Ada sebuah adagium yang mashur dalam khazanah keilmuan Islam yang berbunyi,
لولا عياض لما عرف المغرب
Jika bukan karena Qadhi Iyyadh, maka maghrib (Maroko) tidak akan dikenal.
Kiranya tidak berlebihan adagium di atas untuk menggambarkan betapa berpengaruhnya sosoknya, baik dari segi keilmuan, produktivitas dalam berkarya, jalan spiritualitas dan sikap politiknya menjadi bahan kajian yang tak ada habisnya.
Nama dan Perjalanan Intelektual
Bernama lengkap Iyyad bin Musa bin Iyyad bin Amrun bin Musa Al-Yahsubi. Lahir pada bulan Sya’ban tahun 476 H/1083 M di kota Sebta. Penisbatan Al-Yahsubi di atas merujuk pada salah satu leluhurnya yang berasal dari kabilah Yahsub di Yaman. Lalu mereka hijrah ke Andalus dan menetap di sana. Sebab kondisi politik yang bergejolak, mereka memutuskan pindah ke kota Fes dan pindah lagi ke kota Kairouan. Tak berselang lama, akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di kota Sebta, kota kecil di selat Giblatar. Kakeknya yang bernama Amrun, membangun rumah dan masjid Al-Manaroh. Di sinilah Iyyadh kecil tumbuh dan besar dalam keluarga yang cinta kepada ilmu pengetahuan.
Sejak kecil ia telah menghafal Al-Quran dengan tujuh riwayat di bawah bimbingan Abdillah bin Idris bin Sahal Al-Muqri’ (w 515H). Setelah itu belajar berbagai cabang fan ilmu pada para ulama negerinya, seperti Al Khotib Abil Qosim, Abi Ishaq Al-Fasi (w 502H). Abi Abdillah bin Isa (w 505H)
Mulailah nama Iyadh muncul sebagai anak muda yang cerdas, fasih, menguasai berbagai disiplin keimuan, mulai dari fiqih, tafsir, hadis, sejarah, akidah, dan ilmu lain.
Dalam bidang akidah, Iyyad belajar langsung kepada Qadhi Sebta kala itu, Al-Lukhomi. Dalam fikih, ia mengkaji madhab Maliki dengan sorogan kitab risalah ibnu abi zaid al-Qoiruwani kepada Ali At-Tamimi. Bahkan ia mendatangi Imam Ibnu Al-Arabi Al-Ma’afiri ketika singgah di Sebta dan mengaji secara runtut kitab Al-Mudawwanah karangan Imam Malik.
Pada tahun 507 H, Iyyad muda memulai perjalanan intelektualnya di bumi Andalus. Dalam mukaddimah kitab Tartib Al-Madarik, Muhammad bin Tawit beranggapan bahwa rihlah Iyyad ini bukan seperti seorang santri baru yang mencari guru. Tapi lebih kepada uji validitas keilmuan yang ia kaji selama di Sebta. Ia juga mengkaji metodologi berpikir dari para ulama Andalus. Mencari keabsahan sanad dan mata rantai berbagai fan ilmu. Mendalami alam pikiran barat Islam sebagai bentuk amanah ilmiah.
Imam Qadhi Iyyad merangkum silsilah keilmuan dan guru-gurunya dalam kitabnya yang berjudul Al-Gunyah dan ditambah kitab babon ensiklopedi ulama madhab Maliki yang ia beri judul Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik li ma’rifati a’lam madhab malik.
Pada tahun 508, saat itu Iyyad berusia 32 tahun, kembali ke Sebta. Para ulama mendudukkan dan menguji keilmuannya terkait permasalahan hukum dan perundang-undangan. Terjadilah perdebatan sengit dan menghantarkan Iyyad muda duduk di kursi majlis syuro. Selanjutnya ia diangkat menjadi Qadhi kota Sebta.
Saat menjadi Qadhi inilah karir politiknya mulai memancar. Ia berada dalam kedudukan yang agung, dihormati di mata para ulama dan disegani para umaro. Kesibukannya dalam urusan kenegaraan tidak melalaikan tugasnya sebagai pendidik. Ia juga mengajar di masjid agung Sebta. Beliau senantiasa membuka pintu rumahnya kepada siapa saja yang ingin belajar kepadanya.
Pada tahun 532 H, ia mendapat surat kerajaan dari kholifah dinasti Murabitin. Terjalinlah hubungan yang kuat antara keduanya hingga ia diangkat sebagai Qadhi Kordoba.
