Kajian Psikologi terus berkembang. Psikoanalisis yang pernah menjadi “superstar” di awal abad ke-20, terus menuai banyak kritik. Kebanyakan kritik diarahkan kepada pandangan-pandangan Psikoanalisis yang terlalu muram melihat manusia. Sigmund Freud, bapak pendiri mazhab ini, memiliki pandangan bahwa manusia digerakkan oleh alam bawah sadarnya. Alam bawah sadar, menurutnya, terdiri dari seks dan agresi.
Menurut Freud, perilaku maupun mental manusia dibentuk oleh alam bawah sadarnya yang selama ini direpresi/ditahan. Segala sesuatu tentang keinginannya, terutama berasal dari masa infantil atau anak-anak itu direpresi kedalam psikologis terdalamnya karena dianggap bertentangan dengan norma masyarakat. Nah, segala hal yang direpresi itu berupa hasrat seksual dan agresi yang kemudian mengendap kedalam alam bawah sadar dan menjadi motif perilaku manusia ketika dewasa.
Pandangan ini terlalu menyeramkan dalam melihat hakikat manusia. Konon, pandangan-pandangan muram Freud ini dipengaruhi oleh praktik psikiatrisnya yang mana kebanyakan pasiennya adalah orang-orang yang neurotis atau memiliki gangguan mental. Maka kemudian tak heran jika pandangan-pandangannya terlalu muram kepada manusia. Hal ini karena subyek penelitiannya hanya sebatas populasi orang-orang yang sedang mengalami gangguan mental.
Carl Gustav Jung: Dorongan Spiritualitas Manusia
Carl Gustav Jung adalah salah satu muridnya Freud yang mengkritik pandangan-pandangan suhunya. Jung ini bukanlah sosok yang bisa diremehkan keterlibatannya dalam gerakan Psikoanalisis dan persahabatannya dengan sang suhu. Jung pernah menduduki jabatan yang sangat prestisius dalam gerakan Psikoanalisis, yakni Presiden International Psychoanalytic Society.
Jung berpisah jalan dengan suhunya karena berbeda pandangan soal “konten alam bawah sadar manusia.” Jung mengusulkan kepada Freud untuk memperluas cakrawala Psikoanalisis dengan menambahkan aspek spiritualitas kedalam teori alam bawah sadar. Baginya, alam bawah sadar tidak hanya berupa dorongan seks dan agresi. Tapi menurutnya, alam bawah sadar manusia itu juga punya dorongan spiritualitas.
Kesadaran Jung tentang spiritualitas itu berasal dari pengalamannya melakukan terapi kepada pasiennya. Menurutnya, berbagai pasien yang berusia diatas 35 tahun, hampir seluruhnya memiliki persoalan yang selalu terkait dengan permsalahan keagamaan. Pasien-pasien dari Jung hampir seluruhnya adalah orang beragama.
Jung memiliki kesimpulan yang berbeda soal agama dengan Freud. Menurut Jung, perspektif agama dapat berperan secara positif dalam penyembuhan psikologis manusia. Pandangan Jung tentang agama mirip dengan Buddhisme bahwa kesadaran akan “yang batin” membantu orang dalam proses individuasi dan kematangan kepribadiannya.
William James: Agama sebagai Sumber Kebahagiaan
William James bisa dibilang sebagai psikolog pertama yang memiliki perhatian terhadap pengalaman-pengalaman keagamaan. The Varietes of Religious Experience adalah bukunya tentang Psikologi Agama yang sangat legendaris dalam studi ini. Menurutnya, dorongan agama sama pentingnya untuk diperhatikan seperti halnya dorongan-dorongan psikologis lainnya.
James dalam banyak perkuliahannya tentang pengalaman keagamaan kerap melontarkan kritik kepada perspektif materialisme ilmiah dalam mendekati pengalaman-pengalaman beragama. Menurut James, pengalaman keagamaan tidak selayaknya disepelekan dan dianggap hanya sekedar proyeksi obsesi mencari sosok ayah seperti pandangan Freud atau juga hanya sekedar keyakinan yang diperteguh seperti pandangan B. F. Skinner.
Pengalaman keagamaan, baginya tak sedangkal itu. Menurutnya, hubungan manusia dengan realitas tak terlihat, dapat mengaktifkan energi spiritualitas. Agama dapat menggairahkan hidup, meluaskan kepribadian, memperbarui daya hidup, dan memberikan makna dan ketentraman hidup. Ia melihat agama dalam konteks individualnya sebagai sumber kebahagiaan manusia (Rakhmat, 2021).
Abraham Maslow: Agama sebagai Pengalaman Puncak
Abraham Maslow adalah salah satu pelopor gerakan mazhab humanistik dalam Psikologi. Ia sangat keberatan dengan pandangan-pandangan pemikir Psikoanalisis dan Behaviorisme yang terlalu muram dan mekanistik melihat hakikat manusia. Psikoanalis melihat manusia hanya sebagai penghasrat seksual dan agresi dan Kaum Behavioris melihat manusia terlalu mekanistik bentukan stimulus lingkungan.
Bagi Maslow, manusia memiliki orientasi untuk mencapai nilai-nilai yang tinggi. Pandangan ini berangkat dari pengamatannya kepada orang-orang yang memiliki kepribadian yang matang dan optimis. Nah, pandangan Maslow tentang agama juga dipengaruhi oleh paradigma psikologinya tentang manusia. Menurutnya, agama tak seburuk yang dibicarakan oleh ilmuwan materialis seperti Freud dkk.
Maslow menulis buku khusus berjudul Psikologi tentang Pengalaman Religius (2021) untuk membahas pengalaman keagamaan dengan pendekatan Psikologi. Penghayatan seseorang atas ajaran agamanya yang mendalam dapat menghantarkannya kepada sebuah pengalaman puncak (peak experience). Pengalaman puncak ini adalah kondisi spiritual yang penuh dengan letupan-letupan makna yang tinggi.
Pengalaman puncak dalam pengalaman beragama ini berlevel individual. Maslow sangat kritis terhadap agama sebagai institusi yang kerap kontra produktif terhadap hadirnya pengalaman puncak. Mungkin hal ini terkait dengan belenggu birokratisme dalam institusi agama, terlebih di Barat dengan birokrasi gereja Katoliknya.
Demikianlah berbagai pandangan beberapa ilmuwan Psikologi yang memiliki pandangan yang empatik terhadap pengalaman keagamaan. Mereka menepis kecurigaan dan kekhawatiran ilmuwan Psikologi lain yang kurang mampu memotret aspek psikologis yang mendalam dalam pengalaman beragama manusia. []