Dosen Psikologi IAIN Ambon.

Tradisi Damai di Ambon: Jacky dari Kristen dan Hasbollah dari Islam

Sebagaimana nama Maluku, yakni Jaziratul Muluk, berarti negerinya para raja-raja, mengandung makna sangat dalam. Secara eksplisit, tampak negeri ini punya banyak sekali raja-rajanya. Di sebelah utara pulau Maluku, ada kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Sedangkan di bagian tengah, ada kerajaan Hitu, Iha, dan Siri-Sori Islam.

Semua dari mereka ialah kerajaan-kerajaan Islam, yang harum namanya sampai ke pelosok negeri Eropa (Portugis, Spanyol, dan Belanda), bahkan juga ke ujung Filipina dan dataran Cina.

Jaziratul Muluk, secara implisit (tak tampak), bermakna pengayom, pemutus-perkara, dan progresif demi kemajuan bersama. Hal ini tercermin pada perilaku raja-rajanya.

Sejumlah kerajaan yang di kelilingi lautan ini, membawa dampak pada pembentukan perilaku rakyatnya, yakni menjadi “pengayom dan pembersih”. Sebagaimana sifat lautan ialah pelindung gugusan pulau (pengayom), penyerap dan pembersih.

Penyerap dan pembersih ini punya maksud bahwa, jika suatu ideologi “impor” yang tidak sesuai dengan iklim psikologis raja dan rakyatnya, maka ideologi tsb sudah pasti terbersihkan dari bumi al-Muluk.

Namun, jika suatu ideologi “impor” punya tendensi ke arah “pengayom-mengayomi”, maka ideologi tsb akan terserap dengan sangat mudahnya.

Pengayom tidak hanya berarti satu arah. Efek timbal-balik dari pengayom ialah mengayomi. Pengayom bersifat ke dalam ke kelompok, sedangkan mengayomi ialah keluar kelompok. Jika pengayom dan mengayomi ini kita gabungkan dalam satu tarikan nafas bersama, maka akan tercipta situasi yang harmonis di bumi al-Muluk.

Baca juga:  Menghidupkan Kembali Doktrin Politik Sunni

Sebetulnya, “pengayom-mengayomi” ini sudah tertanam lama dalam sanubari para tetuah. Yang lama-kelamaan naik tingkat menjadi prinsip hidup orang Maluku. Hal ini bisa kita lihat dalam praktik “panas pela”, salah-satu tradisi berwatak toleransi di Jaziratul Muluk.

Prinsip “pengayom-mengayomi” ini juga bisa kita resapi dari perkataan Sultan Khairun (Sultan Ternate ke-23) berikut ini.

Agama saya – Islam – dan agama Anda – Kristen – sebetulnya punya tujuan yang sama. Lantas untuk apa saya harus menggantikan agama saya menjadi agama Anda?” (di kutip dari Adnan Amal, “Kerajaan Rempah-Rempah”).

Kata-kata itu bermakna sangat “pengayom-mengayomi”. Artinya, ke dalam kelompok, ia (Sultan Khairun) sangat prinsipil memegang keyakinan agamanya (pengayom), dan ke luar kelompok ia sangat mengayomi yang berbeda darinya. Tidak hanya Sultan Khairun yang punya prinsip demikian, bahkan raja-raja lainnya seperti raja Siri-Sori Islam bernama Said Perintah, pun juga memiliki prinsip yang sama.

Said Perintah bersama Thomas Matulessy sangat terkenal dengan peleton Pattimura di tanah Saparua. Mereka berdua dikenal sangat bersahaja dalam pergaulan lintas manusia. Baik orang sarane (istilah Maluku: Kristen) maupun salam (istilah Maluku: Islam) ialah sama-sama bersaudara. Kebersahajaan mereka berdua, yang berlatar beda agama ini, akhirnya berbuah sukses memberangus penjajah dari bumi al-Muluk.

Baca juga:  Agama, Tanah Suci, dan Brasil bagi Tsubasa

Itulah prinsip “pengayom-mengayomi” para tetuah Maluku di masa silam. Terhitung sejak Khairun (1534 – 1570) sampai perjuangan Said Perintah dan Thomas Matulessy (1817).

Prinsip “pengayom-mengayomi” ini tak hanya berhenti di masa mereka, tapi bahkan mendarah-daging, di turunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Muncul tokoh-tokoh Maluku di kemudian hari, ber-spirit “pengayom-mengayomi” ini bisa kita lihat pada sikap Jacky Manuputty dan Hasbollah Toisutta.

Pada tahun 1999 silam, telah terjadi krisis multidimensional (sosio-eko-pol) di tanah air. Hal ini membawa dampak the darkness bagi orang Maluku. Situasi yang kacau-balau, perang saudara, akhirnya mendorong tokoh-tokoh berwatak “pengayom-mengayomi”, Jacky dan Hasbollah, muncul ke permukaan.

Dua orang itu, di samping sederet tokoh-tokoh lainnya, sangat memainkan peran penting dalam percaturan konflik horizontal dari tahun 1999 – 2002 di bumi al-Muluk. Dalam buku “Carita Orang Basudara“, mereka berdua mengungkapkan ke-kesal-an bercampur ke-tenang-an jiwa demi Maluku yang damai di kemudian hari.

Jacky, melalui mimbar kepastoran, sedangkan Hasbollah lewat mimbar masjid raya Alfatah Ambon, menyuarakan tujuan yang sama, yakni terciptanya kondisi yang harmonis di bumi al-Muluk. Spirit yang mereka pegang, kalau bisa di katakan, tentu ber-prinsip “pengayom-mengayomi”.

Alhamdulillah, puji Tuhan, mereka berhasil meruntuhkan sendi-sendi pertikaian, biang kerok dari permainan politik identitas yang tak betul ujung-pangkalnya.

Baca juga:  Sejarah Lahirnya Budaya Siwalima, Hakikat Persatuan ala Maluku

Itulah sederet nama-nama raja sekaligus juga tokoh-tokoh, yang punya prinsip “pengayom-mengayomi” di bumi al-Muluk. Prinsip ini bersifat herediter, diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semoga, dalam waktu dekat ini, akan muncul lagi generasi-generasi “pengayom-mengayomi” di tanah Jaziratul Muluk. InsyaAllah. Aamiin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top