Ketidakkondusifan kondisi politik dan banyaknya pemberontakan yang melemahkan stabilitas kerajaan murobitun, memaksa Qadhi Iyyad untuk kembali ke negerinya. Dan menempati jabatan Qadhi Sebta untuk kedua kalinya pada tahun 539 H.
Dua Kitab Biografi
Bicara perihal biografi Imam Qadhi Iyyadh, maka tidak akan ada habisnya. Banyak sekali kitab yang berbicara riwayat hidup sang imam. Tapi di antara kitab yang muktabar dan penting untuk kita bahas disini ada dua kitab:
Pertama: Kitab Ta’rif bil Qadhi Iyyadh karangan putra beliau bernama Muhammad. Banyak ulama mengatakan kitab ini adalah sumber utama dalam merujuk biografi Qadhi Iyyad yang paling otoritatif. Dengan alasan, hubungan kekeluargaan, kevalidan data dan dekatnya waktu penulisan dengan masa hidup Qadhi Iyyad.
Kitab ini berisi informasi penting terkait asal leluhur, nasab, surat-surat, kumpulan syair yang ditulis dengan tangan atau yang ia dengar dari ulama sezamannya. Cerita dan kesaksian para ulama atas pribadi ayahandanya. Di bagian akhir terdapat potongan kitab Qadhi Iyyad yang berjudul Madhahibul Hukkam fi Nawazil Ahkam. Selain itu terdapat juga hadis-hadis yang diriwayatkan sang ayah dari para gurunya lengkap beserta sanad. Tak heran kita pasti akan menemukan informasi mengenai Qadhi Iyyad yang ditulis belakangan menukil dari kitab anaknya ini.
Kedua: Azhar Ar-Riyadh fi Akhbari Iyyad milik Al-Muqri (w 1041). Kitab ini adalah ensiklopedi biografi Imam Qadhi Iyyadh tertebal. Berisi lima jilid. Banyak sekali hal-hal baru yang tidak disebut dalam referensi sebelumnya. Tidak hanya berisi biografi Imam Qadhi Iyyad melainkan sejarah Sebta, Andalus, dan berbagai maklumat penting dalam khazanah sastra Arab.
Kitab ini dikarang dalam kurun waktu 14 tahun, yaitu dimulai tahun 1013-1027 H, ketika Al-Muqri tinggal di kota Fes. Tujuannya agar anak-anak bangsanya, yakni Tilimsan, Aljazair, mengetahui sejarah hidup Imam Qadhi Iyyad sekaligus agar mereka paham akan keindahan sastra dan sejarah negeri-negeri Barat Islam.
Keberkahan Kitab As-Syifa
Bagi kalangan pesantren dan pengkaji keislaman pada umumnya pasti tidak asing lagi dengan kitab karangan Imam Qadhi Iyyad satu ini yaitu kitab berjudul As-Syifa bi Ta’rif Huquqil Mustofa.
Perlu menjadi catatan di sini, terdapat kiranya tiga kitab penting dengan nama As-Syifa. Pertama As-Syifa milik Ibnu Sina yang mashur di dunia barat dengan nama latin Sanatio atau Sufficienta. Menghimpun empat pembahasan ilmu. Dari logika, fisika, matematika hingga metafisika. Ibnu Sina memulai penulisan buku ini di umur 22 tahun pada tahun 1022 M dan rampung tepat 15 tahun kemudian, 1037 M.
Kitab kedua berjudul lengkap Dzat As-Syifa fi Siroh An-Nabi wa Al-Khulafa karangan Imam Al-Jazari (w 833 H). Berisikan kumpulan nadzam dalam ilmu sirah nabawiyyah yang berjumlah 517 bait.
Dan terakhir adalah kitab As-Syifa yang menjadi fokus kita kali ini. Dalam mukaddimah kitabnya, Imam Qadhi Iyyad menerangkan sebab dikarangnya kitab As-Syifa ini. Sebagai jawaban atas beberapa soalan yang datang kepadanya perihal hak-hak yang wajib dimiliki oleh nabi. Bagaimana cara memulyakan Nabi Muhammad menurut ajaran para salafus salih. Hukuman bagi mereka yang merendahkan derajat kenabian.
Walau pertanyaan tersebut awalnya membuatnya resah, karena beratnya tema yang akan dibahas. Tapi akhirnya beliau memutuskan untuk menyanggupi permintaan tersebut sembari mengigat akan hadist yang berisi ancaman para ahli ilmu yang menyembunyikan ilmunya.
