Perkembangan kajian hadis di Nusantara mulai menggeliat setelah Syekh Mahfudz al-Tarmasi memasukkan hadis sebagai kurikulum di pesantren. Usahanya itu kemudian diteruskan oleh murid ideologisnya bernama Hasyim Asy’ari. Dengan semangat yang sama dengan gurunya, Hasyim Asy’ari turut menuliskan 40 hadis yang berjudul Arba’una Hadisan Tata’allaqu bi Mabadi’u Jam’iyyatu Nahdlatu al-Ulama’.
Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari tahun 1871 M. di Tambakrejo, Jombang. Di masa remajanya ia belajar ilmu agama di pelabagi pesantren hingga pada akhirnya meneruskannya di Makkah. Karena kealimannya di bidang ilmu keagamaan, Hasyim Asy’ari kemudian diberi julukan Hadlaratus Syekh. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu pendiri organisasi Islam Nahdatul Ulama.
Hasyim Asy’ari hidup di masa adanya kontestasi otoritas keagamaan di Indonesia pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pada waktu itu terjadi persaingan gagasan-gagasan yang dibangun dari pelbagai macam penafsiran teks keagamaan yang dimotori oleh kelompok pengikut Wahabisme. Catatan Oman Fathurrahman menunjukkan adanya polarisasi kecenderungan di antara kelompok Islam yang diidentifikasi sebagai bentuk ortodoksi dalam mempraktikkan doktrin dan ritual keagamaan serta meyakininya sebagai yang ‘benar’, dengan kelompok Islam yang didentifikasi sebagai kaum heterodoks yang sering dituduh ‘salah’ hanya karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang diyakini oleh kelompok Islam ortodoks.
Fenomena ini tidak lepas dari peran alumni-alumni Timur Tengah dari Indonesia yang sudah sedikit banyak mengikuti aliran wahabisme. Konsekuensinya banyak praktik-praktik keagamaan di Indonesia yang mulai dituduh menyimpang dari al-Qur’an dan hadis, mulai dari tahlilan, ziarah kubur, mauludan, bahkan sampai mengkafikan (takfirisme) mereka yang tetap menjalankan ritual-ritual tersebut.
Peristiwa Komite Hijaz (31 Januari 1926), atas persetujuan Hasyim Asy’ari, merupakan puncak protes ulama-ulama Nusantara kepada raja Ibnu Sa’ud atas fenomena pelarangan kebebasan bermazhab di Makkah, di mana kala itu menjadi pusat kajian Islam, yang menyebabkan umat Islam dunia mula menjauh dari sisi-sisi lokalitasnya.
Hasyim Asy’ari melihat pergeseran di antara pemikiran dan praktik keagamaan Muslim Jawa. Mulailah ia menggagas berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) lengkap dengan argumentasi-argumetasi yang dibangun melalui kitab Risalatu Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fi. Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah dan al-Muqaddimah al-Qanun al-Asasi Li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’. Selain itu, Hasyim Asy’ari menguatkan argumentasinya itu dengan menuliskan 40 hadis yang disesuaikan dengan visi dan misi NU, yang diberi judul Arba’una Hadisan Tata’allaqu bi Mabadi’u Jam’iyyatu Nahdlatu al-Ulama’.
Kitab hadis Arba’in Hasyim Asy’ari berisi nukilan dari kitab-kitab mu’tabar (otoritatif), baik yang kanonik (kutub al-sittah) maupun non-kanonik (selain enam kitab). Kitab ini terbagi ke dalam 6 bab: 1- dakwah/amar ma’ruf nahi munkar (7 hadis); 2- kepemimpinan (2 hadis); 3- ibadah (4 hadis); 5- keharusan mengikuti sunah Khulafaur Rasyidin (4 hadis); 5- akhlak (19 hadis); dan 6- persatuan (4 hadis).
Keberadaan teks-teks hadis yang ditulisnya merupakan bentuk respon atas kondisi sosial masyarakat saat itu, serta menjadi kontra narasi pemikiran atas wahabisme. Kitab inilah yang kemudian menjadi rujukan atau dalil bagi amaliah-amaliah kelompok NU. Argumentasi tentang bid’ah, khurafat dan takhayyul, ssebagaimana dituduhkan kelompok Wahabi, dijelaskan melalui hadis-hadis yang tertulis di dalamnya.
Salah satu yang menarik dari kitab hadis Arba’in Hasyim Asy’ari adalah menjelaskan pentingnya persatuan sebagai pilar keutuhan bangsa. Beliau menukil hadis riwayat al-Tirmidzi dan Ibnu Majah sebagai berikut:
عن ابن عمر أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إنّ الله لايجمع أمتي أو قال أمة محمد على ضلالة، ويد الله مع الجماعة ومن شذّ شذّ إلى النار (رواه الترمذي). إن أمتي لاتجتمع على ضلالة فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم (رواه ابن ماجه).
Dari Ibnu Umar Ra. sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku atau umat Muhammad dalam kesesatan, dan keputusan Allah berada pada jama’ah, dan barang siapa keluar dari aturan maka ia akan menuju pada neraka. (HR. Al-Tirmidzi). Sesungguhnya umatku tidak dikumpulkan pada kesesatan, apabila kalian melihat perselisihan maka ikutilah golongan mayoritas. (HR. Ibnu Majah).
Hadis itulah yang menjadikan dasar Hasyim Asy’ari untuk mengeluarkan statemen pentingnya membangun persatuan berbangsa dan beragama. Berikut adalah kutipan untuk persatuan kebangsaan:
ومن المعلوم ان الناس لابد لهم من الاجتماع والمخالطة. لأن الفرد الواحد لايمكن أن يستقل بجميع حاجته. فهو مضطر بحكم الضرورة الى الإجتماع الذي يجلب الى أمته الخير ويدفع عنها الشر والضير. فالإتحاد وارتباط القلوب ببعضها، وتضافرها على أمر واحد، واجتماعها على كلمة واحدة من أهم أسباب السعادة, وأقوى دواعي المحبة والمودة، وكم به عمرات البلاد، وسادات العباد، وانتشر العمران، وتقدمت الأوطان، وأسست الممالك، وسهلت المسالك، وكثر التواصل الى غير ذلك من فوائد الإتحاد الذي هو أعظم الفضائل، وأمتن الأسباب والوسائل.
Sebagaimana diketahui, manusia adalah makhluk yang harus hidup bemasyarakat (komunal) dan berinteraksi dengan yang lain. Karena seseorang tidak akan mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri. Suatu keharusan baginya untuk bermasyarakat, berkumpul yang membawa manfaat bagi umatnya dan menolak kemdlaratan serta ancaman darinya. Sebab itu, persatuan, ikatan batin, saling bantu dalam suatu masalah dan kesepakatan bersama merupakan penyebab kebahagiaan dan faktor penting dalam menciptakan persaudaraan dan kasih sayang. Sungguh banyak negara-negara yang menjadi makmur, rakyat banyak yang menjadi pemimpin hebat, pembangunan merata, negeri-negeri menjadi maju, kedaulatan pemerintah ditegakkan, jalan-jalan menjadi mudah, perhubungan menjadi ramai dan masih banyak lagi manfaat dari persatuan yang merupakan keutamaan yang agung serta menjadi sarana yang paling ampuh. Allahu a’lam.