Salah satu argumen yang dikemukakan kelompok penentang peringatan Maulid Nabi adalah anggapan bahwa apa yang tidak Nabi Muhammad saw lakukan semasa hidupnya, maka umatnya tidak boleh malakukannya, bahkan haram. Mereka biasa menyebutnya sebagai bid’ah. Penulis akan coba menguji kelayakan klaim tersebut.
Pada kesempatan ini, penulis lebih akan memaparkan beberapa argumen untuk mematahkan klaim yang mengatakan ‘apapun yang tidak diperbuat oleh Nabi saw, maka haram dilakukan oleh umatnya’, termasuk di antaranya peringatan Maulid Nabi Muhuammad saw.
Penulis awali dengan mengutip salah satu fatwa Syekh Abdul Aziz Abdullah bin Baz (w. 1999 M) atau lebih dikenal dengan Bin Baz, salah satu tokoh pentolan Wahabi, tentang dasar pengharaman memperingati Maulid Nabi, berikut redaksinya:
فلو كان الاحتفال بالموالد من الدين الذي يرضاه الله سبحانه لبينه الرسول للأمة، أو فعله في حياته، أو فعله أصحابه رضي الله عنهم، فلما لم يقع شيء من ذلك علم أنه ليس من الإسلام في شيء، بل هو من المحدثات التي حذر الرسول ﷺ منها أمته.
Artinya: “Jika peringatan Maulid Nabi termasuk ajaran agama yang diridhai Allah swt, pasti sudah Nabi Muhammad jelaskan kepada umatnya, atau Nabi lakukan semasa hidupnya, atau juga dilakukan oleh para sahabatnya. Hanya saja, hal ini tidak terjadi. Maka peringatan Maulid Nabi jelas bukan ajaran agama, melainkan susuatu yang dibuat-buat dan Nabi tidak menghendaki untuk dilakukan umatnya. (Bin Baz, Ar-Rudud al-Baziyah fi Ba’dhi Masa’il al-‘Aqdiyah, [Riyadh: Dar Ibnul Atsir, 2007], h. 249)
Dalam statement Bin Baz di atas, ada kalimat yang perlu kita garisbawahi, yaitu أو فعله في حياته (Atau Nabi melakukan semasa hidupnya). Di sini jelas duduk perkaranya, Bin Baz menganggap bahwa apapun yang tidak dilakukan oleh Rasulullah, maka haram untuk dilakukan umat Islam. Termasuk di antaranya adalah memperingati Maulid Nabi.
Nabi tidak lakukan, bukan berarti haram
Penting dicatat, Nabi Muhammad tidak melakukan suatu hal, itu memiliki alasan yang beragam, tidak kemudian karena haram saja. Menurut Sayyid Abdullah bin Abu Bakar bin Salim dalam kitabnya, Khulâshatul Kalâm fil Iḫtifâl bi Maulidi Khairil Anâm, menjelaskan, segala hal yang tidak Nabi lakukan, tidak bisa disimpulkan haram begitu saja untuk dilakukan umatnya. Hal ini karena tidak melakukannya Nabi atas suatu hal, memiliki banyak faktor.
Pertama, bisa saja karena Nabi belum terpikirkan untuk melakukannya saat itu. Seperti kasus khutbah menggunakan mimbar. Pada mulanya, Rasulullah berkhutbah dengan berdiri sambil bersandar ke batang pohon kurma yang terdapat di dalam masjid. Belum terpikirkan untuk memakai mimbar. Tapi kemudian karena lebih nyaman memakai mimbar, Nabi pun berikutnya menggunakan mimbar untuk berkhutbah.
Dalam satu hadits disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ إِلَى جِذْعٍ قَبْلَ أَنْ يُجْعَلَ الْمِنْبَرُ فَلَمَّا جُعِلَ الْمِنْبَرُ حَنَّ ذَلِكَ الْجِذْعُ حَتَّى سَمِعْنَا حَنِينَهُ فَوَضَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ عَلَيْهِ فَسَكَنَ.
