Sedang Membaca
Kamuflase Makanan dan Harapan Manusia
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Kamuflase Makanan dan Harapan Manusia

Manusia selalu ingin sesuatu yang melebihi ekspektasinya, harapan-harapannya. Kadang-kadang, harapan ini bukan berangkat atas tujuan utama, bisa jadi hanya ‘mainan’. Namun—dasar manusia!—meskipun mainan, mereka rela menghabiskan dan mengorbankan banyak hal, banyak rupiah, demi pemenuhan dan pemuasan syahwatnya itu.

Coba itu lihat! Ada yang beli motor tercepat di dunia dan hanya mau digunakan di jalan raya yang sempit dan sesak oleh pelalu lintas. Untuk apa itu? Pemenuhan ekspektasi, dong!

Akan tetapi, kalau kita pergi ke meja makan, maka ekspektasi manusia di situ lebih ngeri lagi. Lihat orang-orang yang harus disediakan sebanyak mungkin menu dan porsi untuknya, padahal dia sendiri hanya butuh sepertiga piring nasi dan sekerat lauknya.

Semua itu demi ekspektasi, tidak lebih, bahkan kadang hanya demi sesi foto di media sosial. Lalu, yang demikian ini terjadi lagi pada orang lain, terus terjadi. Akibatnya, satu orang harus menghabiskan jatah 7 orang meskipun 6 porsi lainnya berakhir di keranjang sampah. 

Orang tadi, karena dia pesohor, lantas ditiru perilakunya. Jika diprotes karena dia salah, buzzer, follower, dan para jamaahnya tidak akan terima dan ia akan dibela. Di masa berikutnya, pengikut-pengikutnya silih-berganti. Maka, dengan demikian, kebutuhan untuk nasi dan lauk pun bertambah. Padi yang biasanya dipanen 2 kali dalam setahun, kini harus dipercepat, menjadi 3 kali, bahkan kalau bisa hingga 4 kali.

Baca juga:  Sejarah Hari Arafah dan Puasa di Hari Itu

Terus, karena orang seperti dia sibuk sekali dan mulai bertambah banyak pula tiruannya, wajib segera ditemukan teknologi pemampatan makanan sehingga durasi makan yang biasanya selesai dalam 15-30 menit harus bisa selesai dalam 1 menit saja, misalnya diekstrak dalam sebentuk kapsul. 

Ekspektasi manusia tampaknya, dan dampaknya, terus menjalar, merambahi hal-hal lain dalam sisi kehidupan, termasuk jatah tidur dan meleknya. Manusia butuh 6-8 jam istirahat, tapi karena jatahnya tersisa 2 jam setelah dipotong kerja dan akselerasi, maka tenaga untuk 4 jam lainnya harus ditopang oleh booster, penambah stamina yang berfungsi untuk memompa jantung lebih cepat berdebar, sehingga ia melupakan rasa letihnya. Nyatanya, letih dan linu-linunya sesungguhnya tetap ada. Ya, dia hanya dibikin melupakannya.

Suatu saat, dia akan mengantuk, tapi obat penawarnya sudah tersedia sehingga bisa melek terus dan bertahan jaga. Dia pun melupakan rebah, bantal, dan kasur. Dia sesungguhnya lelah, hanya telah melupakan keinginan untuk tidur. Setelah kepalanya pening dan mata mulai berkunang-kunang, minumlah aprazolam dan sejenisnya. Nyatanya, dia tetap pening, hanya lupa sama pusing. Ketika dia dimintai pendapat dan berbicara, ia merasa tidak ada yang salah, bahkan dengan jemawa mengatakan baik-baik saja meskipun melakukan aktivitas melampaui manusia normal. Ya, bisa jadi dia hanya “merasa baik” karena tidak menyadari kebaikan itu. Hanya “manusia-manusia perkecualian” yang mampu melakukan kegiatan di atas normal, seperti Superman, Hulk, atau idola-idola kita di dalam wayang dan kartun. 

Baca juga:  Anggur Demokrasi dan Bibir Elektoral

Itulah profil manusia kekinian. Mereka ingin menggantikan hal-hal yang (secara alamiah sebetulnya) tidak tergantikan. Manusia berusaha menggantikan segelas susu dengan tiga butir permen, atau menggantikan karbohidrat sepiring nasi dalam sesobek roti. Suatu saat nanti, mungkin mereka akan menciptakan satu kapsul yang setara dengan seporsi pecel lengkap dengan es tehnya. Sebagian dari usahanya berhasil, sebagian gagal, sebagian tampak berhasil padahal aslinya gagal.

Pikiran-pikiran tentang makan dan makanan bahkan sama sekali tidak saya bayangkan sebelumnya. Saya kira, guyonan masa kecil dulu, seperti pengandaian “kalau aku kaya nanti”, misalnya “kalau aku kaya nanti, aku akan sarapan di Jakarta, makan siang di Semarang, dan makan malam di Surabaya” itu hanyalah iseng dan cuap-cuap, ternyata sekarang ada beneran yang begitu, dan benar-benar terjadi. Sungguh ada orang Indonesia yang sekadar ingin makan siang atau makan malam di Singapura, dan benar-benar hanya makan dan pipis di sana, tidak lebih, karena setelah itu ia balik lagi ke rumahnya: makan pun harus pakai paspor.

Terkait ekspektasi manusia atas makan dan makanan seperti ini, mungkin makannya tidak penting, makanannya juga tidak penting, pipisnya apalagi, juga tidak penting. Lalu, apanya yang penting? Remeh-temehnya, begitu pula unggahannya di media sosial dan cerita-cerita yang bakal berkembang dan meluas sesudahnya, yang viral, seperti cerita kepada kerabatnya, atau manakala ada orang lain yang menceritakan story-nya tentang “perjalanannya dalam memperoleh makan siang itu” kepada temannya, kepada temannya teman-temannya, dan seterusnya. 

Baca juga:  Bencana: Antara Ulah Manusia dan Sunnatullah

Entah seperti apa yang akan terjadi di masa depan, ketika jumlah manusia bergerak ke angka 8 miliar dan terus bertambah, ketika sekelompok orang meragukan kesiapan Bumi untuk memproduksi bahan pangan untuk mereka sementara sekelompok lainnya meyakini ketersediaan hanya berdasarkan iman, atau naiknya suhu air laut dan ketersediaan ikan-ikan, perubahan iklim, dan banyak kegundahan lain yang melingkupi manusia dan kehidupannya di muka bumi ini. 

Sambil menunggu perubahan itu, saya menulis catatan-catatan sepotong dan sepintas untuk mengukutinya. Anda pun begitu. Makanya, saya hentikan saja sampai di sini dulu. Gunakan waktu tersisa—sebelum Anda bekerja—untuk memikirkan semua itu, bahwa manusia dan Bumi ini tidak sedang baik-baik saja.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top