Kiai Tain, (sapaan akrabnya) juga menceritakan amalan Kiai Hasyim saat shalat jamaah subuh yang mesti membaca satu juz dengan baca mushaf dalam dua rakaat. Beberapa santri Tebuireng yang menjumpai hadratussyaikh dapat mengenang pengalaman istimewanya saat jamaah subuh dengan guru utamanya itu.
Santri yang belajar di Tebuireng pra kemerdekaan seperti KH. Abdul Muchit Muzadi Jember, KH. Abdurrahman Bajuri Purworejo, KH. Ruhan Sanusi Ngoro, KH. Abu Bakar Jombang dan KH. Afandi Nganjuk, dengan kompak mengatakan bahwa Kiai Hasyim setiap shalat Subuh setidaknya membaca 1 juz dalam 2 rakaat secara teratur hingga hatam. Cerita ini sangat masyhur, seperti masyhurnya cerita Syaikhana Khalil yang mengaji hadis saat Ramadhan kepada Kiai Hasyim di Tebuireng, karena semua santri Tebuireng pra kemerdekaan mengalami jama’ah shalat subuh dengan Kiai Hasyim, meskipun tak semua santri Tebuireng mampu bermakmum shalat subuh di belakang Kiai Hasyim.
Dikisahkan secara mutawatir bahwa Kiai Hasyim Asy’ari melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam setiap rakaatnya dengan membaca mushaf yang beliau bawa di tangan kirinya. Mushaf Al-Qur’an tersebut biasa diletakkan di jendela sebelah kiri pengimaman. Jika hendak rukuk, mushafnya diletakkan kembali di jendela, dan setelah membaca al-fatihah pada rakaat kedua, Kiai Hasyim mengambilnya kembali dan meneruskan bacaannya hingga selesai satu juz.
Hal ini menandakan bahwa sekalipun dalam risalah Jami’ah al-Maqashid KH. M. Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa menghafal al-Qur’an hukumnya fardlu Kifayah, namun beliau tetap berusaha untuk dapat shalat dengan membaca ayat al-Qur’an dalam jumlah yang banyak, dengan cara membaca mushaf. Yang mana hal ini tentu akan lebih mudah jika dilakukan oleh seorang hafidz (hafal al-Qur’an).
Kabiasaan tadarus dalam shalat ini juga telah menjadi kegemaran KH. A. Wahid Hasyim. Setidaknya kebiasaan ini ditangkap oleh KH. Saifuddin Zuhri tatkala Kiai Wahid Hasyim mengunjungi rumahnya di Purworejo akhir bulan Juni 1946 M. Di dalam bukunya (Berangkat dari Pesantren) Kiai Saifuddin Zuhri menceritakan kegemaran sahabat karibnya ini dalam membaca al-Qur’an. Lelah dan letih selepas perjalanan tidak menghalangi Kiai Wahid Hasyim untuk berlama-lama membaca al-Qur’an dalam shalat, meskipun jam telah menunjuk pada jam 22.00 WIB.
Kiai Saifuddin Zuhri yang kelak akan besanan dengan Kiai Wahid ini menuturkan: “Pukul 22.00 Haji Azhari dan Haji Ihwan pamitan untuk memberikan kesempatan Gus Wahid beristirahat. Aku pun membiarkannya shalat Isya dan maghrib dalam jama’ qasar setelah sajadahnya kusiapkan di mushala. Aku sudah sangat mengenal kegemarannya bersembahyang sendiri berlama-lama karena yang dibaca dalam shalatnya adalah ayat-ayat al-Qur’an yang panjang-panjang. Aku kira orang ini mamng hafal al-Qur’an. Selalu menghafalnya sambung- menyambung dalam shalat”.
Khataman Al-Qur’an Bil Ghaib dalam Shalat Tarawih
Selain itu, kecintaan Kiai Hasyim terhadap al-Qur’an ini juga membuatnya membuat sebuah tradisi khataman al-Qur’an bil ghaib dalam shalat tarawih. Hingga sekitar tahun 1928 M, Kiai Hasyim mengumpulkan para santrinya yang hafal al-Qur’an dan meminta mereka untuk bergiliran menjadi imam shalat tarawih. seperti KH. Maksum Aly Seblak, KH. Idris Kamali Cirebon, KH. M. Arwani Amin Kudus, KH. Adlan Aly Cukir, KH. Misbah Musthofa Rembang, KH. Dahlan Kholil Rejoso, KH. Mahfudz Anwar Seblak, KH. Yusuf Mashar Tebuireng dll. Ada pula yang mengatakan tradisi khataman al-Qur’an dalam shalat tarawih di Pesantren Tebuireng ini telah ada sejak tahun 1923 M.
