Sedang Membaca
Ibadah Puasa, Ibadah Ekologis: Menjaga Alam sebagai Tanggung Jawab Spiritual

Dosen Psikologi IAIN Ambon.

Ibadah Puasa, Ibadah Ekologis: Menjaga Alam sebagai Tanggung Jawab Spiritual

kerusakan lingkungan

Salah satu perintah utama dari ibadah puasa ialah menahan diri dari sifat kebinatangan. Tuhan memberi kita waktu selama satu bulan penuh untuk memperbaiki diri. Menariknya, satu bulan yang paling istimewa ini, Ramadan, diselipkan oleh Tuhan dalam satu tahun sekali perjalanan umat manusia. Betapa pentingnya bulan Ramadan ini, sehingga kita (umat muslim) diperintahkan wajib menjalaninya dengan penuh antusias.

Hadirnya bulan Ramadan sekilas menunjukkan bahwa memang manusia dianggap selalu melakukan kesalahan. Bahkan, malaikat sudah memprediksi sejak awal dan memberi pandangannya pada Tuhan terkait mengapa Engkau (Tuhan) menciptakan manusia sementara mereka justru akan membuat kerusakan di bumi. Pandangan malaikat ini memang patut di apresiasi, karena manusia punya potensi membuat kerusakan di bumi. Tapi, Tuhan Maha Tahu segalanya.

Sifat-sifat kebinatangan yang dimiliki manusia memang kerap muncul ke permukaan tanpa disadari oleh manusia sendiri. Olehnya itu, bulan Ramadan, yang diselipkan oleh Tuhan dalam setahun sekali ini, sungguh sangat penting untuk kita renungkan kehadirannya.

Selaras dengan penjelasan itu dan melihat situasi sekarang ini, salah satu problem utama yang dihadapi umat manusia ialah kerusakan ekologis. Apa yang terjadi di darat maupun di laut, kerusakan ekologi ini bermula dari ulah manusia sendiri. Alam tidak mungkin merusak dirinya sendiri. Gunung meletus, ini bukan sebagai tanda dari upaya merusak alam, melainkan gejala itu adalah sunatullah yang sebetulnya berdampak baik bagi kelangsungan ekosistem kedepannya. Sementara kerakusan dan ketamakan yang dipertontonkan oleh manusia melalui aktivitas eksploitasi secara membabi buta, ini semua berpeluang menimbulkan krisis iklim yang semakin tak terbendung dan tak berkesudahan.

Baca juga:  Gus Dur Mengabdi

Di tengah situasi seperti itu, manusia harus kembali pada jati dirinya. Tujuan ia diciptakan untuk apa dan mau kemana. Pertanyaan ini penting untuk terus dipanggil kembali dalam ingatan kolektif kita bersama. Agar manusia tidak lupa mengenai tujuan dirinya diciptakan, untuk apa, dan mau kemana. Hadirnya manusia di dunia ini adalah untuk beribadah total kepada Tuhan dengan selalu menjaga keseimbangan ekosistem. Dalam bahasa imperatif moralnya ialah jangan membuat kerusakan di bumi, karena itu akan berbalik arah menimpah kita semua. Bukankah ini merupakan ibadah yang mulia? Beribadah kepada Tuhan melalui upaya selalu menjaga keseimbangan ekologis.

Namun, ironinya saat ini, krisis iklim semakin menjadi-jadi. Ini semua merupakan efek dari ulah manusia yang tamak terhadap alam. Sudah begitu, Amerika sebagai negara superpower justru menarik diri dari kesepakatan Paris terkait pengentasan krisis iklim ini. Sejak Donald Trump memimpin Amerika, ia lantas melepaskan tanggungjawab negaranya untuk mengatasi krisis iklim. Padahal, kesepakatan Paris sebelumnya terkait pengentasan krisis iklim mewajibkan setiap negara berpendapatan tinggi harus bertanggungjawab mengalokasikan dananya pada negara-negara berkembang untuk bersama-sama mengatasi krisis iklim. Namun, sekarang ini, Amerika enggan menjalankan kewajiban moral itu. Ini sungguh sangat miris sekali.

Apa yang diperlihatkan oleh Donald Trum itu, kalau meminjam istilah Glenn Albrecht dalam bukunya “Earth Emotion” terbit tahun 2019 lalu, bahwa sikap Donald Trump itu adalah ekspresi emosi negatif. Padahal, dia tidak sadar kalau nantinya bumi akan berbalik arah menampilkan juga emosi negatifnya. Kita sekarang ini hidup dalam pertarungan emosi negatif, antara manusia dengan bumi yang kita tempati saat ini.

Baca juga:  Tiga Kekhilafan Soekarno (?)

Di bulan Ramadan ini, emosi negatif semacam itu sepatutnya kita tinggalkan dan mulai berbenah menampilkan emosi positif pada bumi. Puasa, sebagaimana yang sudah saya jelaskan di atas, maknanya ialah kita berupaya menahan diri dari jiwa amarah bissu yakni emosi negatif tersebut. Puasa adalah teknik bagi kita untuk mawas diri dari emosi negatif. Emosi negatif seperti kerakusan eksploitatif terhadap alam, ini semestinya perlu kita tahan (nge-rem) agar situasi bumi tidak semakin parah.

Jadi, apa yang saya mau katakan dalam tulisan ini adalah bahwa bulan Ramadan yang diselipkan Tuhan dalam setahun sekali ini sungguh sangat penting untuk kita renungkan kehadirannya. Kehadiran bulan Ramadan ini, kalau kita mau renungkan secara bersama-sama, sesungguhnya membentuk kita berperilaku menjaga bumi agar tetap sehat secara ekologis kedepannya. Bukankah ini ibadah yang mulia?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top