Suatu waktu pada tahun 1822 M, di negeri tanah jajahan Hindia Belanda dilakukan sebuah survey kebudayaan di bawah perintah Gubernur Jenderal Baron Van Der Capellen. Survey itu secara tak sengaja menemukan ratusan naskah lontar di sebuah langgar di lereng gunung Merbabu, Jawa Tengah. Naskah tersebut kemudian dikenal dengan sebutan naskah Merbabu (Kurniawan, 2017).
Oleh pemerintah kolonial, ratusan naskah tersebut hendak diakuisisi. Akan tetapi, pewaris naskahnya menolak.
Kemudian, setelah sekian dekade diabaikan saja oleh pemerintah kolonial, pada tahun 1950 naskah tersebut mendapatkan perhatian kembali oleh seorang Jerman yang bekerja sebagai asisten Bataviasch Genootschap, bernama R. Th. A Fredrich.
Ratusan naskah tersebut oleh Fredrich dinilai sebagai naskah yang akan memberikan penjelasan tentang budaya Jawa yang masih murni. Tentu asumsi yang demikian itu sangat kentara prasangka khas kolonial yang berusaha untuk mendiskreditkan pengaruh kebudayaan Islam dalam kebudayaan Jawa.
Pemerintah kolonial saat itu sangat berkepentingan untuk berusaha melenyapkan legitimasi dan kekuatan Islam dari kebudayaan Jawa. Menjadi pandangan umum para agen kebudayaan kolonial saat itu bahwa pengaruh budaya Islam dalam kebudayaan Jawa hanya menyebabkan menurunnya tingkat estetika dan otentitas budaya Jawa.
Saat itu pemerintah kolonial mengalami paranoid terhadap apa pun yang berbau dengan Islam. Karena saat itu mereka sadar bahwa Islam adalah unsur yang sangat berbahaya dan berpotensi besar mengancam kekuasaan kolonial di Nusantara.
Pada tahun-tahun itu, pemerintah kolonial mengalami trauma setelah menghabiskan banyak anggaran dana kolonial untuk menumpas Pangeran Diponegoro pada saat Perang Jawa (1825-1830). Dari situ mereka menyadari bahwa kombinasi budaya Jawa dengan Islam dapat berpotensi menimbulkan perlawanan terhadap penjajahan yang mereka lakukan (Carey dalam Kurniawan, 2017).
Kemudian, yang meneliti naskah Merbabu adalah seorang yang bekerja sebagai konservator naskah di Perpustakaan milik Genootschap, bernama A.B. Cohen Stuart. Untuk kepentingannya dalam memahami isi dari ratusan naskah lontar tersebut, Cohen membutuhkan bantuan seorang pribumi untuk membantunya. Akhirnya, ia memperkerjakan seorang keturunan bangsawan Surakarta bernama Suryawijaya dan kemudian dilanjutkan anaknya bernama Raden Mas Samsi (Kurniawan, 2017).
Hasil dari kerjasama tersebut menghasilkan beberapa salinan terhadap beberapa naskah Merbabu tersebut. Menurut Cohen Stuart dari hasil penyalinan tersebut malah memberikan penjelasan dan pemahaman yang merevisi pandangan peneliti sebelumnya, yakni Fredrick.
Jika oleh Fredrick naskah Merbabu adalah naskah murni Jawa kuno yang tak dipengaruhi oleh Islam. Cohen Stuart malah sebaliknya. Dalam naskah tersebut malah ditemukan banyak pengaruh Islam.
Misalnya ditemukan banyak kata serapan dari bahasa Arab dan malah secara jelas beberapa naskah menjelaskan tentang kisah-kisah tokoh Islam.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abimardha Kurniawan yang berjudul Mencapai Keselamatan: Tinjauan Awal Pengaruh Islam dalam Skriptoria Merapi-Merbabu Abad 16 – 18 yang diterbitkan dalam Jurnal Sejarah Vol. 01 2017, menjelaskan salah satu naskah dari naskah Merbabu yang menceritakan tentang Islam secara langsung.
Contoh naskah tersebut adalah Teks Nabi Aparas (Nabi Bercukur). Teks Nabi Aparas memiliki penuturan yang berbentuk prosa. Teks tersebut menceritakan kisah nabi Muhammad yang oleh Allah Swt diperintahkan melalui malaikat Jibril untuk mencukur rambut. Dalam teks tersebut diceritakan bahwa waktu itu terjadi pada saat bulan Ramadhan.
Dalam teks tersebut sangat menggambarkan bagaimana pengaruh Islam begitu besar, bahkan bukan hanya sekedar mengambil beberapa kata serapan yang berasal dari bahasa Arab. Dalam teks tersebut malah justu secara penuh menceritakan sejarah dan kisah-kisah nabi Muhammad saw.
Penemuan itu awal mulanya cukup membikin bingung para peneliti sejarah. Bagaimana Islam dapat mempengaruhi penulisan naskah yang notabene berlokasi sangat jauh dari daerah pesisir yang menjadi jantung utama proses Islamisasi di Nusantara.
Lokasi produksi dan penemuan naskah tersebut merupakan daerah pegunungan di sekitaran gunung Merbabu dan Merapi di Jawa Tengah. Tak pernah dibayangkan bahwa daerah yang sangat pedalaman tersebut sudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran Islam pula.
Awalnya tak heran jika Fredrick, seorang pegawai Bataviasch Genootschap memiliki anggapan dan ekspektasi bahwa naskah tersebut adalah naskah murni yang tak terpengaruh dengan ajaran Islam sama sekali. Fredrick berekspektasi bahwa naskah tersebut adalah naskah Jawa yang sangat kuno dan hanya dipengaruhi oleh agama Hindu.
Ekspektasi memang seringkali tak sesuai dengan kenyataan. Faktanya bahwa malah naskah tersebut adalah bagian dari bukti sejarah islamisasi di Nusantara, khususnya di daerah pegunungan, tepatnya sekitaran Merbabu dan Merapi di Jawa Tengah.
Terakhir, dari bukti sejarah dalam naskah Merbabu tersebut memberikan pemahaman bagi kita bahwa pada abad 16 hingga 18, proses islamisasi sudah hampir menjangkau seluruh daerah pedalaman Jawa, termasuk lereng gunung Merbabu dan Merapi di Jawa Tengah.
Koreksi min maaf, Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, Bukan 1925-1930