Setelah masifnya pemberitaan kasus penistaan terhadap Nabi Agung Muhammad Saw. yang terjadi di Prancis, banyak bermunculan ulasan yang mengomentari masalah penistaan agama dengan berbagai pendekatan dan perspektif. Bahkan lebih dari itu, sebagian golongan dari kaum muslim merasa penistaan terhadap Nabi (sabb al-Nabi) tidak cukup diselesaikan dengan ulasan-ulasan tersebut. Mereka yang mempunyai pandangan seperti ini lantas kelakukan gerakan turun jalan.
Kelompok ini mungkin tidak puas dengan terbunuhnya Samuel Paty, seorang guru yang menjadi pelaku penistaan Nabi Muhammad Saw dengan menunjukkan karikatur Nabi yang tidak pantas di hadapan murid-muridnya di kelas Kebebasan Berekspresi. Kejadian ini mengundang kecaman dunia atas penistaan simbol agama tersebut, hingga Presiden Prancis tampil membela sang guru dan memberinya penghargaan. Selain itu, ia juga menandaskan kepada dunia bahwa Prancis akan selalu menjunjung tinggi hak kebebasan berekspresi.
Dari berbagai respon yang muncul, terdapat ulasan yang mengatakan bahwa KH. M. Hasyim Asy’ari pernah mengeluarkan fatwa bahwa penista Nabi wajib dihukum mati, meski diakhir ulasan terdapat himpauan untuk tidak main hukum sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk menyanggah opini ini dengan menempatkan perkataan KH. M. Hasyim Asy’ari di kitabnya al-Tanbihat al-Wajibat li man yashna’ al-maulid bi al-munkarat pada setting sosio-historis, serta mencari posisi pendapat KH. M. Hasyim Asy’ari dalam sejarah pemikiran fikih.
Opini yang mengatakan bahwa KH. M. Hasyim Asy’ari pernah berfatwa tentang hukuman mati atas penista Nabi diambilkan dari kitab al-Tanbihat al-Wajibat pada sub bab al-tanbih al-tsamin (peringatan kedelapan) yang menukil pendapat Imam al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitabnya, al-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa. Memang semua ulama ahli fikih (termasuk Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad), telah sepakat bahwa penista Nabi Muhammad, baik secara sengaja maupun tidak, hukumannya adalah mati. Tidak satu pun ahli Fikih yang memperdebatkan ini.
Namun jika kita baca al-tanbih al-tsamin hingga tuntas, maka akan kita dapati bahwa pada akhir bagian, KH. M. Hasyim Asy’ari meminta kepada siapapun yang terbersit atau perkara yang dapat menistakan Nabi, untuk segera kembali ke jalan yang benar dan memintanya bertaubat kepada Allah Swt karena perbuatan keji tersebut dapat merusak kehidupan dunia dan akhirat.
Melihat konteks kitab al-Tanbihat al-Wajibat, sebenarnya kitab yang ditulis pada tahun 1936 tersebut dilatarbelakangi oleh perayaan maulid di salah satu pesantren di sekitar Madiun yang mencemari maulid dengan perbuatan mungkar. Maka bisa dipahami bahwa khitab kitab ini ditujukan kepada seorang muslim, bukan non muslim. Lantas apa hukuman atas penistaan Nabi yang dilakukan seorang muslim dalam kaca mata fikih?
Sebagaimana para imam madzhab, KH. M. Hasyim Asy’ari juga berpendapat bahwa penistaan Nabi dapat mengakibatkan seorang muslim dihukumi murtad. Para ulama fikih lantas merincinya, jika penistaan dilakukan dengan sengaja, maka pelakunya dihukumi murtad, namun jika tidak sengaja, maka cukup dihukumi fasiq. Perdepatan seputar hukuman penistaan Nabi oleh seorang muslim terjadi begitu alot.
Apakah seorang muslim yang menghina Nabi harus dihukum mati, ataukah hukuman mati itu dapat gugur dengan taubat. Jika disimpulkan, setidaknya silang pendapat yang terjadi di antara ulama fikih seputar penistaan Nabi oleh seorang muslim dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendapat.
Pertama, hukuman mati dapat gugur dengan taubat. Kedua, hukuman mati harus dilakukan dan taubat tidak diterima. Ketiga, hukuman mati tetap dilakukan meski taubat diterima.
Dari ketiga kelompok pendapat ini, agaknya KH. M. Hasyim Asy’ari lebih condong kepada kelompok pendapat yang pertama, yaitu hukuman mati dapat gugur dengan taubat yang sebenar-benarnya. Setidaknya ada tujuh alasan mengapa penulis dapat menyimpulkan bahwa KH. M. Hasyim Asy’ari lebih condong kepada kelompok pendapat pertama.
