Setelah setahun aktif di Tebuireng dengan mengajar dan mengaji, mungkin Gus Dur merasa ada yang kurang. Benar, bagian yang kurang itu adalah tidak ada perpustakaan yang dapat memanjakan Gus Dur. maklum saja, sejak kecil Gus Dur sudah berteman akrab dengan buku-buku koleksi ayahnya. Di tahun 1954 saat bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gus Dur tidak naik kelas karena jarang masuk, Gus Dur lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan umum Jakarta, ya tentu juga memilih hobinya yang lain, menonton film di bioskop.
Gus Dur (dan juga saudara kandungnya yang lain) dari kecil memang maniak membaca. Ketika Gus Dur tinggal di Kiai Junaidi Yogyakarta, teman Kiai Wahid Hasyim yang pengurus Muhammadiyah ini juga mempunyai banyak koleksi buku yang dibaca oleh Gus Dur.
Apalagi saat kuliah di al-Azhar Mesir, karena diwajibkan mengulang pelajaran, serta sistem pembelajarannya tidak harus masuk kelas, Gus Dur lebih memilih untuk ke perpustakaan dan bermain bola. Jika kita telusuri foto Gus Dur muda saat di Mesir, pasti kita dapati Gus Dur selalu membawa buku di tangannya. Tentu terkecuali saat Gus Dur main bola. Wal hasil, perpustakaan adalah “habitat alami” bagi Gus Dur.
Tahun 1973 di saat menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Gus Dur mencoba melemparkan opini untuk mendirikan perpustakaan. Gus Dur mulai menanamkan opini akan pentingnya keberadaan perpustakaan kepada orang tebuireng. Pikiran yang melandasi berdirinya perpustakaan yang dikelakan gus dur sangat sederhana, orang itu bisa pintar jika banyak membaca.
Maka untuk meningkatkan kualitas santri Tebuireng, salah satunya jalan adalah dengan membuka perpustakaan. Hingga di tahun 1973, Gus Dur benar-benar merintis perpustakaan. Upaya mendirikan perpustaan bagi santri Tebuireng ini juga mendapat dukungan penuh dari sang paman, yaitu KH. M. Yusuf Hasyim, pengasuh Tebuireng kala itu. Sebagian besar kitab koleksi Hadtarussyaikh diusung ke perpustakaan. Buku-buku lama yang rusak karena lama berada di gudang, diperbaiki Gus Dur dan diletakkan di rak.
Perpustakaan ini merupakan kebangkitan perpustakaan awal bentukan KH. Wahid Hasyim tahun 1936 yang sempat mati. Perpustakaan yang diusulkan Gus Dur itu akhirnya diberi nama perpustakaan A. Wahid Hasyim, sesuai dengan nama sang inisiator pertama kali adanya perpustakaan di kalangan pondok pesantren.
Diresmikan oleh pengasuh Pesantren Tebuireng kala itu, KH. M. Yusuf Hasyim pada tanggal 24 Agustus 1974, dengan mengundang kiai-kiai sepuh di Jombang dalam acara seremonila pembukaan itu, seperti Kiai Adlan Aly, Kiai Syansuri Badawi, Kiai Mansyur Anwar dll. Kiai Bisri yang sudah sepuh kala itu berhalangan untuk hadir.
Dalam acara itu, Gus Dur menyampaikan ceramah dan menjelaskan gagasan dan harapan perpustakaan ini akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh santri Tebuireng. Gus Dur mengatakan bahwa jika seorang santri ingin pintar, jangan terlalu terikat dengan kelas, karena dunia santri itu lebih luas dari pada hanya sekedar kelas. Santri diharapkan mampu melompat jauh mempelajari dunia di luar kelas dengan membaca. Sebab menurut Gus Dur, belajar tiga tahun, itu bisa menyamai santri yang belajar enam tahun, asal ditunjang dengan bahan bacaan yang luas.
Perpustakaan ini didesain oleh Gus Dur menjadi sebuah laboratorium keilmuan Islam, dengan membagi buku bacaan ke dalam 11 klaster keilmuan. Setiap klaster diampu oleh para mahasiswa Gus Dur, mereka menamai kelompok ini dengan kelompok ahli baca. 11 klaster ini memuat semua cabang ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqih, tasawuf, bahasa, sejarah, sosiologi agama, kamus dan ensilopedia, budaya, politik dan ekonomi Islam.
Tujuan membuat kelompok ahli baca dengan sebelas klaster cabang keilmuan Islam ini tidak lain agar luteratur bacaan dengan segala macam cabang keilmuan Islam itu dapat didialogkan satu sama lain dalam melihat suatu permasalahan keagamaan yang muncul.
Kelompok ahli baca ini difungsikan Gus Dur layaknya lajnah bahtsul masa’il. Gus Dur memberikan stimulus kepada kelompok ini tantangan berupa persoalan kekinian yang sedang terjadi saat itu agar dapat dicarikan jawaban dan solusinya dengan menggunakan perspektif semua cabang keilmuan Islam.
Dari kelompok ini, sebenarnya kita sudah tau, apa yang ingin diperjuangkan Gus Dur adalah melakukan kaderisasi tokoh agama yang mampu melihat permasalahan agama dengan sudut pandang multi perspektif. Hal ini akan berkontribusi dalam meluaskan jarak pandang seseorang terhadap agamanya, sehingga tidak gampang menyalahkan pihak-pihak yang melihat permasalahan agama dari perspektif yang berbeda.
Selain itu, hasil dari diskusi yang cross reference ini akan bersifat lebih holistik dan mampu benar-benar menyelesaikan persoalan agama secara tuntas melalui pokok masalah yang dilihat dari beberapa sisi yang berbeda.
