Sedang Membaca
122 Tahun Tebuireng dan Gus Dur (3): Mulai Berkarir Sebagai Penulis

Dosen di Ma'had Aly KH Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang. Selain menulis di jurnal dan buku, Anang aktif menulis esai-esai populer di berbagai media. Buku yang sudah terbit antara lain, Karomah Sang Wali; Biografi KH. M. Adlan Aly Jombang (Pustaka Tebuireng), Aswaja dan KeNUan Pesantren Tebuireng (team) (Pustaka Tebuireng, 2020), dan مختصر جامعة المقاصد للعالمة الشيخ محمد هاشم أشعري (Turats Tebuireng, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Jombang). Aktif di pusat kajian pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari.

122 Tahun Tebuireng dan Gus Dur (3): Mulai Berkarir Sebagai Penulis

Whatsapp Image 2021 08 10 At 23.47.29

Saat Gus Dur masih menjadi sekretaris umum, Pesantren Tebuireng dikenal memiliki seorang penulis hebat. Tulisan-tulisan Gus Dur terbit di majalah dan surat kabar nasional. Hingga tahun akhir tahun 90-an kita bisa membaca buah pemikiran Gus Dur yang dimuat secara rutin di berbagai surat kabar nasional. Belum lagi, makalah seminar, esai, artikel, opini, hingga analisis taktik sepakbola.

Meski kita tidak tau banyak mengenai artikel Gus Dur yang ia tulis di masa studinya di Mesir dan Baghdad. Buah pemikiran Gus Dur baru mulai terpublish saat ia berkiprah di Pesantren Tebuireng. Pelan namun pasti, Gus Dur mulai dikenal sebagai seorang kolomis dan cindekiawan muda Indoensia. Gus Dur kerap kali diundang dalam berbagai seminar dan pentas akademik lainnya.

Baru pulang dari Baghdad, Gus Dur sudah sering menulis, ia mulai merintis jalan menjadi intelektual muda yang diperhitungkan, melalui tulisan-tulisan makalah dan kolom opini surat kabar. Tak butuh waktu lama bagi Gus Dur untuk dikenal sebagai intelektual, ia akhirnya mulai dikenal secara nasional di tahun 1975. Tempo dan Gatra menjadi salah satu surat kabar yang turut membesarkan nama Gus Dur.

Gus Dur telah rutin menulis di kolom tempo. Ia mempunyai kotak khusus di Tebuireng untuk mengirimkan tulisannya di Tempo. Hingga tahun 1978, Gus Dur adalah salah satu dari tiga tokoh pesantren yang dikenal memiliki intelektual yang mumpuni dan pengaruh yang luas di Indonesia. Ketiganya adalah Gus Dur, Cak Nur, dan Munawir Syadzali.

Gus Dur tidak memiliki selera khusus dalam mengirimkan artikel opininya. Keberadaannya sebagai orang NU tidak lantas menjadikannya fanatik terhadap majalah atau surat kabar tertentu (NU). Gus Dur mengirimkan surat kabar yang “lintas golongan”, seperti Harian Abadi yang dulu dikenal sebagai surat kabar milik Masyumi. Namun di tahun 1974, ia dibreidel bersama tujuh surat kabar lainnya akibat pemberitaan peristiwa Malari. Gus Dur juga pernah menulis di Harian Pelita, surat kabar yang lahir lahir tahun 1974 dan berhenti terbit di tahun 2018 silam.

Selain itu, Gus Dur menjadi satu-satunya penulis dari kalangan pesantren yang sering menulis di Kompas yang notabenenya surat kabar kepunyaan kelompok Kristen. Gus Dur sangat diterima oleh kelompok Kristen, mereka tidak merasa canggung dan risih dengan keberadaan Gus Dur, bahkan mereka justru merasa senang. Makanya waktu gus dur lengser dari presiden, kelompok Kristen di Manado merasa kecewa, karena Gus Dur lah yang mengangkat derajat mereka ketika ia menjadi Presiden.

Baca juga:  Bung Karno dan Pancasila: Adanya Kementerian Agama Mulanya Konsesi Politik

Hingga kini, Gus Dur di pandang sebagai pahlawan di mata umat Kristiani Manado. Kedekatan hubungan kemanusiaan antara Gus Dur dan kaum kristiani Manado terkonfirmasikan saat Gus Dur wafat. Sesaat setelah Gus Dur diwartakan meninggal, puluhan SMS dan e-mail menandakan dukacita yang mendalam dari berbagai kalangan mengalir ke Redaksi Kompas. Salah satunya datang dari  Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa Pendeta AO Supit, Manado. Ia berujar “Ia adalah tokoh perdamaian dan ’pahlawan’ minoritas. Kami benar-benar kehilangan. Belum ada tokoh setara Gus Dur, Ia pergi meninggalkan semerbak melati”.

