Sedang Membaca
Kampus Merdeka, Mahasiswa di Tuntut Merdeka Seperti Apa?

Mahasiswa Universitas Islam Malang.

Kampus Merdeka, Mahasiswa di Tuntut Merdeka Seperti Apa?

Whatsapp Image 2020 02 14 At 1.19.31 Pm

Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, merupakan kebijakan yang menjadi goals plan dari Nadiem Makarim sebagai Menteri pendidikan, kebudayaan, dan riset saat ini. Program ini dicanangkan akan memberi kebebasan pada pelajar di Indonesia. Segenap program pun terbit menyusul kebijakan tersebut.

Kampus Merdeka sebagai bagian dari MBKM memuat rangkaian kegiatan yang bisa diikuti mahasiswa. Mulai dari kampus mengajar, studi independent, pertukaran pelajar dalam dan luar negeri, hingga magang pada industri. Cukup menarik melihat lompatan luar biasa dari ranah pendidikan ini.

Tapi, kebingungan sebagai mahasiswa justru menghantarkan pemikiran, sebenarnya kemerdekaan seperti apa sih yang diinginkan? Apakah kemerdekaan pendidikan dalam konsep Paulo Freire? Atau kemerdekaan yang dicangkan justru lebih dekat pada ranah industrialisasi?

Sebagian mahasiswa merasakan kemerdekaan pendidikan lebih dekat pada arah industrialisasi pendidikan. Industri tidak hanya dimaknai pada segala hal berhubungan dengan uang. Pendidikan jadi cermin penghasil manusia industri, atau memang dipersiapkan menjadi aktor industri itu sendiri.

Sekarang coba saja diamati pada kebijakan Kampus Merdeka dengan segala programnya itu. Ada pertukaran mahasiswa merdeka, yang bisa mengkonversi 20 sks di lintas jurusan, Universitas, bahkan pulau. Untuk belajar multidisipliner itu cukup masuk akal, tapi menjadi ancaman nyata ketika orientasi mahasiswa adalah agar bisa jalan-jalan gratis.

Begitu pun dengan program lain seperti Kampus Mengajar. Dikonversi sebanyak 12 sks dengan kewajiban mengajar selama 3,5 bulan. Untuk konversinya mungkin itu hal baru, tapi yang jadi miss persepsi pada orientasi dosen pembina.

Baca juga:  Menyoal Sastra dan Agenda Penguasa

Kampus merdeka tidak boleh kehilangan konteks dari Tridharma perguruan tinggi. Tetaplah peduli kepada masyarakat sebagai lingkungan sosial. Sejatinya hal ini dapat memberikan nilai tambah, kontribusi, dan sumbangsih besar bagi masyarakat. Harapannya, kebijakan yang telah ditetapkan dalam dunia pendidikan haruslah konsisten.

Industrialisasi kemudian terjadi pada kebijakan yang menuntut beberapa kriteria. Mahasiswa yang dalam tanda kutip memang sedikit tertinggal dengan mahasiswa lain, semakin tidak memiliki tempat.

Mewujudkan Kesetaraan Hak Mahasiswa dan Dosen

Setiap individu ingin dihargai terutama dihargai dalam ranah akademik. Tidak ada kebenaran umum bahwa dosen selalu benar, sementara mahasiswa selalu salah. Ini konsep berseberangan dari bentuk aplikatif Merdeka Belajar Kampus Merdeka.

Kemerdekaan mahasiswa itu ketika terjadi hubungan simbiosis ‘mutualisme’ tidak ada yang saling diberatkan. Terkadang dosen dengan seenaknya mengambil kebijakan yang merugikan atas nama kesejahteraan bersama, dalih tersebut sebenarnya berbanding terbalik dengan realita. Karena yang acap kali diutamakan adalah kepentingan dosen itu sendiri.

Pada realita yang saya alami ini berkaitan dengan ujian akhir. Sebagai mahasiswa tingkat akhir tentu lulus tepat waktu merupakan prioritas utama. Tetapi ini menjadi sulit akibat sering diperlambat oleh sistem, dalam hal ini dosen.

Ujian yang seharusnya dilakukan sesuai jadwal yang beredar dari pimpinan fakultas, malah dilaksanakan dengan menyesuaikan pada kepentingan dosen. Karena saat ini dosen ‘dituntut’ untuk kreatif, terus berkarya, dan menulis jurnal sehingga kewajiban untuk mensejahterakan mahasiswa acapkali terabaikan.