1. Boleh jadi seorang muslim yang melakukan penistaan terhadap Nabi karena ia tidak mengetahui konsekuensi hukuman atas sabb al-Nabi. Oleh karena itu, KH. M. Hasyim Asy’ari memperingatkan dalam al-tanbih al-tsamin bahwa konsekuensi syari’ah atas sabb al-Nabi adalah hukuman mati. Maka sebenarnya kutipan pendapat Imam al-Qadhi ‘Iyadh dalam pembukaan al-tanbih al-tsamin hanyalah sebagai informasi saja (share to Know), agar seorang muslim dapat menjaga perilakunya. Karena jika kita lihat, semua tanbihat (peringatan) yang ditulis KH. M. Hasyim Asy’ari memuat pedoman keagamaan dalam merayakan maulid. Sebagaimana judul kitab yang dinukil KH. M. Hasyim Asy’ari, yaitu al-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa (Batasan dalam mengetahui hak-hak Rasulullah al-Musthafa).
2. Kutipan pendapat Imam al-Qadhi ‘Iyadh dalam pembukaan al-tanbih al-tsamin digunakan KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai dasar agar seorang muslim berhati-hati agar tidak sampai melanggar hak-hak yang dimiliki Rasulullah Saw. Hal ini bisa dilihat dari perkataan KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai simpulan dari kutipan pendapat Imam al-Qadli Iyadl dan al-Qadli Abu Muhammad bin Nashr dengan mengatakan “fata’ammal waffaqakallah” yang artinya maka renungkanlah, maka Allah Swt akan memberikan taufiq-Nya (dan seterusnya). Setelah itu kalimat jawab dari perkataan tersebut adalah “Yadhar laka” maka menjadi jelas bagimu (dan seterusnya). Setelah itu KH. M. Hasyim Asy’ari mensifati penistaan terhadap Nabi sebagai perilaku yang jelek, yang justru dapat menghinakan pelakunya, serta beratnya hukuman yang menjadi konsekuensi atas penistaan terhadap Nabi, lantas ditutup dengan pernyataan istitab (diminta untuk bertaubat) bagi pelaku penistaan Nabi. Bahasa yang digunakan di sini lebih bersifat preventif, agar perkara penting ini menjadi perhatian khusus bagi seorang muslim, karena kitab ini dikarang tidak sedang merespon kasus penistaan Nabi.
3. Jika melihat kalimat penutup pada al-tanbih al-tsamin. Secara jelas KH. M. Hasyim Asy’ari hanya memberikan rekomendasi untuk kembali (kepada jalan Islam yang benar) dan bertaubat (istitab), tanpa adanya tambahan yang menuntut hukuman mati di dalamnya. Namun bukan berarti pelaku penistaan terhadap Nabi lantas tidak dihukum, artinya hukuman terhadap muslim yang menista Nabi tidak hanya melulu hukuman mati. Bisa jadi seorang muslim itu melakukannya dengan tidak sengaja, atau dalam keadaan marah, sehingga ia hanya dihukumi fasiq dan bukan kafir. Sebagaimana pendapat Ulama Iraq yang dimintai fatwa oleh Khalifah Harun al-Rasyid terhadap penista Nabi, lantas hanya dijatuhi hukuman dera (al-jild). Meskipun putusan ini mendapat sanggahan dari Imam Malik. Boleh jadi vonis kafir terhadap penista Nabi adalah ijma’ para ahli fikih, namun masalah istitab yang dapat menggugurkan vonis hukuman mati masih menjadi perdebatan di kalangan ahli fikih.
4. Dalam al-Inhadl, kitab lainnya yang ditulis KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai respon atas kasus penistaan Nabi yang dilakukan Siti Soemandari dalam tulisannya di Koran Bangoen yang diterbitkan pada tahun 1937. Dalam kitab al-Inhadl yang ditulis sebagai sambutan pembukaan Muktamar NU ke-14 di Magelang, KH. M. Hasyim Asy’ari justru merekomendasikan usulan penetapan undang-undang yang mengatur sanksi atas tindakan penistaan agama oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini adalah bentuk implementasi pemikiran dan respon KH. M. Hasyim Asy’ari atas penistaan Nabi yang lebih memilih menempuh jalur hukum yang resmi. Usulan undang-undang ini terus dikawal hingga Muktamar NU tahun 1940 di Surabaya. Meskipun tidak ada tanggapan dari Pemerintah saat itu.
