Kata kiai jika ditelisik dari pemahaman masyarakat dan Islam merupakan julukan yang disematkan pada seseorang yang dianggap sangat ahli di bidang agama dan punya komitmen yang kuat untuk mentransfer ilmunya pada masyarakat. Istilah kiai sendiri semakna dengan ajengan, gurutta, tuanguru, guru, dan lain-lain. Dalam masyarakat sendiri, kiai merupakan sosok yang multiperan. Tak hanya sebagai penyebar ilmu keagamaan, kiai juga menjadi seorang pemimpin, tabib, orang sakti, dll.
Ketika membicarakan kiai, tentu sering bagi kita untuk menghubungkannya dengan pesantren. Menurut Zamakhsyari Dzofier dan KH. MA. Sahal Mahfudz kiai merupakan salah satu dari lima unsur pokok pesantren selain pondok, masjid, santri, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Namun terdapat fenomena unik di kota Kudus, di mana terdapat kiai-kiai dengan nama besar namun tak memiliki pesantren, atau nama pesantrennya tak sebesar nama mereka. Kiai-kiai ini lebih terfokus untuk mentransfer ilmu mereka lewat masjid, madrasah, majlis taklim, dan lain sebagainya.
Di antaranya yaitu Kiai Sya’roni Ahmadi, seorang kiai yang komplit dan otoritatif namun tak memiliki pesantren. Beliau lahir pada 17 Agustus 1931, tepat dengan kemeriahan perayaan hari kemerdekaan NKRI. Ayah beliau Bernama Kiai Ahmadi dan ibu beliau Bernama Nyai Hj. Masnifah, mereka mempunyai delapan anak yang mana Kiai Sya’roni salah satu di antara mereka.
Proses mencari ilmu beliau terhitung sejak beliau di Ma’ahid yang lama di pagi hari dan di Muawanatul Muslimin di sore harinya. Sayang seribu sayang, di tengah proses mencari ilmu di usia belia beliau harus menghadapi kenyataan karena ditinggal ibunya ketika berumur sembilan tahun dan disusul ayahnya ketika berumur tiga belas tahun. Dalam kondisi seperti ini, beliau harus bekerja di pasar Kliwon Kudus untuk memenuhi kebutuhannya. Di sampinng bekerja di pasar Kliwon, beliau juga mengaji dan menghafal Al-Quran di pondok milik Kiai Mansyur dan Kiai Arwani serta mengaji beberapa kitab kepada KH. Turaichan Adjhuri di kediamannya.
Selain kepada Kiai Mansyur, Kiai Arwani, dan Kiai Turaichan beliau juga mengaji kepada beberapa kiai lainnya di kota Kudus. Di antara kiai-kiai itu ialah KH. R. Asnawi, KH. Turmudzi, dan KH. Ma’ruf Irsyad. Sosok kiai yang akrab disapa Mbah Roni oleh para santrinya ini merupakan kiai yang komplit dan multi talent, sebab tak hanya ahli dalam dakwah lisan sebagai macan panggung, namun beliau juga ahli dalam dakwah bermedia tulisan. Tulisan-tulisan atau karya-karya beliau bahkan dijadikan sebagai materi pembelajaran di berbagai madrasah.
Karya-karya beliau mencakup berbagai macam cabang keilmuan yang menunjukkan kepakaran beliau dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Pertama ada kitab yang berjudul Faraidu Al-Saniyah. Kitab ini mencakup berbagai penjelasan tentang ahlussunnah wal jamaah baik dari hadis maupun pendapat ulama salaf yang mudah untuk dicerna bagi pembelajar dan orang awam. Kedua, ada kitab Qiraat Al-Ashriyyah. Sebuah kitab yang berisi bacaan-bacaan bahasa Arab kontemporer yang ditujukan agar para santri memiliki galeri kosa kata Bahasa arab yang lebih luas, tak hanya mampu membaca Bahasa arab yang sering keluar di kitab salaf saja.
Kitab ketiga beliau berjudul Faidh Al-Asani ala Hirzi Al-Amani wa Wajhi Attahani. Sebuah kitab berisi kaidah qiraah sab’ah yang ringkas dan contoh konkret pula. Kitab ini merupakan terjemahan dari kitab karangan Imam Syathibi yang berjudul Siroju Qiroil Mubtadi. Selanjutnya ada kitab terjemah kitab Sullam Al-Munawaraq karya Syekh Abdurrahman Al-Akhdori dan kitab terjemah Tashil Al-Turuqat karya Imam Haramain.
Sudah umum diketahui masyarakat bahwa Kiai Sya’roni merupakan orang yang mampu menyampaikan ajaran Islam untuk dapat dicerna oleh orang lain dengan mudah dengan bumbu-bumbu gurauan yang tak mengilangkan substansi apa yang disampaikan.
Hal itu juga senada dengan testimoni dari Prof. H. Abdurrahman Mas’ud Ph.D. yang terdapat dalam bukunya yang berjudul Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus), sebuah buku yang otoritatif dan apik untuk mengenal kiai tanpa pesantren di kota Kudus sebagaimana berikut,
“Hal lain yang sudah dimaklumi publik, beliau mempunyai keistimewaan menyampaikan ajaran agama dengan begitu mudah dicerna oleh siapa saja, meskipun message yang disampaikan mempunyai kualitas dan sofistikasi tinggi. Dalam penyampaiannya, biasanya tidak lepas dari unsur joke yang menghibur dan mendidik”.
Pada 27 April lalu kiai yang juga menjadi Mustasyar PBNU tersebut menghembuskan nafas terakhirnya di RSI Sunan Kudus dalam usia 89 tahun, dengan meninggalkan banyak karya dan teladan yang harus terus dijaga dan dilestarikan oleh para santri generasi setelahnya.