Artinya: “Dahulu Rasulullah saw selalu berdiri dengan bersandar ke batang kurma sebelum dibuatkan mimbar. Ketika dibuatkan mimbar, batang kurma tersebut merintih sampai kami mendengar rintihannya, lalu Rasulullah meletakkan tangan beliau padanya dan ia pun diam.” (HR. Ad-Darimi)
Justru, menggunakan mimbar saat khutbah adalah sunah. Artinya, sesuatu yang sebelumnya tidak Nabi lakukan (meskipun dalam kasus mimbar berikutnya Nabi melakukan), bisa jadi itu adalah perkara sunnah. Ibnu Hajar al-Haitami sendiri menjelaskan bahwa menggunakan mimbar saat khutbah, sekalipun di Makkah, hukumnya sunnah. Alasannya, karena mengikuti sunah Rasulullah saw. (Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj, juz II, h. 459)
Kedua, bisa saja Nabi tidak melakukan suatu hal yang padahal melakukannya termasuk dalam kategori sunnah, adalah karena sudah tercakup dalam keumuman ayat Al-Qur’an atau hadits. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 77:
وَٱفۡعَلُواْ ٱلۡخَيۡرَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ۩
Artinya: “Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
Menurut para ualama tafsir, kata al-khair (kebajikan) pada ayat tersebut memiliki arti umum. Artinya, lakukanlah apapun yang memiliki nilai kebaikan. Kita semua sepakat bahwa berkumpul dalam merayakan Maulid Nabi adalah salah satu bentuk kebaikan. Pada dasarnya, Maulid Nabi adalah mengenang teladan Nabi untuk diambil pelajaran-pelajaran penting semasa hidupnya.
Ketiga, apa yang tidak Nabi lakukan, padahal sebenarnya ia menganjurkannya, bisa jadi karena kasihan terhadap umatnya. Bukan semata-mata karena haram. Seperti dalam kasus shalat tarawih. Pada malam petama sampai ketiga di bulan Ramadhan, Nabi masih shalat tarawih berjama’ah di masjid. Tapi pada malam keempat, Nabi tidak keluar. Umat pun bingung.
Menyadari kebingungan umatnya, dengan bijak Nabi mengklarifikasi, “Sesugguhnya bukan aku tidak tahu keberadaan kalian semalam. Hanya saja, aku khawatir kalian menganggap shalat tarawih sebagai kewajiban dan akan menjadi beban umat.” (HR. Bukhari)
Dari kisah shalat tarawih di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa bukan berarti Nabi tidak shalat tarawih berjama’ah di masjid pada malam keempat, kemudian haram melakukannya. Shalat tarawih tetap sunnah dilakukan secara berjama’ah. Demikian halnya dengan peringatan Maulid Nabi. Bukan berarti Nabi tidak merayakannya, kemudian umat Islam haram melakukannya.
Untuk memperkuat argumen ini, penulis kutip salah satu ucapan Imam Syafi’i yang menjelaskan bahwa tidak semua yang tidak dilakukan orang-orang terhadulu, kemudian dihukumi bid’ah. Selagi memiliki landasan syari’at. Berikut redaksinya:
كل ما له مستند من الشرع، فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به، قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لِما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به.
Artinya: “Segala sesuatu yang memiliki landasan syari’at, tidak kemudian dihukumi bid’ah, kendati hal itu tidak diamalkan oleh orang-orang terdahulu. Bisa jadi, tidak dilakukannya sasuatu, ada beberapa faktor. Seperti ada hal yang membuat tidak layak jika dilakukan saat itu, atau ada amal yang lebih utama, atau juga pengetahuan tentang suatu hal belum tersampaikan pada khalayak umum”. (Syekh Ahmad Zaruq, ‘Iddatul Murid, [Kairo: Darul Kutib al-‘Ilmiyah, 2007], h. 14-15)
Di bulan Maulid ini, mari tanamkan cinta yang kokoh untuk Nabi dalam relung hati dengan penuh kasih. Sungguh, mencintai Rasulullah tidak butuh hadits shahih, melainkan cukup dengan hati yang bersih.