Pembahasan tentang “Negara Islam” seperti tidak habis-habis, dan memang masih terus diperbincangkan di berbagai forum, mulai “angkringan”, kafe, gedung universitas, hingga ruang rapat organisasi. Jangan-jangan orang tidak butuh kesimpulan, membiarkan perdebatan mengalir….
Bertahun-tahun para cendekiawan berusaha menemukan dalil dan argumen guna merperkokoh fondasi Negara Islam ini. Muncullah berbagai kelompok yang pro dan kontra. Mereka yang kontra biasanya mengulik ketidakjelasan konsep tentang Negara Islam.
Salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang santer menghembuskan ideologi tentang berdirinya Negara Islam (baca: khilafah) di Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mengutip pendapat Dale F.Eickelman dan James Picastori dalam bukunya Muslim Politics tentang Hizbut Tahrir, “Kelompok islamis ini mempunyai pemikiran untuk mencipta ulang Negara Islam yang dengannya kaum muslimin dapat membebaskan diri dari pengaruh buruk penjajahan politik dan budaya barat “.
Beberapa waktu lalu Indonesia dilanda badai pemikiran, di antaranya kasus “penistaan agama” yang dilakukan oleh Ahok terkait Surah Al Maidah ayat 51 yang kemudian menjadi polemik. Kasus ini membuat kaum muslimin terbelah, kaum islamis fundamentalis yang menuntut dipenjarakannya sang terdakwa dan kaum moderat yang tidak gegabah dalam mengambil sikap serta menunggu keputusan pihak yang berwenang atas kasus tersebut. Di antara kelompok pertama, hadir HTI yang dengan semangat yang sama mempropagandakan Negara Islam. HTI mendapat momen dan panggung bersama para pendukung Islam fundamentalis untuk menuntut keadilan di NKRI ini.
Apologetis
Diantara penyebab munculnya paham “ Negara Islam “ atau Islam sebagai negara tak lain adalah kecenderungan apologetis. Mengapa bisa demikian? Nurcholis Madjid membagi sikap apologi itu menjadi dua. Pertama, apologi karena ideologi barat seperti sosialisme, liberalisme, komunisme dan lain-lain. Kedua, karena legalisme atau apresiasi yang serba legalitis dalam Islam.
Untuk alasan aplogetis pertama, Cak Nur menguraikan bahwa orang Islam meyakini (ideologi) Islam lebih mulia dari semua ideologi yang ada, tanpa terkecuali. Akan tetapi, Islam dan negara sebetulnya adalah dua kutub yang saling berlawanan satu sama lain. Jikalau kita menilik konsep negara dalam Islam, maka kita tidak akan menemukan sebuah role model dan konsepsi negara itu.
Senada, Gus Dur mengungkapkan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Ada dua penjabaran. Pertama, Islam tidak mengenal pergantian pemimpin. Gus Dur mencontohkan bentuk pergantian pemimpin setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu dengan ditunjuknya Abu Bakar sebagai khalifah dengan sistem musyawarah antar para pembesar kaum muslimin.
Setelah itu, Abu Bakar menunjuk Umar Bin Khattab untuk menggantikannya dan menyuruh kaum muslimin untuk mematuhinya. Setelah itu dibentuk dewan pemilih (ahlul halli wal aqdhi) sesaat sebelum kematian Sayyidina Umar, dan dipilihlah Sayyidina Usman untuk menggantikan tongkat estafet kekhalifahan. Setelah Usman, Sayyidina Ali pun menggantikannya. Pada waktu itu, Abu Sufyan telah mempersiapkan anaknya sebagai pemimpin kaum muslimin, dan dari sanalah awal mula dikenalnya “sistem kerajaan” dalam Islam.
Yang kedua, masih menurut Gus Dur, Islam tidak memberikan konsep yang jelas tentang negara, padahal itu sangat penting dalam pembentukan suatu negara. Ketidakjelasan konsep Negara Islam itu membuat gagasan untuk mendirikannya menjadi tercabik-tercabik. Sebab, para pemimpin Islam pun berbeda-beda pandangan. Gus Dur memberikan contoh tentang kemelut yang terjadi di Iran, Islam versi mana yang akan digunakan sebagai landasan dasar negara, Syiah? atau Islam universal?
Menengok ke Mesir, cikal bakal terjadinya perdebatan sengit antara kaum islamis fundamentalis dengan kolompok sekularis diantaranya adalah perumusan syariat Islam sebagai dasar negara, serta lebih jauh mendirikan negara Islam di bumi kinanah. Kaum islamis yang berafiliasi dalam Gama’ah Islamiyyah pimpinan Syeikh Umar Abdurrahman berani untuk melakukan kekerasan bahkan pembunuhan atas dasar fatwa yang dikeluarkan para ulama mereka. Para ulama mengambil peran untuk menyerang para sekularis dengan tameng agama. Padahal langkah itu sebenarnya untuk menyingkirkan musuh-musuh politik mereka. Ironis.
Farag Fouda
Di antara tokoh yang kuat melawan para islamis ekstrimis ini adalah Farag Fouda yang wafat diberondong tembakan oleh pria bertopeng pada 8 Juni 1992, yang kemudian dikenali sebagai anggota Gama’ah Islamiyyah.
Sebelum meninggal, Farag menghadiri debat terbuka dengan kelompok islamis yang diwakili oleh Muhammad Al Ghozali, Ma’mun Al Hudhaibi, dan Muhammad Imaroh di acara pameran buku di Kairo pada 1992. Mereka berdebat tentang hubungan antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam, dan institusi khilafah.
Dengan kritis, Farag Fouda menyerang setiap sisi dari wacana pembentukan Negara Islam ini. Lebih dalam lagi, ia mulai mempermasalahkan konsep yang akan digunakan. Fouda juga mempertanyakan agenda politik yang akan mereka canangkan, karena agenda itu dapat memberi jalan keluar terhadap berbagai problem. Agenda politik itu semisal sistem pemerintahan dan tata caranya, reformasi di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan juga perbaikan sistem pendidikan, perumahan, dan solusi persoalan-persoalan itu dari sudut pandang Islam.
Farag mengritik, “ Bukankah itu juga termasuk titik kelemahan mendasar yang dihadapi oleh orang-orang yang berbeda pandangan dengan mereka? Mereka tidak memberikan ruang bagi orang lain untuk mengkritik atau menolak keinginan mereka?”
Wawasan tentang Negara Islam memang memiliki banyak kendala dan kelemahan, terutama ketidakjelasan konsep dan kebijakan politik. Mau dibawa ke mana kaum muslimin dan umat manusia setelah terkumpul dan tunduk dibawah panji khilafah? Akankah semakin tercipta perdamaian, atau sebaliknya, perpecahan dimana-mana ?
Bolehlah mengutip Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj. “Khilafah adalah fatamorgana. Semua ormas Islam sudah berkomitmen pada NKRI. Indonesia adalah bentuk negara yang final”. Gus Dur juga mengingatkan, “Bahkan, HTI bersama Wahabi dan Ikhwanul Muslimin berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang umumnya santun dan toleran menjadi wajah garang “.
Masih maukah kita mengikuti agenda politik yang tidak jelas dan tunduk pada doktrin untuk memecah belah keutuhan bangsa? Tulisan yang mengompilasi sejumlah pendapat dan fakta sejarah ini mudah-mudahan bisa menjadi pengingat.