Baca juga:  Relativisme Budaya dan Kemunduran: Tanggapan terhadap Hamidulloh Ibda

Kebijakan Kampus Merdeka pada akhirnya tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan. Terlalu banyak tuntutan kewajiban utama diabaikan. Ujian memang penting diadakan dalam setiap ranah jenjang pendidikan. Termasuk di dunia perkuliahan, ujian itu wajib!

Sebenarnya ini tidak hanya terjadi sekali, tapi sudah beberapa kali. Pengalaman ini pun mungkin tidak hanya dirasakan oleh saya sebagai mahasiswa salah satu kampus swasta favorit di Indonesia. Banyak yang juga merasakan pengalaman serupa, terutama beberapa hari menjelang ujian.

Saya yakin semua orang ingin dihargai, begitu juga mahasiswa dan dosen. Dosen ingin selalu hargai karena memiliki strata keilmuan lebih tinggi dibanding mahasiswanya. Mahasiswa sebaliknya juga ingin dihargai karena menjadi sumbangsih nyata untuk gaji dosen.

Lalu bagaimana jalan keluarnya? Apakah seperti yang didambakan MBKM dengan segala program? Sebagai solusi, saya kembali memberikan pemahaman Freire (LP3ES, 2018) bahwa konsep pendidikan hadap-masalah sebagai solusi pembebasan dari penindasan ini.

Dalam konsep pendidikan ini, saya ingin menarasikan apa yang disebut Freire dalam bukunya ‘Pendidikan Kaum Tertindas’ sebagai dehumanisasi atau proses kehilangan harkat martabat manusia yang dilakukan secara terstruktur melalui tatanan yang tidak adil. Akibatnya, orang-orang lemah yang merasakan dehumanisasi dari para penindas mendambakan kebebasan.

Seringkali ada salah kaprah dalam konteks memaknai ‘kemerdekaan’ pendidikan. Bukannya membalikkan keadaan dengan menciptakan humanisasi, sistem justru menerapkan kembali penindasan itu. Dehumanisasi pun terus berputar, dan kebebasan akan terus menjadi angan-angan karena kebebasan sejatinya harus diperjuangkan dengan kesadaran diri.

Baca juga:  John Steinbeck, Sastra, dan Emansipasi Kesadaran

Freire menarasikan ketertindasan dalam dunia pendidikan sebagai ‘sistem bank’. Sistem pendidikan semacam ini, hanya menganggap guru atau dosen yang dianggap memiliki pengetahuan, kehormatan, dan kemartabatan. Sedangkan mahasiswa, atau siswa hanya sebuah ‘celengan kosong’. Mahasiswa dipaksa untuk tunduk pada apa saja yang menjadi keinginan dosen, kreativitasnya pun jadi kerdil akibat terjadi penindasan moral ini secara terselubung dan terus menerus.

Dalam hal ini komunikasi menjadi aspek penting dalam konsep pendidikan ini untuk memastikan adanya pemahaman, tak sekadar pemindahan informasi, atau komunikasi satu pihak (baca:ceramah). Melalui dialog, akan bangkit kesadaran dan pemikiran kritis; tak ada lagi istilah ‘celengan kosong’, yang dianggap sebagai ‘benda’ dan  hanya bisa menerima jalan pikir yang ‘ditabungkan’ dosen ke dalamnya.

Freire lantas membandingkan pendidikan antidialogika dan dialogika. Yang pertama adalah alat untuk menindas, dengan karakter menaklukkan, adu domba lalu kuasai, manipulasi, dan serangan kebudayaan. Sedangkan dialogika adalah alat pembebasan yang melibatkan kerja sama, persatuan, organisasi, dan perpaduan kebudayaan.

Kemerdekaan dalam pendidikan, jika mengacu pada pendapat Freire akan terwujud bila ada komunikasi dua arah. Mahasiswa dan dosen dinilai sebagai individu dengan hak setara yang mewujudkan dialog, bukan monolog ataupun anti dialog. Menyerap kebudayaan tidak kalah penting, kebudayaan untuk srawung memposisikan diri setara tanpa menganggap mahasiswa hanya pelengkap atributif semata.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top