Bulan Oktober 2021 ini terasa istimewa, karena bulan ini mempertemukan dua peristiwa besar dalam sejarah umat Islam Indonesia, hari kelahiran Nabi Besar Muhammad Saw dan peringatan Resolusi Jihad yang ditetapkan Pemerintah sebagai hari santri nasional.
Bulan Maulid dan Bulan Resolusi Jihad meskipun sebenarnya tidak memiliki korelasi yang bersifat langsung, namun kenyataannya Hadratussyaikh sebagai pribadi ahli hadis yang selalu bercermin kepada Nabi Agung Muhammad (profetik oriented) dalam setiap situasi yang sedang dihadapi. Begitulah sosok KH. Hasyim Asy’ari di mata KH. Abdurrahman Badjuri, salah satu santri yang “menangi” ngaji langsung kepada beliau. Dalam melandasi spirit perjuangan melawan penjajahan, Hadratussyaikh disebut-sebut berorientasi kepada perjuangan Nabi Muhammad.
Ketika saya berkesempatan untuk wawancara dengan KH. Abdurrahman Badjuri di kediamannya di Purworejo pada 4 Oktober 2018 lalu di Dusun Carikan, Brunosari, Bruno, Purworejo, Jawa Tengah. Salah satu hadis jihad KH. Hasyim Asy’ari yang diingat Kiai Badjuri adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal Ra yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ »
Artinya: “Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, puncaknya yang tertinggi adalah jihad.”
Hasyim Asy’ari mencoba untuk menjelaskan kepada santrinya betapa pentingnya arti jihad di dalam menegakkan Islam. Hadis ini menjadi salah satu landasan mengapa kaum santri diharuskan jihad untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Konsep perjuangan yang diajarkan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah tercerabut dari akar keislaman yang kokoh. Spirit yang diusung adalah spirit yang berorientasi nubuwah. KH. Hasyim Asy’ari membangun pondasi perjuangan secara doktriner dengan menjadikan perjuangan Nabi Muhammad menjadi role modelnya. KH. Hasyim Asy’ari memberikan pemahaman kepada pada muridnya bahwa perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari bentuk meneladani perjuangan Nabi Muhammad saat ingin menaklukkan kota Makkah.
Nuansa profetik oriented ini sangat terasa jika kita membaca beberapa tulisan hadratussyaikh, misalnya saja dalam perjuangan kemerdekaan RI diqiyaskan dengan fathu Makkah (Wawancara KH. Abdurrahman Badjuri), terguran atas kondisi umat Islam yang pecah diqiyaskan seperti pecahnya umat Nabi Muhammad di Perang Hunain (Pidato Pembukaan Muktamar NU ke-15 tahun 1940) dengan mengkutip hadis ولا تختلفوا فإن من (كان) قبلكم اختلفوا (فـ)هلكوا, keprihatinan atas keengganan sebagian kelompok untuk berjuang melawan penjajah diqiyaskan dengan keengganan pasukan Thalut untuk berperang melawan Jalut dan bala tentaranya (Pidato Pembukaan Muktamar NU ke-17 tahun 1947).
Dalam pidato pembukaan Muktamar NU ke-16 tahun 1946 di Purwokerto, Hadratussyaikh juga menyampaikan beberapa poin “qiyas” kepada Nabi Muhammad, seperti membangun negara setalah memproklamirkan kemerdekaan diqiyaskan dengan membangun kota Madinah setekah hijrah, membangun SDM untuk mengisi kemerdekaan diqiyaskan dengan Nabi saat membangun SDM saat membangun pemerintahan di Madinah, Teguran kepada kelompok yang membelot kepada penjajah diqiyaskan seperti layaknya serigala berbulu domba, yaitu kaum munafik yang ikut berperang dalam barisan pasukan Nabi Muhammad, dan saya kira masih ada beberapa lagi.
Perjuangan kemerdekaan dicapai dengan melakukan beberapa usaha penuh pengorbanan yang menguras peluh dan keringat, sebagaimana Nabi Muhammad menyerukan untuk berhijrah, lalu membangun pemerintahan di Madinah lantas kembali menguasai kota Makkah. Konsep perjuangan yang dibangun di atas landasan spiritual Nabi Muhammad ini lantas melahirkan bangunan daya juang yang kokoh yang bernuansa profetik. Perjuangan kebangsaan yang disemai dengan motif keagamaan. Dengan semangat juang pantang menyerah, namun tetap menyandarkan segala daya dan upaya kepada Allah Swt.