Gus Dur pernah mendapatkan surat dari Jakarta yang dikirimkan di Pesantren Tebuireng. Surat itu ternyata dari Departemen Tenaga Kerja. Karena Gus Dur sedang bepergian ke luar kota, Pak Muhsin selaku “asisten” Gus Dur yang mengabdi untuk perpustakaan Tebuireng selama 18 tahun itu akhirnya memilih untuk tidak mengantarkannya ke rumah Gus Dur di Denanyar hingga jelas kapan Gus Dur pulang. Setelah lima hari Gus Dur tidak ada kabar, akhirnya pagi-pagi Gus Dur ngantor kembali di Tebuireng.

Langsung saja Pak Muhsin menyerahkan surat itu ke Gus Dur. Setelah dibuka, ternyata Gus Dur diminta oleh Kementerian Tenaga Kerja untuk berbicara di sebuah seminar nasional. Tak diduga sebelumnya, ternyata seminar itu dilangsungkan keesokan harinya. Langsung saja Gus Dur gerak cepat, meminta Pak Muhsin menyiapkan kertas roneo sembilan 9, serta membantunya hingga makalah selesai.

Gus Dur mulai berjibaku menyiapkan makalahnya yang berjumlah Sembilan lembar, mulai jam 09.00 hingga jam 14.00 siang. Setelah digandakan menjadi 50 eks makalah, sore harinya Gus Dur langsung naik bus berangkat ke Jakarta. Jam 09.00 esok harinya, Gus Dur sudah berbicara di Departemen Tenaga Kerja.

Lima jam yang diperlukan Gus Dur untuk menyelesaikan makalah sembilan halamannya. Tentu beserta mencarian data secara manual. Tidak seperti sekarang yang akses mencarian data bisa lebih mudah melalui internet. Cara bagaimana Gus Dur menyiapkan makalah tentu bisa dikatagorikan “di atas rata-rata”. Melalui makalah, artikel dan opini inilah Gus Dur mula-mula dikenal secara nasional. Sehingga saat Gus Dur diangkat menjadi Wakil Katim Aam PBNU, ia telah dikenal secara nasional dan memang memiliki kapabilitas yang mumpuni, bukan hanya mendompleng nama besar kakek dan ayahnya semata.

Baca juga:  Suasana Tujuh Likur di Mamala Maluku Tengah

Gus Dur muda dikenal sebagai orang yang melakukan segala sesuatunya dengan persiapan matang. Apalagi saat menyiapan makalah seminar. Waktu akan diundang sebagai pembicara di Manado dalam seminar nasional, semingguan Gus Dur mencari data dan bahan makalahnya hingga larut malam. Pak Muhsin yang melihat pemandangan itu mengakui bahwa Gus Dur memiliki semangat membaca yang betul-betul luar biasa.

Masih membahas bagaimana luar biasanya Gus Dur dalam menulis artikel. Pak Zaenal, staf Perpustakaan Pesantren Tebuireng sejak tahun 80-an hingga sekarang juga pernah “ngalap berkah” dengan membantu Gus Dur mengetik makalahnya. Setelah aktif di PBNU Jakarta, di awal tahun 80-an Gus Dur tiba-tiba mampir ke Tebuireng hanya untuk membuat dua makalah. Satu makalah untuk seminar di Jakarta, dan satu lagi untuk seminar yang diadakan olah suatu lambaga di Jerman.

Pagi itu, Gus dur kembali mengunjungi perpustakaan lamanya yang dulu ia dirikan. Ia menemui Pak Zaenal, salah seorang petugas Perpustakaan untuk memintanya membantu mengetik satu dari dua makalah yang akan diseminarkan Gus Dur di Jakarta. Kedua makalah itu harus selesai di sore hari, agar dapat digandakan terlebih dahulu sebelum dibawa ke Jakarta.

Gus Dur memberikan Pak Zaenal beberapa data yang sudah disusun sebelumnya untuk diketik. Gus dur dan Pak Zaenal mengetik secara bersamaan di satu ruangan yang disekat oleh tembok. Keduanya berpacu dengan mesin ketiknya. Suara mesin ketik Gus Dur terdengar begitu cepat, sedangkan Pak Zaenal tampak tak bisa mengimbanginya.