5. Para Imam Madzhab yang empat hidup pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yang menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Maka hukuman mati terhadap penista Nabi yang telah dijatuhkan seorang hakim atau qadhi, akan dapat dilaksanakan secara legal dengan mudah. Berbeda dengan KH. Hasyim Asy’ari menjumpai kasus penistaan Nabi di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Artinya hukum yang dijalankan pada masa itu adalah hukum penerintahan Hindia Belanda. Yang mana andai kata KH. Hasyim Asy’ari benar-benar mengeluarkan fatwa hukuman mati terhadap penista Nabi, maka rasanya akan sulit untuk menjalankan fatwa tersebut. Oleh karenanya KH. Hasyim Asy’ari lebih memilih menggugat penistaan terhadap Nabi melalui pendekatan jalur hukum yang diterapkan kala itu.
6. Dalam pandangan penulis, KH. Hasyim Asy’ari sangat paham bahwa fatwa membunuh penista Nabi di Indonesia akan sia-sia dan tidak akan bisa diterapkan. Bahkan malah justru akan menimbulkan permasalahan baru. Karena 18 tahun sebelum lahirnya kitab al-Tanbihat al-Wajibat, telah terjadi kasus penistaan terhadap Nabi yang dilakukan Djojodikoro di surat kabar Djawi Hiswara yang ditulis tanggal 11 januari 1918. Respon umat Islam kala itu yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto adalah menyerukan demo besar dri Kebun Raya Surabaya pada 6 Peb 1918 dan membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Tuntutan umat Islam kala itu adalah mendesak pemerintah HB (Gubernur Jendral Graaf van Limburg Stirum) dan Raja Surakarta (Pakunuono X) mengadili Djojodikoro dan Martodharsono. Namun tidak ada reaksi. Artinya dalam menanggapi kasus penistaan Nabi tahun 1918, umat Islam telah menggunakan pendekatan legal formal dan undang-undang negara yang berlaku saat itu, dengan tuntutan minimal hukuman penjara bagi penista Nabi.
7. Biasanya, fatwa KH. M. Hasyim Asy’ari terkait fenomena keagamaan akan dirumuskan dalam rapat NU. Fatwa yang dikeluarkan menjadi ijtihad jama’iy yang dilahirkan oleh beberapa Kiai NU dan dirilis secara organisasi dan kelembagaan. Sebagaimana fatwa Dar al-Salam dan larangan Naik Haji menggunakan Kapal Belanda, serta Fatwa Resolusi Jihad. Sedangkan hukuman mati bagi penista Nabi hanya berupa paparan teoretis yang ditemukan dalam kitab al-Tanbihat al-Wajibat yang mana ditulis oleh KH. M. Hasyim Asy’ari secara individual, hal ini tentu di luar kebiasaan dalam perumusan fatwa.
Dari paparan di atas, jika kita hendak mengkaitkan kasus penistaan Nabi yang terjadi di Prancis dengan pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari, maka rujukan yang paling relevan sebagai respon adalah kitab al-Inhadl, bukan al-Tanbihat al-Wajibat. Karena konteks kasus penistaan Nabi di Prancis memiliki kedekatan dengan konteks kitab al-Inhadl. Yaitu penistaan dilakukan di negara yang tidak menerapkan hukum Islam secara penuh. Meski pelakunya berbeda, jika di Prancis dilakukan non muslim, sedangkan di Indonesia tahun 1937 dilakukan seorang muslim. Ketika Siti Soemandari sang pelaku penistaan meminta maaf dan bertaubat, maka kasus penistaan ini menjadi reda. Meski tuntutan adanya undang-undang yang mengatur tindakan penistaan Nabi tetap dikawal oleh NU. Sedangkan kitab al-Tanbihat al-Wajibat memiliki konteks yang berbeda. Kitab tersebut ditulis sebagai respon atas pencemaran perayaan maulid, dan peringatan kedelapan yang menukil pendapat Imam al-Qadli ‘Iyadl bersifat preventif, hanya sebagai upaya pencegahan agar tidak terjadi penistaan Nabi yang dilakukan oleh seorang muslim, apalagi dari kalangan pesantren.
Maka dari sini, bisa disimpulkan bahwa KH. M. Hasyim Asy’ari tidak pernah mengeluarkan fatwa wajibnya hukuman mati terhadap penista agama atau Nabi Muhammad Saw. sebagaimana yang tertulis dalam peringatan kedelapan di kitab al-Tanbihat al-Wajibat, kutipan Imam al-Qadli ‘Iyadl dipaparkan sebagai konsep teoretis fikih yang berkembang pada zaman Pemerintahan Abasiyah hanyalah bersifat preventif. Sedangkan pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai respon atas penistaan Nabi secara praktis tertulis dalam kitab al-Inhadl dengan kedekatan konteks dengan kasus penistaan Nabi yang terjadi di Prancis, dengan cara mengupayakan proses hukum melalui usulan undang-undang secara resmi oleh pemerintahan Hindia Belanda. Wallau A’lam.