Sedang Membaca
Psikologi Agama (1): Agama Menurut Para Psikolog Sekuler
M. Fakhru Riza
Penulis Kolom

Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan aktif di Gusdurian Jogja. Bisa disapa lewat ig: @fakhru.riza dan twitter: @fakhruriza_.

Psikologi Agama (1): Agama Menurut Para Psikolog Sekuler

Whatsapp Image 2021 08 03 At 23.49.53

Psikologi modern tidak mengenal “jiwa” manusia. Dalam disiplin Psikologi, jiwa itu absrak dan tak bisa diukur seperti apa keadaannya. Psikologi modern menyebut diri sebagai studi ilmiah tentang perilaku dan proses mental. Hanya segala sesuatu dari manusia yang tampak dan dapat diteliti secara empiris dan obyektiflah yang dapat menjadi kajiannya.

Obsesi Psikologi untuk mencari obyektifitas dari perilaku manusia itu secara tak langsung juga menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dengan berbagai bentuk agama. Pada generasi awal pemikir Psikologi, secara umum memiliki penilaian yang negatif terhadap agama. Situasi ini barangkali juga dilatari oleh kondisi perkembangan ilmu pengetahuan di Barat yang memiliki kecurigaan dan permusuhan terhadap Gereja sejak abad pertengahan.

Generasi paling awal ilmuwan Psikologi bahkan tidak begitu tertarik menjadikan fenomena keagamaan pada manusia sebagai obyek kajiannya. Meskipun kemudian generasi ilmuwan Psikologi selanjutnya mulai melirik agama, namun upaya itu memiliki kecenderungan memberikan pandangan negatif terhadap pengalaman keagamaan yang dialami manusia.

Sigmund Freud: Agama Adalah Ilusi

Barangkali, dari beberapa generasi awal pemikir Psikologi yang paling terkenal dalam mendekati agama tak ada yang menandingi popularitas Psikoanalis asal Wina, Austria ini. Berkat teorinya tentang agama, ia bahkan didaulat sebagai salah satau bapak ateisme modern setelah generasi Nietzche. Freud terkenal karena membicarakan agama dengan nada yang sangat negatif.

Baca juga:  Religious Vernacular: Bahasa dan Lokalitas dalam Beragam Tradisi Keagamaan

Freud, melalui bukunya The Future an Illusion mengemukakan bahwa rasa kepercayaan kepada Tuhan merupakan pengejawantahan dari rasa kehilangan sosok ayah pada seorang anak. Pada masa usia dini, anak-anak menganggap orang tua, terutama ayah adalah sosok yang maha tahu dan maha kuasa. Perlindungan ayah tersebut menentramkan dan menimbulkan rasa aman di tengah ketidakberdayaannya.

Sepanjang hidup seorang anak, obsesi untuk mendapatkan rasa aman tersebut terus menjadi harapannya. Rasa aman dan pengayoman yang manusia cari itu hadir dalam bentuk Tuhan dalam agama. Menurut Freud, keyakinan manusia kepada Tuhan itu bukan karena Tuhan itu adalah sesuatu yang eksis. Namun, hal itu semata karena obsesi alam bawah sadarnya yang merindukan sosok ayah. Dalam konteks inilah, dalam pandangan Freud bahwa Tuhan maupun agama adalah ilusi.

B. F. Skinner: Agama sebagai Perilaku yang Diperteguh

Skinner merupakan salah satu tokoh besar mazhab behaviorisme dalam Psikologi. Aliran ini memiliki pandangan bahwa perilaku manusia itu dipengaruhi oleh stimuli dari lingkungannya. Psikolog lulusan Harvard ini memiliki teori yang sangat populer yang disebut sebagai operant conditioning. Teori ini mengatakan bahwa perilaku akan muncul jika diberikan rangsangan atau stimulus yang dikondisikan atau menentukan.

Pandangan Skinner tentang manusia inilah yang juga menjadi cara pandangnya tentang perilaku keagamaan. Menurutnya, agama itu bukanlah soal sebuah kepercayaan yang suci atas sebuah entitas Tuhan yang maha kuasa. Menurut Skinner, agama merupakan hanya sebagai perilaku yang diperteguh saja. Agama adalah pengkondisian atas sebuah kondisi dimana stimulus-stimulus yang mendorong seseorang untuk memercayai dan mempraktikan ritual agama dibentuk.

Baca juga:  Ngaji Rumi: Beragama dengan Gembira

Artinya, bagi Skinner agama hanya sebagai sebuah perilaku yang dibentuk saja. Agama bukan karena adanya hidayah ataupun pengalaman mistik dan spiritual yang nyata. Namun, agama bagi Skinner dilihat sebagai sesuatu yang mekanis dan dapat dibentuk. Menurut Skinner, karena di dalam masyarakat agama adalah sebuah fenomena yang banyak dipercayai orang, bahkan diwajibkan. Maka secara tidak langsung hal ini membentuk stimulus yang mengkondisikan orang menjadi beragama. Maka dari itu, baginya agama adalah sebuah perilaku yang diperteguh.

George Vetter: Agama sebagai Respon atas Situasi Tak Terduga

Vetter memiliki spirit yang mirip dengan Skinner. Pandangan-pandangan Vetter tentang agama banyak dipengaruhi aliran behaviorisme dalam Psikologi. Ia memiliki pandangan bahwa agama masih banyak diyakini oleh masyarakat karena memberikan sebuah kenyamanan ketika sedang menghadapi situasi yang tak terduga.

Menurut Vetter, orang akan cenderung mengulangi sebuah perilaku yang sama ketika hal itu memberikan manfaat pada masa sebelumnya. Misalnya, ketika sebuah situasi buruk terjadi dalam masyarakat seperti banjir besar, masyarakat tersebut kemudian memanggil nama-nama Tuhan untuk berdoa dan ternyata itu dapat membuat situasi lebih nyaman. Maka pada situasi buruk yang serupa di masa depan, mereka akan melakukan hal yang sama.

Vetter memandang berbagai fenomena ritual agama ataupun meditasi dalam agama itu menjadi perilaku di masyarakat karena berangkat dari situasi yang buruk tersebut. Menurutnya, meskipun meditasi dan ritual keagamaan tersebut berhasil menentramkan psikologis manusia. Namun hal itu sama sekali tidak membuktikan eksistensi Tuhan. Hal itu hanyalah sebuah kenyamanan psikis atas situasi yang tak terduga.

Baca juga:  Kisah Taubatnya Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari          

Demikianlah beberapa pandangan dari ilmuwan Psikologi yang sekuler terhadap agama. Mereka adalah sosok-sosok awal dalam sejarah Psikologi yang mulai berusaha memahami perilaku agama pada manusia, meski dengan penilaian yang negatif. Masih ada generasi Psikolog selanjutnya yang memiliki pandangan tentang agama secara lebih simpatik dan positif. Hal ini akan kita bahas pada tulisan selanjutnya. []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top