Pada tahun 60-an, giliran para murid KH. Adlan Aly yang menjadi imam tarawih, seperti KH. Albazi Nawawi, KH. Muhaimin Zen, KH. Abdullah Amin, KH. Mustain Sy’afi’ie dll. Shalat Tarawih dibina langsung oleh KH. Adlan Aly, sedangkan KH. Idris Kamali hanya mengimami shalat Isya’. Oleh KH. Adlan Aly, para imam dalam shalat tarawih dibatasi membaca satu juz di tiap malamnya. Kala itu, shalat tarawih selesai pada jam 22.00 WIB, selanjutnya para imam shalat tarawih dijamu kue dan makanan ringan oleh KH. Idris Kamali di kamarnya yang masih terletak di dalam area masjid Tebuireng. Hingga kini, tradisi ini masih dijalankan dengan para imam yang dipilih dari Kiai dan Asatidz Madrasatul Qur’an.
Senantiasa Mulazamah Al-Qur’an
Hadratussyaikh menuturkan dalam risalahnya yang berjudul Jami’ah al-Maqashid dalam maqshad pertama, ” وأفضل الأذكار بعد القرآن لااله الا الله”, dzikir yang paling utama -setelah dzikir dengan al-Qur’an- adalah kalimat Laa ilaah illallah. Menurut sang Rais Akbar Nahdlatul ulama, dzikir yang terbaik adalah membaca Al-Qur’an.
Dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim diterangkan bahwa melanggengkan membaca al-Qur’an (mulazamatul Qur’an) sebagai wirid juga dikatakan Kiai Hasyim sebagai adab yang harus dimiliki atas diri seorang alim. Hal inilah yang dilakukan Kiai Hasyim saat dipenjara oleh Jepang selama enam bulan karena menolak untuk melakukan saikere.
Dalam bukunya yang berjudul Berangkat dari Pesantren, KH. Saifuddin Zuhri, ketika menanyakan kabar kiai Hasyim kepada KH. A. Wahid Hasyim diterangkan bahwa KH. M. Hasyim Asy’ari selama dipenjara tetap membaca Al-Qur’an dan muthalaah kitab sahih Bukhari hingga khatam beberapa kali. “Bagaimana kabar Hadlratussyekh setelah keluar dari tahanan Nippon?” KH. A. Wahid Hasyim pun menjawab “Alhamdulillah, kesehatannya justru semakin membaik. Selama dalam penjara, Hadlratussyekh bisa mengkhatamkan al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali”.
Secara fisik memang Kiai Hasyim tengah dipenjara selama empat bulan lebih secara berpindah-pindah, di Jombang, lantas dipindah di Mojokerto, dan akhirnya di Bubutan Surabaya. Namun pada hakikatnya Kiai Hasyim justru menjadikan dirinya merasa bebas dengan membaca al-Qur’an dan Shahih Bukhari. Penjara tidak lantas membatasi ruang gerak Kiai Hasyim dan memutus koneksi dengan Tuhannya.
Kiai Hasyim menjadikan penjara sebagai kesempatan untuk berinteraksi lebih intens dengan Allah dan Nabi-Nya. Kesempatan ini justru tidak dimiliki Kiai Hasyim ketika bebas, karena beliau disibukkan dengan mengajar dan rutinitas lainnya. Siksaan yang dialami Kiai Hasyim tidak lantas menyurutkan “wiridan khusus”nya di penjara, hingga dapat menghatamkan al-Qur’an dan Shahih Bukhari berkali-kali. Boleh jadi siksaan yang beliau terima bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan kenikmatan yang beliau dapatkan dari wiridan al-Qur’an dan Shahih Bukhari.
Selain Kiai Sholihin, (santri senior asal Cirebon yang juga ikut Kiai Hasyim dipenjara) Kiai Hasyim juga menjadikan al-Qur’an sebagai teman. Dalam masa tahanannya, ketika beliau tidak mempunyai teman bicara, maka Kiai Hasyim memilih untuk bercengkrama secara intim dengan Allah Swt melalui al-Qur’an. Ya, bukankan membaca al-Qur’an adalah forum kumunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad Saw:
من أراد أن يتكلم مع الله فليقرأ القرآن
Barang siapa yang menginginkan bercakap-cakap dengan Allah maka bacalah al-Qur’an.
Di samping itu, Kiai Hasyim juga berbincang akrab dengan Nabi Muhammad Saw melalui hadis-hadisnya yang terkumpul dalam kitab Shahih Bukhari. Kenikmatan membaca al-Qur’an dan kitab Shahih Bukhari inilah yang mungkin membuat Kiai Hasyim mengulang-ulangnya tiap kali khatam.
Kebiasaan mulazamah al-Qur’an ini dapat ditangkap dari buah keteladanan yang diwarisi oleh para putra Hadratussyaikh. Dalam cerita yang banyak disampaikan oleh kiai-kiai Tebuireng, baik KH. A. Wahid Hasyim dan KH. A. Kholiq Hasyim mempuyai waktu-waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an. Meski tidak secara bersamaan, keduanya secara istiqamah membaca Al-Qur’an di masjid Tebuireng dekat pengimaman, dan tidak berpindah pindah tempat, hingga para santri hafal di sebelah mana KH. A. Wahid Hasyim dan KH. A. Kholiq Hasyim biasa membaca Al-Qur’an.