“Nal piye, wes oleh piro?” tanya Gus Dur memastikan makalahnya selesai sebelum waktu Ashar. “Masih dapat satu lembar Gus..” Jawab Pak Zaenal. Seperti biasa, Gus Dur mengetik tanpa melihat teks atau referensi yang ia gunakan. Gus Dur mengetik begitu cepat dengan konsep dan struktur yang sudah ada dalam kepalanya. Ketika Gus Dur telah menyelesaikan artikel untuk Jerman sebanyak 25 lembar, sedangkan Pak Zaenal masih dapat satu lembar saja, Pak Zaenal pun dibuat geleng-geleng oleh kelebihan Gus Dur ini.

Artikel kedua Gus Dur pun selesai sore hari, sebanyak 19 lembar. Langsung digandakan di sebuah percetakan langganannya di kota Jombang, milik Pak Mad yang seorang Muhammadiyah. Kedua makalah itu sebanyak satu tas besar, langsung dibawa Gus Dur ke Bandara Juanda.

Fenomena Gus Dur menulis artikel ilmiah secara “kosongan” tanpa membaca referensi dan sumber bacaaan juga pernah dibuktikan oleh pengurus HMI tahun 90an. Diceritakan oleh Bapak Muhammad Khusen Yusuf, saat itu Gus Dur diundang sebagai narasumber, hingga H-2 acara panitia belum menerima materi dari Gus Dur untuk seminar nasional itu.

Baca juga:  Adat Istiadat Keumaweuh (2): Menggali Jenjang Tradisi Keumaweuh Masyarakat Aceh

Hingga H-1, Gus Dur masih saja menjanjikan “besok ya, insyaAllah sebelum acara, tolong siapkan mesin ketiknya,” dengan rasa harap-harap cemas, panitia pun melakukan permintaan itu. Dua jam sebelum acara seminar dimulai ternyata Gus Dur benar-benar mendatangi lokasi acara sesuai janji. Tanpa membaca apa-apa, Gus Dur terlihat serius mengetik. Satu setengah jam Gus Dur memanggil panitia sambil menyerahkan artikelnya untuk digandakan, “silakan diperbanyak ya mas…”.

Panitia Seminar menuturkan bahwa Gus Dur menulis artikelnya dengan mengutip banyak buku, mengutip pernyataan tokoh, lengkap dengan judul buku, penerbit, tahun terbit, hingga nomor halamannya, pada catatan kaki artikel seminar itu. Si panitia, yang masih menyimpan tanda tanya terkait kevalidan catatan kaki pada materi seminar Gus Dur itu, tetap memperbanyak materi seminar itu, biarlah nanti peserta seminar yang ratusan jumlahnya itu menjadi saksi pula atas kebenaran data Gus Dur itu.

Acara seminar selesai, beberapa panitia berkumpul dan melakukan verifikasi atas daftar pustaka dan catatan kaki seminar yang disusun Gus Dur, dicarilah buku-buku sesuai judul yang disebut di materi Gus Dur, satu per satu dicek, ternyata, masya Allah, tidak ada satupun catatan kaki dan daftar pustaka yang meleset, semuanya benar.

Dari cerita Bapak Muhammad Khusen Yusuf di atas, kita bisa mengetahui bahwa Gus Dur adalah seorang Bibliognost, artinya ia mengetahui isi buku yang dibaca dengan sangat baik, bahkan juga hafal daftar isi, sampai kalimat-kalimat  penting yang ada di setiap halaman. Bahkan jika kita menyimak cerita dari KH. Bukhari Masruri Purwodadi, Gus Dur bisa juga di juluki bibliobibuli, sebutan bagi orang yang berdaya baca sangat cepat di atas rata-rata.

Gus Dur mampu menghatamkan novel ayat-ayat setan (the satanic verses) dalam bahasa Inggris karya Salman Rusdi hanya dalam penerbangan dari Bandara Sukarno Hatta hingga Juanda Surabaya. Jika kita hitung secara sepintas, cerita kiai mencipta lagu “Perdamaian” itu artinya Gus Dur mampu membaca tutas novel dengan 546 halaman hanya diselesaikan sekitar 1,5 jam. Dahsyat… Mungkin benar kata Kiai Bukhari Masruri, sekarang tidak ada orang seperti Gus Dur, karena Pabriknya sudah tidak lagi mengeluarkan produk seperti Gus Dur.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top