Al-Qur’an adalah kitab suci yang kaya dan sarat dengan nilai kesastraan. Keagungan sastrawi yang ditunjukkan Al-Qur’an dapat dilihat dari bagaimana respon para tokoh Jahiliyah terhadap Al-Qur’an itu sendiri. Betapa banyak tokoh dari kalangan Jahiliyah yang mengakui keagungan bahasa sastrawi Al-Qur’an. Dan tidak sedikit di antara mereka kemudian masuk Islam karena daya kekuatan bahasa Al-Qur’an yang begitu sangat memikat dan indah.
Masuknya Umar bin Khattab ke dalam Islam merupakan cerita yang masyhur dalam sejarah keislaman para sahabat Nabi Saw. Suatu ketika Umar dalam kondisi penuh kemarahan, menghunus pedang, pergi hendak membunuh Rasulullah Ss. karena dendam atas risalah yang dibawanya.
Namun Umar pun mengurungkan niatnya setelah mendapatkan kabar dari Nuaim bin Abdullah al-Adawi bahwa adik perempuan dan iparnya telah memeluk Islam. Spontan, Umar berbalik arah menuju rumah adiknya. Ketika sampai di rumah adiknya, dengan rasa marah yang semakin memuncak, Umar mendengar sang adik sedang membaca ayat Al-Qur’an (surat Thaha).
Mendengar bacaan ayat Al-Qur’an itu, Umar pun luluh hatinya. Dan meminta untuk dipertemukan dengan Rasulullah saw. hingga akhirnya masuk Islam.
Cerita serupa dapat ditemukan dalam kitab al-Sirah al-Nabawiyah yang ditulis Ibnu Hisyam. Dalam kitab itu disebutkan, bahwa Thufail bin Amr al-Duwaisi adalah seorang tokoh Jahiliyah yang hidup di Madinah. Ia juga seorang empu sastrawan Jahiliyah. Ketika berkunjung ke Makkah, ia mendapat laporan dari para petinggi Makkah tentang dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah saw.
Dengan penuh penasaran, Thufail meminta dipertemukan dengan Rasulullah saw. Singkat cerita, Thufail pun bertemu dengan Rasulullah. Thufail mengkonfirmasi tentang dakwah dan termasuk wahyu yang telah diturunkan kepada beliau. Sungguh di luar dugaan, setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah, Thufail pun merespon wahyu seraya berkata:
“Tidak, demi Tuhan aku tidak pernah mendengar bahasa (qaul) yang seindah dengan ini (Al-Qur’an).” Akhirnya Thufail menyatakan diri masuk Islam.
Dua cerita tersebut di atas mengilustrasikan betapa keindahan sastrawi bahasa Al-Qur’an telah memperdaya masyarakat Jahiliyah. Kekuatan bahasa Al-Qur’an menjadi kunci sebagai bentuk komunikasi dalam menyampaikan pesan-pesan risalah ilahiyah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, sejak awal diturunkan Al-Qur’an telah menjadi fakta kebahasaan yang artistik-sastrawi. Bahasa sastrawi menjadi semacam pola komunikasi untuk memikat hati masyarakat Jahiliyah.
Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi. “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan (menggunakan) bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka” (QS. Ibrahim: 4). Bahasa Arab adalah bahasa yang dipakai oleh masyarakat Arab, tempat Rasulullah saw diutus untuk semua umat di muka bumi. Untuk menjelaskan dan menyampaikan risalah ilahiyah kepada mereka, bahasa Arab dipilih sebagai media komunikasi.
Meskipun masyarakat Jahiliyah telah lama menggunakan bahasa Arab, namun tetap saja mereka merasa “asing” dengan bahasa Al-Qur’an. Ada perasaan “keterasingan” dalam diri masyarakat Jahiliyah (sebagai audien Al-Qur’an) terhadap bahasa Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an yang sama-sama menggunakan bahasa Arab, sebagaimana yang mereka gunakan komunikasi sehari-hari, menjadi asing di mata mereka. Menurut pakar bahasa, fenomena keterasingan seperti itu disebutkan dengan proses defamiliarisasi. Artinya, bahasa Arab yang digunakan Al-Qur’an menjadi “sesuatu yang asing” di mata masyarakat Jahiliyah ketika itu.
