“Peradaban dibangun dengan perang!” itulah jargon yang dipekikkan oleh Agamemnon, Raja Yunani, beberapa saat sebelum meletusnya Perang Troya. Jargon tersebut dibuktikkan dengan diluluhtankannya Kerajaan Troya. Pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, dan pembakaran, menghiasi perang yang mengorbankan ratusan ribu nyawa tak berdosa.
Dalam kacamata sejarah, perang adalah hal ‘biasa’ yang terjadi di kehidupan manusia. Secara alamiah manusia memiliki sisi kebinatangan, demikian menurut Plato (380 SM) dan Aristoteles (350 SM). Bersama dengan hasrat dan akal budi, kemarahan adalah kemampuan manusia, setiap manusia memiliki potensi untuk melakukan kekerasan. Kemarahan dan kekerasan kolektif pada gilirannya berujung pada perang, bahkan genosida.
Sepanjang sejarah umat manusia, perang -baik berskala kecil atau besar- terjadi berulang kali, entah berapa jumlahnya. Bukti kongkrit adanya peperangan dari sejak zaman pra sejarah adalah musnahnya Homo Neanderthal atas ulah Sapiens karena berebut sumber makanan. Beberapa temuan fosil oleh arkeolog juga menunjukkan adanya kematian manusia akibat kekerasan.
Hasrat menguasai, eksploitasi kekayaan, mitos maskulinitas, serta belum adanya hukum universal, membuat nenek moyang manusia berkubang di lingkaran setan bernama peperangan. Perang Romawi, serbuan Mongol, kolonialisme Barat, Perang Dunia I dan II, pemberontakan brutal Taiping dan Dungan di Tiongkok, dimana menurut Levene dalam Genocide in The Age of The Nation-State, populasi di Tiongkok akibat perang tersebut menurun hingga 60 juta manusia. Yang terbaru, perang antara Israel dan Palestina yang sudah memakan korban 244 orang (saat tulisan ini dibuat). Peperangan yang disebutkan tadi hanya secuil kuku dari sekian juta perang yang pernah dilakukan manusia.
Berikutnya, perang yang berujung pada pemusnahan massal juga sering terjadi di bumi ini. Diantaranya, Pertama, genosida Suku Kelt di Numantia (135 SM), seluruh penduduk Numantia melakukan bunuh diri massal setelah dikepung tentara Romawi selama setahun lebih. Kedua, genosida Imperium Aztek (1519), 550 tentara Spanyol di bawah pimpinan Cortes menghabisi 1 juta orang Aztek. Ketiga, Genosida Suku Asli Tasmania (Abad 18), Selain mengeksploitasi dan memonopoli alam, orang Eropa memburu dan membunuh secara sistematis penduduk asli Tasmania hingga tak tersisa. Keempat, genosida Revolusi Industri (Abad 19), 6-10 juta penduduk Kongo (20% dari populasi) mati di tangan kapitalis Belgia. Masih banyak lagi yang belum disebutkan.
Hukum Rimba Tak Lagi Wibawa
Dilansir dari Internasional Energi Outlook 2010, di tahun 2000 perang menyebabkan kematian 310.000 orang, sementara kekerasan membunuh 520.000 orang. Namun, jumlah itu ‘hanya’ 1,5% dari 56 juta orang yang meninggal di tahun 2000. Di tahun itu, angka bunuh diri mencapai 815.000 orang (1,49%). Sementara dalam Metallurigst ditemukan data bahwa di tahun 2002 dari 57 juta kematian global, ‘hanya’ 172.000 yang meninggal karena perang dan 569.000 mati karena kekerasan. Hal tersebut kontras dengan kematian yang disebabkan oleh bunuh diri, yakni 873.000 orang. Data mengagetkan dilaporkan dalam Global Health Observatory Data Repository, pada tahun 2012, 56 juta orang penduduk bumi meninggal, diantaranya 120.000 disebabkan karena perang dan 500.000 karena kejahatan. Bandingkan, 800.000 mati karena bunuh diri dan 1,5 juta orang meninggal karena diabetes. Saat ini gula lebih mematikan dari bubuk mesiu.
