Dalam kitab Jami’ah al-Maqashid, pada bagian penutup yang menerangkan bagaimana wushul kepada Allah, Kiai Hasyim menerangkan bahwa salah satu jalan (thariqah) untuk dapat wushul kepada Allah adalah تلاوة القرآن بالحضور والتدبر, membaca al-Qur’an dengan hudhur (menghadirkan hati) dan tadabbur (penuh penghayatan).
Secara normatif, kegiatan membaca al-Qur’an memang tidak hanya sekedar “tilawah” membaca teks dengan suara yang merdu, namun lebih dari itu, membaca al-Qur’an juga mempunyai dimensi makna, meresapi arti dan merenungkan pesan yang tersurat dalam teks al-Qur’an. Menangkap pelajaran dan pesan edukatif al-Qur’an ini mungkin dilakukan dengan piranti hudhur dan tadabbur. Membaca teks dengan mengkatifkan mode on pada hati dan pikiran, sehingga melahirkan rasa khasyyah, sebagaimana yang disiratkan oleh surat al-A’laa ayat 10 dan surat Thaha ayat 1-3:
سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَى (10)
“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran”.
طه(1) مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى(2) إلَّا تَذْكِرَةً لِّـمَن يَخْشَى(3)
“Thaahaa, Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)”
KH. A. Karim Hasyim membagi pengalamannya bagaimana sang ayah berinteraksi dengan al-Qur’an. Kiai yang gandrung dengan syair arab dan seni kaligrafi ini mengisahkan dalam bukunya “Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Bapak Umat Islam Indonesia” betapa Kiai Hasyim selalu menangis ketika membaca ayat-ayat tentang siksa.
Salah satu kisah yang melekat di dalam memori Kiai Karim adalah ketika Kiai Hasyim pulang dari Kongres Nahdlatul Ulama di kota Malang. Kiai Hasyim merasa lelah usai mengikuti acara tersebut, hingga pengajian malam diliburkan. Kiai Hasyim memilih untuk segera beristirahat. Pukul setengah tiga malam, Kiai Hasyim mendirikan shalat tahajud, disambung dengan membaca wirid dan doa. Setelah itu beliau membaca al-Qur’an hingga sampai pada ayat 17-18 dari surat Adz-Dzaariyaat.
كَانُوا۟ قَلِيلًا مِّنَ ٱلَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِٱلْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18)
“Di dunia, mereka (para sahabat nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar”. Seketika Kiai Hasyim menghentikan bacaan tartilnya, dan mulai tertegun dengan makna kedua ayat tersebut.
Kiai Hasyim pun menghentikan bacaanya, kemudian terdengar suara yang tangis beliau dengan terisak-isak. Air matanya pun membahasi jenggot putihnya. Malam itu beliau merasa terlalu banyak tidur. Kemudian beliau berdoa “Ya Allah ampunilah hamba-Mu yang lemah ini dan berilah hamba kekuatan serta ketabaha n untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu.” Beliau pun lantas bangkit dari tempat duduknya menuju tempat shalat, kemudian bersujud dengan memohon ampunan dari-Nya. Mulutnya pun tak hentinya mengucapkan tasbih.
Dalam kesempatan yang lain, KH. A. Karim Hasyim juga mengisahkan di saat Kiai Hasyim beristirahat setelah seharian menjalani aktifitas yang padat. Ketika berada di tempat tidur, beliau mendengar seorang santri yang membaca al-Qur’an di masjid pada bagian surat Al-Muzammil ayat 1-9 :
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4) إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا (5) إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (6) إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلًا (7) وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا (8) رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا (9
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan magrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai Pelindung.”
Ayat yang dibacakan santri dari surat al-Muzammil tersebut membuat Kiai Hasyim tertegun. Kiai Hasyim memahami bahwa Allah sedang menegurnya melalui santrinya, agar tetap beribadah dan tidak menuruti hawa nafsu. Akhirnya Kiai Mustain Syaifi’i (saat beliau masih menempati rumah wakaf peninggalan Kiai Wahid Hasyim) tiap kali ngimami jama’ah subuh di masjid Tebuireng selalu baca surat al-Muzammil.
Diikuti putra-putranya
Kebiasaan tadabbur ini juga menurun kepada KH. A. Wahid Hasyim. Dalam bukunya Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, Aboe Bakar Acteh menuliskan bahwa H. M. Junaidi Jakarta, bercerita bahwa Kiai Wahid pernah bangkit kembali untuk bekerja membuat nota pembelaan saat pembubaran kabinet. Padahal, saat itu ia sudah hendak istirahat. Beliau lantas memutar murattal al-Qur’an dari radio Mesir, hingga mendengar tilawah ayat 137 dari surat Al-Baqarah.
فَإِنْ ءَامَنُوا۟ بِمِثْلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهْتَدَوا۟ ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّمَا هُمْ فِى شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ ٱللَّهُ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Setelah meresapi makna kandungan ayat tersebut, KH. Wahid Hasyim mengurungkan niatnya untuk istirahat. Beliau lantas nota pembelaan hingga fajar menyingsing. Aboe Bakar Acteh juga menuliskan kegemaran Kiai Wahid mendengarkan lantunan al-Qur’an sembari mentadaburi makna kandungannya. Saat itu, terkadang Kiai Wahid terlihat menunduk dan menggelengkan kepada, dan tak jarang beliau sampai menangis.
Dalam menarasikan bentuk kecintaan Kiai Wahid Hasyim kepada al-Qur’an, Aboe Bakar Acteh mengutip kata bijak dari Kiai Wahid dalam tulisannya, “Apabila kita pada suatu masa bingung dan kehilangan akal, sebaiknya kita membaca Al-Qur’an dan biasanya selalu kita bertemu dengan ayat-ayat yang memberikan kita harapan lagi untuk mendapat petunjuk, dan balasannya terbuka kembali bagi kita pintu akal dan perjuangan,” Kenyataan ini lantas mengingatkan penulis pada KH. Saifuddin Amsir yang bercerita tentang Kiai Wahid Hasyim saat sowan ke kediamannya sekitar awal tahun 2008.
Waktu itu bulan Ramadlan, selepas hataman Al-Qur’an, di sela-sela menunggu berbuka puasa, Kiai Khos warga Betawi ini mengisahkan bahwa setiap KH. A. Wahid Hasyim sakit, ayah Gus Dur ini seringkali meminta untuk diperdengarkan lantunan qira’ah dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Katanya, jika mendengarkan qiraah, sakit yang ia rasakan akan berangsur mereda. Keluarga Kiai Wahid juga dikenal sebagai keluarga yang senantiasa mengamalkan membaca surat al-Waqi’ah secara istiqamah.
Hal serupa juga terjadi kepada KH. Abdul Kholiq Hasyim. Kenangan H. Karno Sidoarjo, lulusan pertama madrasah muallimin Tebuireng tahun 1966. H. Karno menerangkan bahwa saat Kiai yang dikenal dengan ilmu hikmah dan tauhidnya itu, saat membaca kitab tafsir jalalain kepada para santri, tak jarang beliau tiba-tiba menagis karena menghayati makna kandungan ayatnya. Hingga pengajian tersebut terpaksa diakhiri meski baru saja beberapa puluh menit dimulai. Pemandangan seperti telah lumrah dipahami oleh para santri, karena pengajian Kiai Kholiq Hasyim yang terhenti oleh tangisan “khasyyah” (rasa takut) kerap terjadi, bukan hanya sekali-dua kali.