Rencana pembangunan masjid di Surakarta telah menyita pandangan publik dengan anggaran Rp. 160 miliar. Berbagai pemberitaan tentang rencana tersebut telah terpublikasi banyak media.
Pemerintah kota Surakarta (Pemkot) berencana membuat masjid di tengah kota. Rencana pembangunan masjid di Sriwedari tersebut akan dilengkapi berbagai fasilitas demi menciptakan kenyamanan dan kekhusyukan dalam beribadah. Kapasitas masjid pun diperkirakan mampu memuat 7.680 jemaah.
Selain itu, masjid tersebut juga akan dibangun 5 menara setinggi 99 meter, dilengkapi lift dan berarsitektur Jawa kuno. Tak lama lagi kita dapat menyaksikan kemegahan masjid raya Sriwedari di tengah kota Surakarta (Solopos, 23 Januari 2018).
Keputusan pemerintah kota merencanakan pembuatan masjid di Sriwedari menambah daftar geliat Muslim Surakarta membutuhkan masjid. Meski masjid di Surakarta sudah begitu melimpah, namun perencanaan Pemkot tetap mendapatkan dukungan dari berbagai pihak pemerintah dan Ormas Islam.
Berbagai organisasi Islam di Surakarta juga dirangkul untuk menjadi panitia pembangunan masjid. Panitia itu adalah para pejabat dan orang penting, seperti Ketua DPRD Teguh Prakoso, Asisten Pemerintah Setda Said Romadhon, Ketua PD Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Subari, Ketua Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) Ahmad Sukina, dan Ketua PCNU Ahmad Helmy Sakdillah.
Pembuatan masjid Sriwedari seakan menjadi simbol kampanye politik pemerintah kota untuk menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap para pejabat. Masjid menjadi cara yang paling mudah untuk mengenang para pejabat yang melulu memberikan perhatian dalam hal keberagamaan. Hal itu yang nantinya akan berdampak besar bagi pencitraan para pemimpin dalam masa kinerjanya dan masa kampanye.
Kegemaran para pejabat membangun masjid telah menjadi budaya bagi pemerintah kota untuk menciptakan masjid dengan bernuansa kemegahan yang menghabiskan anggaran sampai bermiliar-miliar.
Pembangunan masjid yang dapat kita cermati oleh pemerintah kota banyak terjadi di Jawa Tengah. Pemerintah kota saling berlomba-lomba membangun masjid demi pemartabatan dan perpolitikan.
Terbukti, selain di Surakarta, pembangunan masjid juga dilakukan Pemerintah kota Sukoharjo. Pemerintah kota telah membangun masjid Baiturrahman dengan anggaran Rp. 33 miliar.
Masjid Baiturrahman telah berdiri megah di tengah kota Sukoharjo. Masjid tersebut juga dilengkapi berbagai menara yang dapat menghiasi bangunan masjid.
Selain di Surakarta dan Sukoharjo, kita juga masih mengingat pembangunan masjid Al-Aqsa di Klaten yang juga menghabiskan dana miliaran. Masjid yang dibangun Pemerintah kota tersebut lebih memilih beraksitektur modern. Masjid besar dan berkubah keemasan menjadi daya tarik umat Muslim untuk dikunjungi agar tak lupa mendokumentasikan dengan ber-selfie!
Ukuran Masjid
Kemegahan dan besar selalu menjadi ukuran para pejabat dalam menentukan pembangunan masjid kota. Kebiasaan Pembangunan masjid tersebut terkadang tak terlalu mempertimbangkan kegunaan tatkala masjid telah berdiri.
Masjid seringkali mengalami sunyi tanpa aktifitas dakwah dalam mengembangkan pemahaman keislaman. Padahal hal itu yang semestinya diutamakan untuk menciptakan keberagamaan yang mampu menjunjung rasa persaudaraan antar umat Muslim.
Kita masih bisa membaca petuah dari Oemar Syahid Resoatmodjo dalam buku Kepemimpinan Masjid adalah Pewaris Risalah (1988). Selaku Ketua pengurus masjid Agung Surakarta pada 1974-1984, ia menceritakan kegunaan masjid Agung Surakarta dari masa ke masa.
Pada masa lalu ketika keraton Kartasura dipindah di Surakarta, pertama kali bangunan yang didirikan oleh Paku Buwono (PB II) di samping Keraton adalah masjid.
Masjid yang masih berukuran kecil itu menjadi sarana dakwah dalam memahamkan perkembangan ajaran agama Islam di Surakarta. Antusias masyarakat di Surakarta untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam sangatlah besar. Mereka berbondong-bondong mengunjungi masjid sebagai ruang pembelajaran dan ibadah.
Dakwah Islam pun berlanjutkan oleh putra Paku Buwono (PB II) yang bernama Adipati Anom (PB III). Pada 1764-1768 Paku Buwono (PB III) membangun dan memperbesar ukuran masjid dengan menamainya masjid Agung Surakarta.
Memperbesar ukuran masjid itu lantaran membludaknya orang-orang yang ingin belajar Islam di masjid Agung Surakarta. Maka wajar bila ukuran masjid itu besar namun sesuai dengan kegunaan dan manfaat yang dihasilkan umat Islam.
Keberhasilan dalam mendakwahkan Islam di masjid juga berlanjut pada periode Paku Buwono (PB VIII). PB VIII menambahkan Serambi depan masjid sebagai pusat mengajarkan ilmu-ilmu agama. Selain itu juga serambi masjid juga digunakan sebagai tempat Persidangan Perdata Agama yang disebut “Raad Serambi Dalem” baik mengenai Hukum Munahakat, Hukum Kewarisan, Hukum Waqaf, Hibbah, Shodaqoh dan lain-lain.
Oemar Syahid Resoatmodjo mengingatkan dan menjelaskan pentingnya umat Muslim membuat masjid bukanlah kemegahan yang menjadi tolak ukur keberhasilan berdakwah.
Namun keberhasilan pembangunan masjid itu dapat terukur bila masjid tersebut ramai akan aktifitas dakwah dalam menyebarkan syiar ajaran Islam untuk dapat menyatukan umat Muslim.
Maka bila umat Muslim (para pejabat) kini perlu untuk membangun masjid, barangkali masjid Sriwedari hanya menjadi upaya aktivisme politik semata untuk menarik simpati warga kota Surakarta. Jika begitu, apa gunanya masjid 160 miliar?