Bumi adalah satu-satunya planet yang memungkinkan ada kehidupan. Sejak terbentuknya 4,5 miliar tahun lalu, bumi dihuni oleh miliaran makhluk hidup dengan beraneka spesiesnya. Mulanya, manusia adalah makhluk biasa diantara sekian banyak organisme lain yang hidup di habitat yang sama. Namun sejak 100.000 ribu tahun silam, ketika revolusi kognitif terjadi, ketika manusia mulai memanfaatkan otak sebagai kekuatan utamanya dan memaksimalkan kreativitas tangannya, semuanya menjadi berubah. Manusia menduduki puncak rantai makanan dan bencana pun dimulai.
Keserakahan dan kebengisan manusia menyebabkan banyak flora dan fauna yang punah, megafauna Australia (45.000 tahun lalu) dan megafauna Amerika (16.000 tahun lalu) adalah contohnya. Ditambah lagi, sejak revolusi pertanian (12.000 tahun lalu) membuka kemungkinan lebar pada kerusakan hutan dan kepunahan massal. Dalam catatan sejarah, kerusakan alam akibat ulah manusia berujung pada terjadinya bencana, yang pada giliranya memusnahkan peradaban manusia itu sendiri. Tak terhitung lagi, berapa banyak peradaban besar manusia yang harus terkubur akibat murka alam.
Salah satu tabiat buruk manusia adalah mereka tidak belajar dari sejarah. Hingga kini kerusakan alam terjadi dimana-mana, bahkan semakin mengerikan. Eksploitasi alam yang berlebihan membuat kita perlu khawatir, apakah bumi akan bertahan di waktu yang akan datang? Apakah nanti anak cucu kita bisa menikmati indahnya alam? Dalam tulisan ini, kami akan mengulas beberapa data kondisi alam hari ini yang diambil dari sumber-sumber terpercaya. Agar lebih emosional, tulisan ini terfokus pada data-data kondisi alam di Indonesia. Tujuannya, semoga kita sadar bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja.
Tangisan Alam Indonesia
Para pembaca bisa melihat fakta dari berbagai sumber, syukur melihat sendiri, bahwa alam kita sedang dalam kondisi krisis dan butuh kesadaran kita semua untuk merawatnya, atau setidaknya tidak mengeksploitasinya secara serakah. Bersumber dari Environment Statistic of Indonesia, berikut kami paparkan kondisi alam di negeri yang terinta ini. Pertama, perubahan iklim ekstrim, hal ini terjadi akibat peningkatan konsentrasi karbon dioksida yang mengakibatkan suhu rata-rata permukaan bumi. Dampaknya, terjadi peningkatan frekuensi bencana, terutama bencana hidrometereologis. Climate change terjadi akibat sampah plastik, kendaraan motor, diforestasi hutan, sistem pertanian yang butruk, dll.
Kedua, kerusakan hutan di Indonesia. Dalam kurun waktu 2011-2018, hutan kita mengalami penurunan, dari 98,7 juta ha menjadi 93,5 juta ha. Penurunan luas hutan dan meluasnya kerusakan hutan, lagi-lagi akibat ulah manusia. Konversi hutan alam menjadi tananaman tahunan dan ladang pertanian, eksplorasi dan eksploitasi berlebihan, pembakaran dan illegal logging, dll adalah sebagian sebab dari kerusakan hutan. KLHK melaporkan tahun 2016-2017 terjadi diforestasi sebesar 0,44 juta ha.
Deforestasi hutan menyebabkan degradasi hutan, dimana terjadi bentuk pemadatan, ketidakseimbangan air, pergerakan, terhalangnya aerasi dan drainase, serta kerusakan struktur tanah. Menurut data KLHK (2019) bahwa total lahan kritis di Indonesia tahun 2018 seluas 14 juta ha. Degradasi ini menjadi sumber bencana sepertu kekeringan, banjir, tanah longsor, sampai kebakaran yang bisa berdampak pada pemanasan global atau meningkatkan Emisi Gas Rumah Kaca.
Dampak dari kerusakan alam di negeri ini luar biasa ngerinya. Pada kurun waktu tahun 2020, BNPB mencatat ada 2.925 kejadian bencana alam. Bencana hidrometeorologi (banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, dan karhutla) terjadi sebanyak 1.065 kali. Sedangkan untuk jenis bencana geologi dan vurkalogi (gempa bumi dan erupsi gunung api) terjadi sebanyak 23 kali. Total korban akibat bencana-bencana tersebut sebanyak 370 korban meninggal, 39 orang hilang, dan 536 jiwa mengalami luka-luka.