Maka tidak heran jika KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya menyongsong kemerdekaan RI melalui MIAI dan Masyumi di bidang politik, membentuk Hizbullah dan Sabilillah di bidang militer, mengobarkan rasa nasionalisme di bidang pendidikan, membangkitkan persatuan dan solidaritas umat Islam di bidang sosial kemasyarakatan, membangun kekuatan koperasi umat “Nahdlatut Tujjar” di bidang ekonomi. Selain itu semua, KH. Hasyim Asy’ari juga tidak lupa melengkapi semua itu dengan melakukan mujahadah bersama para pengikutnya guna membangun mental pejuang mujahid fi sabilillah dan menghadirkan spirit perang Badar di bidang psikologi-spiritual.
Mujahadah yang digelar KH. Hasyim Asy’ari bersama para kiai lainnya ini terasa masih sangat segar dalam ingatan Kiai Baduri. Kiai yang meninggal pada 26 Januari 2021 yang lalu ini menuturkan bahwa selepas pengajian pasanan Bukhari-Muslim mulai bulan Rajab (beliau menyebutnya demikian), Sya’ban hingga tanggal 25 Ramadlan, malam harinya Kiai Hasyim bersama Kiai Wahab Chasbullah mengajak peserta pengajian (yang umumnya telah menjadi kiai) untuk bermujahadah, di komplek Wisma F Pesantren Tebuireng.
Dalam majlis mujahadah ini, semuanya membaca hauqalah لا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم sebanyak 100 kali, sebagai bentuk kepasrahan seorang hamba kepada Tuhanya. Selain itu, untuk menolak bahaya dari pasukan Belanda, agar mereka menyerahkan diri dengan skenario apa pun, Kiai Hasyim dan para kiai lainnya membaca surat al-Fiil, atau juga dikenal dengan nama surat Alam Tara.
Mewiridkan kalimat hauqalah sebagai bentuk kepasrahan spiritual ini ternyata juga punya mempunyai alasan. Sebagaimana yang dituturkan Kiai Badjuri, bahwa alasan yang dikemukakan KH. Hasyim Asy’ari tentu iqtida’an, mengikuti jalan lelampah Rasulullah. kalimat hauqalah dijadikan simbol kepasrahan para Nabi yang diabadikan oleh al-Qur’an. sebagaimana saat Nabi ibrahim sudah dalam posisi terpojok oleh musuh-musuhnya, beliau lantas memilih pasrah dengan membaca hauqalah. Ketika Nabi Muhammad juga sudah terpojok dalam perang Badar, maka Nabi memilih pasrah dan bermunajat kepada Allah, hingga turun surat al-Anfal ayat 9:
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَٱسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّى مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ مُرْدِفِينَ
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”
Ini adalah salah satu penjelasan dari Kiai Hasyim yang ditangkap oleh KH. Abdurrahman Badjuri saat menerangkan hadis perang Badar. Jihad bisa dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, Nabi dengan pedang, bisa juga melalui ceramah atau juga diplomasi. KH. Abdurrahman Badjuri menjelaskan logika yang dipakai Kiai Hasyim dalam menjelaskan arti dari sebuah perjuangan melawan penjajah ialah, Nabi ingin menguasai Makkah, Bangsa Indonesia ingin merdeka, Akhirnya nabi bisa menguasai Makkah, bangsa Indonesia bisa merdeka.
Pola profetik oriented dalam konsep Resolusi JIhad KH. Hasyim Asy’ari ini bisa dilihat secara gamblang dalam pidato pembukaan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto yang disampaikan langsung oleh Kiai Hasyim, sebagaimana dikemukakan oleh KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya “Berangkat dari Pesantren, 433-435”. Dalam Muktamar NU kedua ini secara organisatoris NU juga tetap menggelorakan Resolusi Jihad sebagaimana berikut:
Saudara-saudara sekalian.
