Saat akhir bulan Syakban, ketika pondok jelang liburan, bapak kiai mengumpulkan santri di musala. Ia berpesan kepada pada santri agar menjaga marwah santri selama di rumah. Banyak wali santri yang melapor, anak mereka, selama liburan itu, biasanya suka ngelayap. Ini resiko karena selama di pondok merasa dikekang, jadi semacam pelampiasan giru kali ya.
Namun, di antara yang paling diwanti-wanti oleh kiai adalah sifat jujur. “Santri itu harus jujur di manapun!” Termasuk petuah wajib yang disampaikan adalah tulah bagi santri yang suka mencuri. Slogannya; “Kalau di pondok suka mencuri jarum, maka di rumah bakal mencuri jaran.” Jarum adalah simbol remeh-temeh, sedangkan jaran simbol hal seriusnya. Ibarat kata, jika di pondok si santri sudah berani mencuri (buah) “timun”, maka setelah boyong bakal berani mencuri (mobil) “Timor”.
Tapi, ketika itu, di mihrab, bapak kiai keceplosan. Beliau berkata. “Pokoknya, kalian itu, di pondok ndak boleh aneh-aneh. Jangan sampai melanggar peraturan pondok. Sebab, kalau selaaagi di pondok sudah berani mencuri jaran…”
“Eh…”
Ia berhenti mendadak. Kiai sadar, ia telah keliru. Maksud hati hendak bilang “jarum,” apa daya keceplosan “jaran”. Untung saja, Nidin, salah satu santri gaek yang kebetulan duduk di dekatnya segera berbisik, tapi agak keras, “Mencuri jarum, Kiai. Bukan jaran…”
Tanpa menoleh, kita melanjutkan, “Maksudku, kalau selaaagi di pondok kalian sudah berani mencuri jaran, maka sampai di rumah bakal lebih berani lagi: mencuri jaran sekalian sama dokar dan kandang-kandangnya.”
Sepertinya, kiai ini pernah ikut workshop teater, jadi bisa berimprovisasi.