Setelah Perang Dunia II, manusia tidak lagi hidup dalam kegetiran. Perang memang masih terjadi di beberapa tempat, tapi tidak seganas seperti masa-masa sebelumnya. Ketiadaan perang dalam skala besar bukan hanya karena manusia menginginkan kedamaian, melainkan juga karena perang memang tidak menguntungkan, apalagi secara ekonomi. Amerika bisa saja meluncurkan rudal ke China, akan tetapi hal itu tidak lebih menguntungkan ketimbang mereka bekerjasama dalam bisnis tertentu.
Hal yang membuat perang tak lagi diminati adalah ketika hampir setiap negara memiliki alutsista yang canggih, bahkan beberapa negara mempunyai senjata pemusnah massal, nuklir. Ya, nuklir adalah pemersatu. Setelah manusia tahu bahaya dan efek yang ditimbulkan oleh nuklir ketika tragedi Nagasaki dan Hiroshima, manusia berfikir dua kali bila hendak memutuskan perang. Berperang sama halnya dengan bunuh diri bersama.
PR Besar Umat Islam
Disaat dunia mengutuk bersama aksi kekerasan dan perang, Islam justru mendapat sorotan dunia akibat tindak kekerasan dan terorisme yang dilakukan oknum. Pasca Perang Dingin, mayoritas perang adalah perang saudara dan negara Muslim memiliki porsi yang tidak proporsional. Fish dalam Islam and Authoritarianism, menunjukkan data bahwa dari 1994-2008 kelompok Islamis melakukan 3/5 dari 204 pengeboman teroris yang memakan banyak korban di dunia. Sementara, menurut The National Counterterrorism, lima negara teratas yang mengalami serangan terbanyak pada 2011 semuanya adalah negara mayoritas Muslim, yakni; Afganistan, Irak, Pakistan, Somalia, dan Nigeria.
Dalam Global Terrorism Index 2020, disebutkan ranking negara dengan kasus terorisme terbanyak, 7 urutan teratas adalah negara dengan penduduk mayoritas Islam; Afganistan, Irak, Nigeria, Syiria, Somalia, Yaman, dan Pakistan. Sekedar info, Indonesia menduduki peringkat ke-37. Tentunya itu bukan peringkat yang bisa dibanggakan di mata dunia, bahkan boleh dibilang memalukan. Islam yang rahmatan lil ‘alamin justru ditampakkan sebaliknya oleh oknum pemeluknya.
Akibat aksi terorisme, kekerasan, dan konflik internal di negara-negara Muslim, menyebabkan ketertinggalan negara-negara tersebut di berbagai bidang. Sebagai bukti, negara-negara dengan mayoritas Muslim menduduki peringkat rendah dalam Human Development Index. Terang saja hal demikian terjadi, bagaimana mungkin manusia dapat memikirkan tentang kemajuan, jika dalam keamanan saja ia masih tergadaikan.
Ketertinggalan dan kekerasan di tubuh umat Islam dipicu oleh banyak faktor, sebagaimana yang disampaikan dalam penelitian Ahmet T. Kuru, Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment, yakni; pemahaman agama yang tekstualis, ulama konservatif, trauma kolonialisme, otoritarianisme, kepentingan politisi yang menggunakan isu agama, dll.
Tulisan ini tidak akan mengulas sabab musabab di atas secara detail, pun juga tidak akan berdebat bagaimana pemahaman agama seharusnya. Kami hanya mengajak para pembaca untuk berfikir. Setelah belajar sejarah, kita tahu bahwa banyak peradaban yang dulunya berjaya namun kemudian rata dengan tanah. Banyak pula suku, kaum, atau penghuni asli di suatu pulau atau wilayah yang terputus regenerasinya dan kini hanya menjadi kenangan di buku sejarah. Banyak darah mengalir sia-sia, anak menjadi yatim, istri menjadi janda, wanita kehilangan kehormatan karena diperkosa, infrastruktur rata dengan tanah, dan negara menjadi hancur, apa sebabnya? Ya, perang.
Sebaiknya kita pikirkan kemajuan peradaban dengan fokus pada pengetahuan dan diskusi yang produktif. Bukan lagi terjebak perdebatan siapa yang benar dan siapa yang salah. Negara Islam adalah negara yang menjalankan esensi syariat Islam, bukan sebatas simbol-simbol. PR besar kita adalah mengembalikan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Mari kiata curigai segala narasi dan aksi yang membenarkan segala bentuk kekerasan dengan dalih agama. Say no to radicalism!