Pondok Pesantren adalah wilayah tarbiyah. Setiap titik di dalamnya mengandung pelajaran. Sebaiknya kita tidak abai ketika berada di dalamnya. Mata kita harus senantiasa siaga untuk jeli dalam melihat. Telinga kita wajib selalu terbuka demi menangkap suara-suara. Dan tentunya hati kita perlu terus-menerus awas menerka segala peristiwa.
Meski kadang tampak remeh, di balik semua yang terjadi di tiap jengkal wilayah pondok pesantren pasti ada hikmahnya. Pelajaran tidak hanya terbatas terkurung di dalam dinding-dinding kelas. Ada pelajaran di bilik-bilik kamar. Ada hikmah di batu-batu yang disusun tertib menghubungkan satu gedung dengan gedung lainnya, gedung asrama dengan serambi masjid, gedung kantin dengan gedung madrasah.
Di antara pelajaran yang saya tangkap adalah soal bersalaman. Ketika bersalaman dengan sosok yang ‘lebih tinggi’ dari saya, saya mendapati dua jenis salaman yang berbeda. Jenis pertama, yakni tatkala saya bersalaman dengan guru-guru yang mengajar di kelas saya. Mereka menyodorkan punggung tangan untuk saya kecup. Sedangkan jenis kedua adalah manakala saya bersalaman dengan para gus, atau putra-putra kiai saya di sana. Mereka justru menarik tangan dengan segera saat bersalaman. Menghindar dari kecupan yang hendak mendarat di punggung tangan mereka.
Saya bertanya-tanya, mencari tahu apa maksud dari perbedaan dua jenis salaman itu. Dan belum pernah ada kawan atau guru yang menjelaskannya kepada saya. Mungkin banyak yang menganggap itu biasa-biasa saja sehingga tidak perlu dipikirkan. Tetapi bagi saya, ini tidak biasa-biasa saja, pasti ada maksud di baliknya. Guru kelas mengharuskan saya mengecup punggung tangannya. Sedangkan para gus, yang sejatinya sosok yang paling dimuliakan di pondok pesantren di bawah pak kiai dan bu nyai, justru tidak menginginkan punggung tangan mereka untuk saya kecup. Bukankah aneh?
Sejauh saya termenung, saya menemukan kesimpulan yang menunjukkan bahwa perbedaan dua jenis salaman itu memiliki pelajaran berharga untuk ditangkap. Salaman jenis pertama memberi pelajaran saya sebagai murid, anak, orang yang lebih muda, tentang bagaimana memperlakukan orang yang lebih sepuh, menghormati orang tua, dan memuliakan guru. Di posisi ini saya harus merendah, menunduk, hormat.
Sedangkan salaman jenis yang kedua mengajarkan saya ketika (mungkin saja) kelak menjadi orang yang dihormati, dimuliakan, dijunjung tinggi. Pada kedudukan tersebut saya tidak boleh terlena, terbujuk jadi gila hormat, dan parahnya malah marah-marah jika orang lain tidak menunduk dan merendah di hadapan saya. Bukankah senang dihormati bisa berujung pada sikap narsis yang menjijikan itu? (RM)