Apa yang saya lihat tentang Arab sangat sempit dibanding yang saya baca. Soal gurun pasir dan unta, misalnya, justru tidak pernah lihat di sini, kecuali hamparan gurun yang dilewati sepanjang perjalanan Madinah-Mekkah.
Menarik bahwa gurun pasir, unta, pohon tin, buah zaitun, kurma, gua Ghira, suku badui, suku Quraisy, dan sejumlah nama seperti Abu Lahab, Abu Jahal, dan lain-lain adalah benda atau orang yang disebut-sebut Alquran.
Mereka ikut terlibat dalam diskursus-diskursus dan latar Alquran. Konteks sosio-historis Mekkah-Madinah waktu itu ikut mewarnai “isi” Alquran yang kini menjadi rujukan umat Islam.
Jika dibandingkan dengan Arab modern dewasa ini tentu sangat kontras. Mekkah-Madinah modern khususnya dan bangsa Arab umumnya adalah wajah baru di dunia yang baru. Di sikitar Masjidil Haram dan Nabawi berdiri gedung-gedung tinggi mencakar langit dengan arsitektur modern. Dilengkapi fasilitas kamar hotel kelas internasional dan pusat-pusat perbelanjaan. Saat saya masuk mencukur rambut untuk tahallul, barang-barang yang dijual pun relatif sama dengan pusat-pusat perbelanjaan pada umumnya disertai restoran merk asing.
Pertanyaannya, bagaimna menghubungkan masa lalu Mekkah-Madinah saat ayat-ayat Alquran diturunkan dengan Mekkah-Madinah saat ini ketika ayat-ayat itu menjadi rujukan? Apakah berarti sudah kehilangan relevansinya? Apakah latar sosio-historis Arab sepenuhnya menjadi representasi untuk semua masyarakat manusia?
Fazlur Rahman punya teori double movement untuk menjawab itu. Teori ini mengharuskan melihat konteks masa lalu dengan konteks masa kini secara bolak balik.
Penulis lain menganjurkan memahami tiga konteks. Pertama, konteks sosio-historis masa lalu sebagai konteks makro. Kedua, sosio-historis masa kini sebagai makro. Ketiga, dan linguistik sebagai konteks mikro. Dan banyak teori lainnya.
Menurut saya, teori-teori tersebut tidak mudah untuk dioperasikan karena memerlukan kecanggihan bernalar dengan wawasan-wawasan kemodernan dan masa lampau yang kuat serta luas. Kita serahkan kesulitas di atas pada para ahli tafsir.
Saya ingin sedikit mencontohkan soal seting sosial Arab. Saat kita keluar malam hari dan mendongak ke atas di Mina (lebih-lebih di hamparan gurun pasir) bulan dan bintang gemintang begitu jelasnya, seakan-akan kita menyaksikan film di bioskop. Langit adalah layarnya. Sementara bulan dan bintang-gemintang adalah gambarnya. Alquran banyak mengurai soal ini. Contoh lainnya tentang unta. Di terik padang pasir yang seolah tak berpinggir onta adalah binatang paling kuat.
Unta adalah kapal-kapal gurun yang sangat hebat. Menjadi alat transportasi bagi suku-suku waktu itu hingga kini di beberapa wilayah gurun. Susunya dapat diminum. Bahkan jika bekal air habis, mulut onta bisa disogok dan dapat memuntahkan air dari kantong perutnya dan dapat diminum kembali oleh penumpangnya.
Itulah sebabnya, menurut Philip K. Hitti dalam History of Arabs, unta dalam bahasa Arab punya “seribu” nama yang menunjukkan makna pentingnya. Saya kira buah zaitun, buah tin, punya khasiat yang bisa dijelaskan.
Tentu saja bukan karena itu benda-benda itu masuk Alquran. Ini lebih sebagai cara Tuhan menjelaskan pesan-pesan-Nya melalui media tertentu yang akrab dengan pemahaman masyarakat tertentu.
Dengan demikian, apakah kita bisa berhipotesa bahwa jika pada waktu itu di Mekkah dan Madinah sudah zaman otomotif akan menyebut pula produk-produk otomotif berikut perintah serta larangannya?
Muhamad Shahrur, dalam al-Kitab wal Quran: Qiraah mu’ashirah berhipotesa bahwa jika pada masa Nabi sudah zaman otomotif akan ada larangsn atau perintah “hai orang-orang yang beriman, setirlah mobil dari sebelah kanan”! Ini hanyalah sebuah hipotesa.
Mekkah-Madinah zaman Nabi dan zaman kini ditautkan oleh prinsip-prinsip universal tentang tauhid, perdamaian, menyantuni orang lemah, saling menolong, keadilan, dan lain-lain. Inilah common platform yang mestinya dapat menyatukan umat manusia sejagad.