Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk masuk dalam perdebatan apakah Al-Qur’an produk budaya atau bukan? sebagaimana yang menjadi perdebatan sarjana Al-Qur’an modern seperti Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya, Mafhum Al-Nash (1993), yang kemudian mendapat kecaman dari ulama timur tengah. Tulisan ini lebih kepada mengangkat fakta sekaligus fenomena sosial Al-Qur’an dalam ‘berinteraksi’ dengan budaya manusia yang dijumpainya.
Secara eksistensi, Al-Qur’an dan budaya merupakan dua hal yang sangat berbeda, sekalipun tak saling berseberangan. Al-Qur’an bersumber dari Tuhan, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Al-Qur’an berasal dari Yang Tak Terjangkau, sementara budaya dapat terjangkau. Meski demikian, sejak awal Al-Qur’an dihadirkan untuk menjadi pedoman hidup manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 2 dan 185. Pedoman tersebut dapat terkait pemahaman ataupun tidak. Dalam konteks ini, Sam D Gill (1985) menyebutnya sebagai sisi Informative dan Performative .
Pada sisi informative (informasi), interaksi manusia terhadap Al-Qur’an kemudian menghasilkan karya-karya tafsir, kajian Al-Qur’an, dan lain sebagianya. Sementara interaksi manusia pada sisi performative (performasi) akan menghasilkan tradisi atau budaya yang beragam antara satu orang atau masyarakat dengan lainnya. Di sini, penulis akan berfokus pada sisi performative untuk menjelaskan fenomena sosial Al-Qur’an dan budaya dalam kehidupan manusia, terutama era Islam Awal.
Tradisi Al-Qur’an dalam Performasi sebagian Al-Qur’an
Dalam proses penyampaiannya, Al-Qur’an berasal dari Allah SWT kemudian kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, lalu disampaikan lagi kepada manusia yang dilakukan secara lisan. Bentuknya sebagai teks lisan menjadi fenomena awal dan tersendiri dalam sejarah perwahyuannya di kehidupan manusia. Ia bertemu dengan tradisi, misalnya, syair Arab yang menjadi kebanggaan bangsa Arab (Hitti, 2006). Tradisi tersebut seketika tak berdaya dihadapan Al-Qur’an. Pada tahap ini, terlihat Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia yang tidak terkait dengan pemahaman (informative), melainkan sisi kemukjizatan (performative).
Kemukjizatan tersebut dapat ditemui dari sisi ia menjadi teks lisan (suara/bunyi) yang terangkai menjadi sebuah ungkapan atau lainnya. Dari mukjizat ini kemudian melahirkan sangat banyak perlakuan yang tidak biasa dari manusia. Kisah-kisah pertemuan manusia dengan Al-Qur’an pada era pewahyuan menjadi kesaksikan dalam hal ini. Misalnya, kisah ketakjuban Al-Walid ibn Al-Mughirah terhadap rangkaian ungkapan Al-Qur’an, demikian juga ketakjuban Umar ibn Khattab yang menjadikannya masuk ke agama Islam.
Selain dari kemukjizatannya, Al-Qur’an sebagai wahyu yang disampaikan secara lisan pun ikut membentuk fenomena performasi dalam bentuk lainnya. Misalnya, sering ditemukan riwayat yang mengisahkan Al-Qur’an dibacakan guna menjadi obat (syifa). Bahkan, pengobatan dengan menggunakan Al-Qur’an juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika itu, Nabi Muhammad SAW membaca Al-Fatihah yang difungsikan untuk mengobati sengatan ular yang mengenai salah seorang sahabatnya.
Selain Nabi Muhammad SAW, pembacaan surah Al-Fatihah sebagai obat juga pernah dialami oleh sahabat. Saat itu, rombongan sahabat sedang dalam perjalanan, lalu berhenti di sebuah daerah. Tak lama kemudian, datang seorang menghampiri rombongan sahabat untuk meminta pertolongan agar diobati rajanya. Dalam keadaan seperti ini, salah satu sahabat menjawab “Ada”, lalu ia mengobati raja tersebut dengan membaca surah Al-Fatihah. Akhirnya, raja tersebut pun sembuh dari penyakitnya. Dan berbagai performasi lainnya yang terjadi dalam kehidupan umat Islam awal terhadap Al-Qur’an yang berbentuk lisan.
