Sedang Membaca
Suasana Tujuh Likur di Mamala Maluku Tengah

Dosen Psikologi IAIN Ambon.

Suasana Tujuh Likur di Mamala Maluku Tengah

Img 20220428 Wa0037

Setiap daerah di Indonesia menyimpan tradisi yang khas. Tradisi yang muncul ke permukaan merupakan produk intelektual masyarakat lokal setempat. Menariknya, tradisi yang dipraktikkan selalu disisipi dengan nilai-nilai ke-Islam-an, sehingga praktik tersebut diistilahkan sebagai tradisi Islam masyarakat lokal.

Uniknya, setiap tradisi Islam yang dipraktikkan masing-masing daerah cukup beragam. Fakta ini membuktikan bahwa spirit ber-Agama kita sangat plural. Hal ini merupakan kebanggaan yang dimiliki umat muslim di Indonesia.

Salah-satu tradisi Islam di Indonesia dapat kita lihat pada masyarakat Mamala di Kabupaten Maluku Tengah. Tradisi Islam ini tepat dilaksanakan pada malam tujuh likur, yakni malam ke-27 Ramadhan. Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari tokoh masyarakat setempat bahwa tradisi ini sudah dipraktikkan sejak lama sampai detik ini.

Ada dua jenis tradisi yang dipraktikkan masyarakat setempat saat malam tujuh likur. Kedua jenis tradisi tersebut yakni tradisi ‘langasa’ dan tradisi hadarat.

Tradisi ‘langasa’ ini merupakan praktik pembagian makanan ke anak-anak di Mamala, kabupaten Maluku Tengah pada malam tujuh likur. Makanan yang dibagikan ke anak-anak berupa jagung, buah salak, semangka, pisang, ketupat, dan masih banyak lagi.

Uniknya, tempat taruh jenis-jenis makanan tersebut berbentuk seperti wajan atau baki. Tempat wajan atau baki itu terbuat dari batang sagu kemudian disulam dengan daun kelapa muda. Tempat taruh makanan ini disebut masyarakat setempat sebagai ‘langasa’. Dari sinilah tradisi ‘langasa’ dinamakan oleh masyarakat setempat.

Baca juga:  Akulturasi Religi dan Tradisi dalam Ketupat Idul Fitri

Menariknya lagi, jenis-jenis makanan yang diserahkan ke anak-anak merupakan pemberian dari raja Mamala, penghulu, dan kepala Soa setempat. Soa merupakan istilah dari kumpulan beberapa klan marga. Setiap Soa dipimpin oleh kepala Soa. Kepala Soa dan Penghulu biasanya melakukan ‘langasa’ setiap tiga kali berturut-turut selama bulan Ramadhan.

Selain itu, khusus raja Mamala wajib melakukan ‘langasa’ setiap tahun bulan Ramadhan, tepat pada malam 27 Ramadhan yakni tujuh likur. Pembagian makanan ke anak-anak ini merupakan wujud rasa syukur karena Allah telah menganugerahi kekayaan alam melimpah kepada masyarakat Mamala.

Selain tradisi ‘langasa’, masyarakat setempat juga mempraktikkan tradisi hadarat. Tradisi ini dilaksanakan tepat di depan masjid utama milik masyarakat Mamala yakni masjid Al-Muhibbin. Tradisi hadarat ini kebanyakan diikuti pemuda-pemuda setempat.

Pemuda-pemuda yang ikut memeriahkan tradisi hadarat ini semuanya memakai jas dan sarung. Uniknya, tradisi hadarat dilaksanakan di dalam tempat yang didesain seperti perahu. Pemukul rebana berada di depan, sedangkan dibelakangnya ialah para pemuda setempat.

Terdengar lantunan hadarat yang dibacakan pemuda ialah “Allah… Allah… Allah” dan masih banyak lagi. Hal ini menyiratkan rasa syukur kepada Allah SWT. Selain itu, posisi para pemuda yang berada di dalam perahu seolah-olah menandakan proses perjalanan masyarakat untuk mendekati Allah SWT.

Baca juga:  Dinamika Bedug di Indonesia dari Bedugisasi, Debedugisasi hingga Speakerisasi

Itulah kekhasan tradisi Islam lokal yang dipraktikkan tepat pada malam tujuh likur, yakni malam ke-27 Ramadhan di desa (Negeri) Mamala Kabupaten Maluku Tengah. Tradisi ini cukup unik karena merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top