah seorang Katib Syuriah PBNU serta pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang. Beliau merupakan alumni dari Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Jember yang kemudian beliau melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar Mesir, lalu menempuh S2 di Khartoum International Institute of Arabic Sudan, dan akhirnya menyelesaikan gelar doktoralnya di Neelain University pada 2007.
Uniknya kiai yang masih terhitung cukup muda ini telah membuahkan banyak sekali kitab sebagaimana pujian yang diberikan Kiai Afifudin Muhajir, seorang pakar ushul fikih Indonesia dan salah seorang Rais Syuriah PBNU dalam kata pengantarnya di kitab ini, bahwa Kiai Afiudin Dhimyati telah menulis banyak kitab melebih umurnya.
Dalam menulis kitab ini, Kiai Afif mengutip dari kitab-kitab para ulama kontemporer seperti kitab Ushul Al-Fiqh karya Syekh Muhammad Al-Khudori, Kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh karya Syekh Abdul Wahab Khalaf, Kitab Ushul Al-Fiqh karya Syekh Muhammad Abu Zahrah, Kitab Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh karya Sykeh Wahbah Az-Zuhaili, Kitab Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh karya Doktor Abdul Karim Zaidan, dll.
Kitab ini berisi tabel-tabel atau peta konsep yang mempermudah dan memperjelas para santri khususnya yang baru memulai belajar ilmu ini. Walaupun berisi tabel, namun tak mengurangi isi dan substansi yang ingin dibawakan. Bahkan semuanya dijelaskan secara jelas, lugas, dan ringkas tak bertele-tele.
Kitab setebal 136 halaman ini terdiri dari lima bagian yang mencakup sub-bab yang terperinci. Bagian pertama berisi segala sisi pengertian ilmu ushul fikih, perkembangannya, serta kitab-kitab yang masyhur membahas ilmu ini dari zaman ulama salaf hingga kontemporer.
Bagian kedua lebih terfokus dalam menjelaskan sumber-sumber hukum syariat baik yang disepakati maupun tidak seperti yang dijelasan di atas. Sumber-sumber hukum tersebutlah yang digunakan oleh para mujtahid untuk berijtihad menentukan hukum-hukum syariat.
Dalam bagian ketiga, Kiai Afif atau yang akrab dipanggil Gus Awis tersebut menjelaskan tentang hukum-hukum syariat mulai dari siapa itu yang disebut Al-Hakim atau pembuat hukum. Lalu apa yang dimaksud dengan Al-Hukmu baik Al-Hukmu At-Taklifi yang meliputi wajib, sunnah, makruh, dll. maupun Al-Hukmu Al-Wadhaai yang meliputi sebab, syarat, mani’, dll.
Tak berhenti sampai di situ, beliau juga menjelaskan tentang Al-Mahkum Fih dan Al-Mahkum Alaih secara lugas dan dan mendalam. Di bagian keempat beliau tak melupakan untuk membahas Kaidah Ushul Bahasa seperti, macam-macam dalalah lafad terhadap makna, dan cara memahami makna lafad, kejelasan dalalah dan kesamarannya, dll. Di bagian terakhir dijelaskan Kaidah-kaidah ushuliyah syariah dengan membahas Maqasid Asy-Syariah Al-Islamiyah, Taqlid dan Ijtihad, nasakh hukum, dan pertentangan antar dalil.
Dengan ditulisnya kitab ini Kiai Afifudin Dimyati tak hanya mempermudah para santri untuk memahami ilmu ushul fikih dan menunjukkan pentingnya ilmu ini. Namun, beliau juga meneruskan budaya tulis-menulis dan mengarang kitab yang telah dilakukan ulama-ulama nusantara selama berabad-abad. Tentunya, ini juga menjadi teladan dan semangat bagi para santri untuk meneruskan dan melestarikan apa yang telah dilakukan oleh Kiai Afif dan ulama-ulama terdahulu baik dalam menuntut ilmu maupun merangkainya dalam sebuah kitab. Wallahu a’lam