Tradisi Al-Qur’an dalam Performasi seluruh Al-Qur’an
Seiring perjalanannya, para ulama kemudian memberi definisi Al-Qur’an yang beragam tetapi masih satu nafas. Definisi yang popular dan diterima, misalnya, “Al-Qur’an adalah kalamullah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, yang disampaikan secara mutawatir, diawali dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah Al-Nas, serta membacanya bernilai ibadah” (Al-Qaththan, 1998; Al-A’zami, 1992; Syahbah, 1992; dan lainnya).
Definisi di atas menggambarkan Al-Qur’an yang sudah berada dalam bentuk mushaf. Tahap ini, Al-Qur’an mengalami peralihan dari wahyu yang lisan ke wahyu yang tertulis. Menariknya, definisi Al-Qur’an tersebut juga memperlihatkan posisinya sebagai pedoman yang tidak terkait pemahaman (informative), tetapi lebih kepada sisi performatif. Sisi ini terbaca pada adanya imbalan pahala jika membaca Al-Qur’an. Imbalan pahala ini menjadi salah satu indikasi terjadinya performasi umat Islam terhadap Al-Qur’an.
Terlebih lagi adanya keyakinan umat Islam bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah, yang dengan membacanya seperti halnya sedang berbicara dengan Allah SWT. Maka tidak heran jika fenomena sisi performative ini akan banyak bermunculan dan terus berkembang seiring perkembangan umat Islam di berbagai belahan dunia. Semakin tersebar dan berkembangnya umat Islam, semakin besar juga terjadinya fenomena performasi terhadap Al-Qur’an.
Dalam satu riwayat, Anas bin Malik pernah mengkhatamkan Al-Qur’an kemudian memanggil keluarganya untuk berkumpul, lalu mereka berdo’a secara berjama’ah. Riwayat ini umum dikutip dalam kitab-kitab Fadhilah Al-Qur’an seperti karya Abu Al-Qasim (1996), Al-Firyabi (1989), dan lainnya. Berkumpul dan berdo’a bersama menjadi sisi performatif yang dilakukan oleh Anas bin Malik terhadap Al-Qur’an. Masih sangat banyak riwayat yang memperlihatkan bahwa sebenarnya Al-Qur’an dapat menjadi pedoman hidup bagi manusia tanpa melalui pemahaman.
Selain sebagai pedoman hidup, sisi performasi manusia terhadap Al-Qur’an juga diperkuat oleh penyebutan Al-Qur’an sebagai syifa (obat), sebagaimana dalam QS. Al-Isra’ [17]: 82. Di sini, makna syifa dalam ayat tersebut dapat dipahami sebagai dua, yaitu obat fisik dan non-fisik. Ayat ini kemudian berposisi menjadi legitimasi adanya praktik menggunakan Al-Qur’an sebagai obat, terlebih lagi diperkuat oleh fakta-fakta Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang telah dikemukan di atas.
Karena itu, Al-Qur’an bukan kitab biasa, juga bukan ungkapan-ungkapan biasa, melainkan Al-Qur’an adalah kitab Mulia yang kemuliannya terpancar kepada manusia yang berinteraksi dengannya. Al-Qur’an menjadi kitab Suci yang kesuciannya datang dari dirinya sendiri, serta mendapat perlakuan disucikan oleh umat Islam, baik ketika hendak membacanya, memahaminya, bahkan hanya sekedar hendak menyentuhnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pertemuan Al-Qur’an dan budaya merupakan fenomena ‘kesalingan’ Al-Qur’an dan manusia yang dapat dipahami sebagai lingkup sisi performative.