Ada sebab lain yang melatarbelakangi dikarangnya kitab As-Syifa ini. Dan ini termaktub dalam catatan putranya, bahwa Al-Muqri’ Abu Abdillah Al-Asqar berkata kepadanya, “Ketika saya bertemu dengan Rasulullah dalam mimpi, saat itu saya (sorogan) membaca Al-Quran, ketika saya perhatikan lebih lama, seakan saya melihat dalam bentuk ayahandamu. Pakaiannya pun sama.”
Setelah itu, Al-Asqar mengabarkan mimpinya kepada Qadhi Iyyad. Beliau pun dipenuhi kebahagiaan dan dikaranglah kitab As-Syifa ini.
Kitab ini mendapat sanjungan dan penghormatan dari kalangan awam, cendekiawan, ulama, umara, dari timur hingga barat. Banyak juga yang menyebut bahwa manfaatnya bisa dirasakan secara nyata alias mujarrab.
Mulai dari terhindar dari marabahaya, selamat dari tenggelam, wabah, kebakaran, disembuhkan dari penyakit, dikabulkan hajatnya, dilapangkan rejekinya, dan masih banyak lagi bagi siapa saja yang membaca, mengkaji, menghafal, memiliki, atau hanya menyimpannya di dalam rumah. Tentunya dengan menjadikan kitab ini sebagai wasilah, bukan dengan keyakinan sebagai musabbibul asbab, karena semua kemujarraban ini hanya bisa terjadi atas karunia Allah.
Di kota tua Fes, terdapat satu tradisi unik yaitu pembacaan kitab As-Syifa dengan menghadirkan para ulama dan sesepuh, dengan cara dibagi-bagi per kararis dan dibaca secara bergantian ketika menempati rumah baru. Juga ketika ada yang sakit atau tertimpa musibah. Tradisi turun temurun ini direkam oleh Syeikh Abdul Hay Al-Kattani dalam kitabnya Al-Madkhol ila Kitab As-Syifa.
Pada zaman kepemimpinan Sultan Abdul Aziz, penguasa dinasti Alawiyah, membuat kebijakan diadakannya pembacaan kitab As-Syifa di depan makam Maulay Idris Al-Tsani setelah syuruq di setiap harinya. Sebagai bentuk tabarrukan pada kitab As-Syifa.
Imam Abi Abdillah As-Syinjithi pengarang kitab Maroqi As-Shu’ud pernah berkata, “Apabila kamu terkena sakit, hendaklah kamu mencelupkan kitab As-Syifa ke dalam air, lalu minumlah air tersebut.”
Imam Abdul Khalik Al-Mazjaji berkata, “Sesiapa yang hatinya memiliki ta’alluq dan mahabbah kepada kitab As-Syifa ini, maka -dengan izin Allah- ia akan dapat bertemu Rasulullah Saw.
Diceritakan juga bahwa setelah Imam Qadhi Iyyad merampungkan kitab As-Syifa, malamnya ia bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. Seraya bersabda, “Bergembiralah wahai Iyyadh.”
“Atas apa ya Rasulullah?”
“Masuknya engkau di surga kelak. Dan bagi mereka yang membaca dan mendengar kitab ini, akan terhindar dari penyakit buta.”
Selain itu para ulama juga menyarankan untuk mendawamkan pembacaan kitab As-Syifa ini ketika terjadi wabah di sebuah negara dan wilayah. Di masa pandemi virus Covid 19, kita bisa membuka lagi kitab As-Syifa dan membacanya dengan niat agar diberi keselamatan dunia dan akhirat.
Kitab As-Syifa ini mendapat perhatian dan penghormatan di kalangan para ulama. Bisa dilihat dari banyaknya kitab yang dikarang dalam berbagai bentuk. Mulai dari syarah, hasyiah, ikhtishor, nadhom, baik yang sudah dicetak atau masih berupa manuskrip yang tersimpan di berbagai perpustakaan dunia. Selain itu, dengan membaca kitab As-Syifa akan menambah kerinduan dan mahabbah kita kepada sang kinasih, Nabi Muhammad Sallahualaihi wa sallam.
Pemberontakan Sebta
Imam Qadhi Iyyad hidup dalam dua masa kepemimpinan kekuatan besar politik di Barat Islam. Kekuasaan Kerajaan Murobitun dan awal munculnya Kerajaan Muwahhidun.