Selain mengakibatkan bencana, kerusakan alam juga berdampak pada kesehatan manusia. Forests and Human Health menyatakan kerusakan ekologis memunculkan segudang penyakit seperti; chagas, demam berdarah, virus ebola, virus lassa, malaria, rabies, pes, ochocerciasis, dll. Kemenkes RI menyebutkan bahwa di tahun 2015 karhutla dan kabut asap mengakibatkan 110.133 ribu lebih orang menderita ISPA, 311 kasus pneumonia. 415 kasus asma, 689 kasus iritasi mata, dan 1.050 kasus iritasi kulit.
Tidak hanya kerusakan hutan, Indonesia juga dihadapkan pada persoalan sampah dan polusi. Sebuah penelitian dari Research University of Georgia menyatakan bahwa Indonesia adalah negara ke 2 penghasil sampah plastik terbanyak dunia. Tanpa sadar kita telah menyumbang sampah pada bumi sebanyak 67,8 juta ton per tahun (565.000 ton/hari), dimana 15%-30% terbuang ke sungai, danau, dan laut. Rekor buruk berikutnya adalah Indonesia menjadi negara pencemar polusi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika dan China. Mengerikan bukan?
Kesadaran Bersama
Data di atas adalah secuil dari ribuan problem lingkungan di Indonesia. Tanggungjawab akan kelestarian alam bukan hanya ada di pundak KLHK, dibutuhkan banyak pihak untuk merawat karunia Tuhan ini. Kepedulian terhadap alam harus ditanamkan sejak kecil, sekolah harus menyertakan pendidikan lingkungan hidup dalam kurikulumnya. Dimulai dari hal kecil, membuang sampah pada tempatnya misalnya. Kegiatan menanam pohon, membersihkan pantai, pengelolaan sampah, dll juga bisa dilakukan dalam kegiatan ekstrakurikulernya. Sebisa mungkin, program Sekolah Adiwiyata dapat terlaksana di seluruh sekolah Indonesia, dengan catatan bukan hanya gimmick semata.
Pemerintah juga harus tegas terhadap segala bentuk pengrusakan hutan, dengan menghukum berat para pelakunya. Juga mempertimbangkan kembali segala bentuk kegiatan penambangan yang berpotensi merusak alam, jangan sampai hanya karena alasan ekonomi lalu mengabaikan kelestarian alam. Toh, negara kita pernah rugi 212 triliyun rupiah akibat dari kerusakan hutan. Kepedulian pemerintah terhadap rakyatnya dengan menjaga kelestarian alam harus diutamakan daripada memenuhi pundi-pundi kekayaan para kapitalis.
Berikutnya, para tokoh agama juga turut berperan menyadarkan manusia untuk mencintai dan merawat alam. Karena bagaimanapun, para tokoh agama adalah orang yang dijadikan panutan umat. Jangan sampai umat Islam ini terlalu sibuk membahas yang metafisik dan melupakan yang fisik. Berfikiran melangit namun melupakan kaki yang masih butuh bumi untuk berpijak.
Untuk anak muda. Trend wisata alam sedang marak akhir-akhir ini, kegiatan camping dan hiking mendadak viral. Namun sayangnya, banyak dari kita yang melakukan itu hanya untuk kepentingan pamer di medsos. Pemuda malah menjadi ‘korban’ para industri sebagai market pada produk-produk fashion, alat-alat, hingga makanan untuk kegiatan mengeksplor alam. Perlu dicatat, banyak kegiatan pemuda yang menamakan dirinya pecinta alam malah justru merusak alam itu sendiri, dengan kebisingan dan sampah!
Indonesia, negeri zamrud katulistiwa. Keindahan alam Indonesia yang terdiri dari pesisir pantai, gugusan pulau, barisan pegunungan, dan hijaunya hutan belantara, terlalu sayang untuk dirusak. Keanekaragaman hayati flora nan fauna (389.629 jenis hewan dan 131.371 jenis tumbuhan) adalah karunia Tuhan yang tiada tara. Di tangan kita semua, masa depan peradaban Indonesia. Menjaga alam hukumnya fardhu ‘ain bagi siapa saja yang tinggal di Indonesia!