Pokok pertama: sungguh satu nikmat Allah yang besar, bahwa kita sekalian dijadikan ulama-ulama dan pemimpin rakyat, dan bahwa kita dilebihkan dari pada orang mukmin kebanyakan. Akan tetapi, sifat menjadi orang alim dan pemimpin itu tidak diberikan cuma-cuma begitu saja oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan tidak ada perhitungan (pertanggungjawaban). Bahkan sebelum perhitungan akhirat itu, di dunia juga ada perhitungan.
Umat kita sekarang telah berubah dari umat yang terjajah, yang tiap-tiap orang daripadanya tidak memikirkan lebih dari lingkungan rumah tangganya yang sempit dan pekerjaan sehari harinya yang berat dan sengsara—kedua duanya itu berarti kematian moral (semangat)– menjadi umat yang merdeka, bangkit, hidup dan mengetahui arti kemuliaan dan kehormatan dan siap berkorban untuk kedua hal itu dengan segala tenaga yang ada padanya.
Dengan pendek, tingkatan berpikir umat sekarag ini sudah naik jika dibandingkan dengan dulu, dan kesediaannya akan perjuangan hidup berlipat ganda lebih besar. Maka kewajiban kita para ulama dan pemimpin-pemimpin umat ialah harus meninggikan tingkatan berpikir kita di atas tingkatan berpikirnya umat, dan harus memandang persoalan hidup dengan sudut pandang yang lebih tinggi daripada pandangan mereka.
Marilah kita contoh sahabat-sahabat besar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai panutan yang baik. Kaum muslimin generasi pertama dulu, setelah pikirannya terbuka, jiwanya bangkit dengan hijrahnya ke dunia merdeka di zaman Madinah dan setelah tingkat berpikirnya naik, para sahabat besar lalu meninggikan lagi tingkat berpikir mereka. Sebagai contoh, Sayyidina Abu Bakar radliyallahu ‘anhu dulunya hanya memikirkan keadaan dirinya sendiri, perdagangan dan pasarnya. Tetapi kemudian di zaman Madinah, beliau memikirkan soal-soal militer dan urusan-urusan negara. Lihatlah pengorbanan beliau akan segala harta bendanya guna jaisyil usrah (tentara yang dibentuk di waktu kesengsaraan).
Jika tingkatan berpikir beliau tidak meningkat daripada sebelumnya, tentu beliau tidak akan tahu nilai tentara usrah itu. Dan jikalau tingkatan berpikirnya Sayyidina Khalid bin Walid radliyallahu ‘anhu tidak naik daripada zaman jahiliyyah, pastilah beliau akan merasa puas menjadi komandan kecil yang memimpin tentara yang terdiri dari beberapa prajurit saja, dan tidak akan dapat menjadi komandan yang memimpin 45.000 prajurit.
Dan kalau Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu tidak naik tingkatan berpikirnya dari pada dulu-dulunya, tentu beliau tidak akan dapat menjadi kepala negara yang daerahnya meluas mulai dari ujung tanah Syam (Syria) sampai ke ujung Yaman hingga ke batas Iran dan Mesir. Dan sangat boleh jadi beliau tidak akan menjadi kepala kota Madinah yang perbatasannya terbatas itu.
Demikian pula sahabat-sahabat yang besar-besar itu menaikkan tingkatan berpikirnya daripada tingkatan-tingkatan yang dulu saat zaman jahiliyyah dan zaman Islam di Makkah, merasa puas dengan memikirkan lingkungan-lingkungan mereka yang sempit. Kemudian ketika berhijrah dan hidup di zaman Madinah, mereka berpikir seluas daerah negara Islam yang luas batas-batasnya, dan juga berpikir tentang soal-soal militer yang besar dan tentang taktik politik yang penting-penting.
Maka kewajiban kita para ulama sekarang ialah berpedoman pada perjalanan mereka, para sahabat itu, dan berpikir tentang soal-soal umat yang besar, baik soal politik, militer, sipil dan lain-lainnya. Kalau kita tidak suka berlaku demikian maka umat Islam akan tunduk pada orang-orang yang memikirkan soal-soal ini yang terdiri daripada orang luar kita (luar Islam), dan dengan demikian, amanat (kepercayaan) Allah subhanahu wata’ala yang terletak pada bahu kita tentang umat jadi hilang musnah.