Pada masa kepemimpinan Yusuf bin Tasyfin hingga berganti putranya, Ali bin Yusuf bin Tasyfin, Imam Qadhi Iyyad hidup dalam keadaan yang cukup damai. Ia hidup di keluarga yang terbilang mapan secara finansial. Berkat kecerdasan dan kegigihan dalam menuntut ilmu mengantarnya pada jabatan Qadhi Sebta. Tentu masa-masa ini merupakan masa keemasan bagi kemajuan peradaban dan keilmuan kala itu dan bagi Qadhi Iyyad pribadi.
Pada kisaran tahun 540 H, Abdul Mu’min bin Ali, pemimpin Muwahhidun telah menaklukkan kota Fes. Mereka bersiap untuk ekspansi selanjutnya yaitu kota Sebta. Di sinilah Qadhi Iyyad berperan penting dalam perlawan terhadap kekuatan Muwahidun yang akan memporak-porandakan bangsanya.
Qadhi Iyyad pun menghimpun kekuatan bersama rakyat untuk berjihad melawan pasukan Muwahhidun. Seperti halnya kota-kota lain, Sebta pun berakhir dalam kekalahan cukup telak. Banyak dari warga yang gugur. Mereka pun akhirnya menerima baiat kepada pemimpin Muwahhidun pada tahun 541 H.
Selama masa awal kepemimpinan ini, kondisi perpolitikan pun belum cukup stabil. Walau Muwahhidun berhasil menguasai hampir seluruh wilayah kekuasaan Murabitun sebelumnya, tetap banyak sekali pemberontakan yang terjadi dan membuat otoritas penguasa melemah dan kelimpungan.
Kelengahan kekuasaan ini terbaca oleh penduduk Sebta. Mereka yang sebelumnya pendukung fanatik dinasti Murabitun, akhirnya melakukan pemberontakan untuk kedua kalinya. Banyak anasir-anasir Muwahhidun dihancurkan. Qadhi Iyyad sebagai pemimpin dari pemberontakan ini pun pergi menuju Andalus. Meminta bantuan kepada Yahya bin Ali Al-Masufi atau dikenal dengan Ibnu Ghaniah, salah satu gubernur Andalus yang loyal pada dinasti Murabitun. Akhirnya, Al-Shahrawi tangan kanan Ibnu Ghaniah pun pergi bersama Qadhi Iyyad kembali ke Sebta.
Penguasa Muwahhidun pun mencium pemberontakan tersebut dan segera mengirim pasukan ke Sebta. Perang pun berlangsung sengit. Korban yang jatuh lebih banyak dari sebelumnya. Sementara Al-Shahrawi pun akhirnya takluk dan perlawanan berhasil dipadamkan. Para pembesar negeri Sebta akhirnya mengirim surat langsung kepada Sultan Abdul Mu’min dan menyatakan penyesalan mereka atas pemberontakan yang terjadi. Mereka akhirnya menerima bai’at ulang untuk kali kedua.
Penguasa pun mengampuni rakyat Sebta dan juga Qadhi Iyyad. Tapi ia harus diasingkan di kota Marekesh. Setelah sebelumnya, ia mendapat mandat menjadi Qadhi di daerah Tadila.
Para sejarawan berbeda pandangan dalam memandang sikap politik yang dilakukan Qadhi Iyyad ini. Ada dua pendapat. Pertama, Qadhi Iyyad menganggap bahwa apa yang dilakukan Muwahhidun adalah batil. Karena kekuasaan yang sah masih berada di tangan Murabitun. Segala bentuk upaya penggulingan kekuasaan yang sah tidak dibenarkan dalam syariat.
Pendapat kedua muncul dari Muhammad bin Tawit, yang mengatakan bahwa sikap politik dipengaruhi atas dasar keyakinan atau bermotif teologis. Iyyad menolak segala paham yang mengatakan bahwa Mahdi bin Tumart, pencetus kerajaan Muwahhidun adalah Mahdi Al-Muntadar. Untuk menjaga akidah umat islam dari berbagai bidah yang tersebar di negerinya.
Pada saat berada di Marakesh inilah Imam Qadhi Iyyad mengalami sakit keras. Delapan hari setelahnya, tepatnya pada tanggal 9 Jumadil Akhir tahun 544 H, beliau berpulang ke hadirat Allah Swt. Dimakamkan di Bab Ilan dan makamnya ramai diziarahi dari segala penjuru hingga kini.
Semoga Allah kumpulkan kita semua dengan ahlul ilmi kelak. (RM)
Casablanca, 8 Maret 2020