Imam Jalaluddin al-Suyuti dalam bukunya al-Itqan fi Ulum al-Qur’an menjelaskan fenomena keterasingan masyarakat Jahiliyah terhadap bahasa Al-Qur’an, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah telah menyadari kalau bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab sebagaimana yang mereka gunakan dalam keseharian. Mereka tidak mengingkari fakta ini. Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Imam Ibnu Jarir al-Thabari, bahwa Al-Qur’an memang diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka. Mereka telah mengenal huruf-huruf dan menggunakannya dalam praktik komunikasi kesehariannya. Meskipun demikian, mereka tetap saja tidak mampu menandingi Al-Qur’an .
Berbagai respon awal masyarakat Jahiliyah di masa kenabian terhadap Al-Qur’an menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah menjadi fakta linguistik-sastrawi. Fakta ini telah menggerus dan mengubah pandangan masyarakat Jahiliyah terhadap kebahasaan-kesastraan itu sendiri. Kebahasaan-kesastraan Al-Qur’an menjadi “sesuatu yang baru” yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh masyarakat Jahiliyah.
Memang benar, bahwa masyarakat Jahiliyah pada saat risalah ilahiyah diturunkan kepada Rasulullah Saw. telah memiliki tradisi bersastra yang kuat. Puisi-puisi Arab seperti al-mu’allaqat al-sab’ah dan para sastrawan seperti Nabighah al-Dzubyani, al-Akhthal, dan lain-lain, adalah bukti yang tidak dapat dibantah atas kemajuan tradisi bersastra masyarakat Arab. Namun, kehadiran Al-Qur’an telah mengubah kemajuan tradisi masyarakat Arab-Jahiliyah menjadi tidak berdaya.
Adones menyebutkan bahwa bahasa dan kesastraan Al-Qur’an benar-benar telah mengubah peran-peran kesastraan yang berlaku di tengah masyarakat Arab. Kesastraan dan kebahasaan Al-Qur’an tidak sekedar memainkan peran fungsional sebagai instrumen untuk memuaskan emosi yang tunduk pada kepentingan-kepentingan diri, tetapi mengubahnya menjadi pandangan dunia. Maka, Al-Qur’an bukanlah bahasa-kesastraan yang berpihak kepada kepentingan emosional, tetapi bahas-kesastraan untuk kemanusiaan; menyelamatkan diri dari kesesatan.
Dimensi kebahasaan-kesastraan Al-Qur’an inilah yang sejatinya menjadi kunci utama dalam memahami Al-Qur’an . Melalui bahasa-kesastraan tingkat tinggi, Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan-pesan agama untuk misi penyelamatan kemanusiaan. Sayangnya, kita lebih suka melihat dan memahaminya sebagai kategori-ketegori hukum yang kadang tunduk dalam kepentingan-kepentingan sesaat.
Mungkin kita sudah terlalu lama mengabaikan dimensi kebahasaan-kesastraan Al-Qur’an ini, sehingga seringkali terjebak pada kategori halal-haram, mukmin-kafir, boleh-tidak boleh, dan seterusnya. Padahal, sejatinya Al-Qur’an, dengan bahasa-kesastraannya, lebih “menyentuh” emosi dan perasaan dalam lubuk hati para audiennya, sehingga terbangun kesadaran yang hakiki terhadap kebenaran yang dibawa oleh Al-Qur’an. Sebetulnya juga mengakui keindahan Al-Quran dari sisi bahasa, mengakui juga banyak orang menjadi mualaf karena keindahannya itu. Artinya bahasa Al-Qur’an termasuk mukjizat. Tapi pada saat yang sama menolak pernyataan bahwa Al-Quran adalah kitab sastra. Mungkin mereka menilai kesucian Al-Qur’an mengalami erosi karena sastra. Ah, membingungkan.