Gus Dur pernah mencoba eksperimen kelompok ahli baca ini dengan mengajukan masalah program “undian harapan”, perjudian yang dikoordinir oleh kementerian sosial kala itu. Kesebelas kelompok ini digerakkan Gus Dur untuk mencari referensi terkait permasalahan undian harapan itu di tiap klasternya. Bagaimana tafsir memandangnya, ayat mana yang membahas soal perjudian. Bagaimana menurut hadis, adakah hadis nabi yang dapat dijadikan sandaran dalil. Bagaimana menurut fiqih, apakah ditemukan perdebatan ulama soal ini.
Begitu pula sudut pandang dari sisi budaya, sosial, politik dan ekonomi. “Menurut ekonomi boleh Gus, karena dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan seseorang”, celetuk salah seorang anggota kelompok. Segera saja opini itu ditimpali dengan opini lain dari perspektif cabang ilmu lainnya. Drs. H. Muhsin Ks, Wakil Rektor II Unhasy kala itu berada dalam klaster ilmu kamus dan ensiklopedi.
Pak Muhsin dan kelompokknya juga mendapatkan tugas, mencari istilah-istilah baru yang terkait dengan tema yang sedang hangat di bahas. Dari kelompok baca bentukan Gus Dur ini, mulai dapat dilihat adanya perubahan cara berpikir mahasiswa, dari standar baca kitab yang klasikal skolastik menjadi bacaan “cross reference” yang lebih luas.
Sebenarya, apa yang dilalukan Gus Dur ini jauh hari telah dilakukan oleh sang kakek. Sistem ini juga dipakai Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari kepada para santri khususnya di kelas musyawarah. Kiai Hasyim meminta beberapa santri senior untuk membaca kitab fiqih lintas madzhab. Hingga suatu waktu, Kiai Hasyim memberikan sebuah pertanyaan kepada santri khususnya itu seputar hukum merokok.
Maka, jadilah sebuah diskusi perbandingan madzhab mengenai hukum merokok. “Merokok itu wajib Yai, karena jika tidak merokok, santri akan ngantuk dan tidak jadi ngaji”.. celetuk Kiai Fattah Hasyim menggoda sang guru. Mendengar itu, Kiai Hasyim pun mengangkat tangannya, isyarat hendak memukul Kiai Fattah. Santri khusus lainnya yang juga sudah jadi “kiai muda” pun tertawa menyaksikan kelakuan jenaka guru dan murid ini. Bedanya Gus Dur lebih membaca para mahasiswanya untuk berpikir secara trans disipliner.
Selain menambah referensi primer dalam keilmuan Islam, perpustakaan A. Wahid Hasyim juga dilengkapi dengan beberapa surat kabar, majalah, tabloid, hingga jurnal ilmiah. Mulai dari surat kabar populer, seperti Kompas, Jawa Pos, Berita Buana, Sinar Harapan, Merdeka, Republika, Surya, hingga surat kabar berbahasa inggris, seperti Surabaya Post, News Week, Ekspress dll. Atau majalah yang menyuarakan pemikiran Islam seperi Panji Masyarakat, Gatra, Ummat, Aula, Mimbar Ulama, hingga Suara Muhammadiyah.
Selain sumber bacaan keagamaan, Perpustakaan A. Wahid Hasyim juga mengkoleksi jurnal ilmu politik dan ekonomi. Hal ini dilakukan untuk membuka wawasan para santri dan mengenalkan dunia luar pesantren, serta membekali santri dengan informasi aktual yang terus berkembang pesat dan terkadang disertai perubahan yang cepat.
Pada tahun 1978, Gus Dur mulai terlibat secara langsung dalam kepengurusan NU, dengan menjabat Wakil Katib Awal Syuriah PBNU. Tak cukup hanya aktif di NU, di pesantren, di berbagai ajang diskusi, dan menjadi kolumnis di berbagai media, ia pun mulai terjun di dunia LSM. Di antara LSM yang dimasukinya adalah LP3ES (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat yang berkedudukan di Jakarta. LP3ES mendirikan majalah yang disebut “Prisma” dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. LP3ES menarik bagi Gus Dur karena lembaga ini menunjukan minat yang besar terhadap dunia pesantren dan juga upaya untuk menggabungkannya dengan pengembangan masyarakat.
Koleksi buku perpustakaan, awalnya seadanya, yang banyak adalah kitab koleksi kiai hasyim, kiai wahid dan kiai Khaliq. Bahkan sebagian kitab ada yang rusak dan di taruh di Gudang. Ditata, dan dijilid ulang. Selain itu, Gus dur mengamati, kira-kira buku apa saja yang diperlukan oleh santri. Lantas Gus Dur mengirimkan surat bantuan berupa buku ke Jakarta. Hingga akhirnya, perpustakaan Tebuireng mendapatkan buku hibah dari LP3ES, Yayasan Asia Foundation, Kementerian Agama RI, Perpusnas, dll. Karena tata kelolanya baik, tahun 80-an perpustakaan Tebuireng sering mendapatkan kunjungan studi banding dari sekolah ataupun pesantren yang ingin memperbaiki tata kelola atau bahkan mendirikan perpustakaan.
Selama lima tahun menjadi sekretaris utama (1973-1978), Gus Dur lebih memilih untuk ngantor di Perpusatakaan Pesantren ketimbang harus duduk bersama orang-orang sepuh di kantor yayasan. Gus Dur yang dikenal sebagai kutu buku lebih senang mengisi jam istirahatnya untuk membaca buku-buku lama koleksi perpustanaan. Bahkan tak jarang, Gus Dur menjadikan purpustakaan sebagai tempat tidur siang, dengan buku-buku tebal sebagai bantalnya. Tentu setelah pintunya dikunci rapat-rapat.