Tokoh pembaharu kali ini sangat tidak asing di telinga kita. Kecerdasannya, semangat perjuanganya, kepiawaiannya dalam berorganisasi, sumbangsihnya terhadap Nahdlatul Ulama dan pesantren juga pendidikan pada umumnya, serta peran besarnya dalam mendirikan negeri ini, membuat namanya begitu masyhur di Indonesia. Tokoh satu ini di kemudian hari dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Ya, ia adalah KH. Wahid Hasyim, putra ke 5 dari dari pasangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan Nyai Hj Nafiqoh. Lahir di Jombang pada 01 Juni 1914.
Kiai Wahid adalah sosok yang sangat cerdas. Di bawah didikan sang ayah, Kiai Wahid menunjukkan kemampuan luar biasa sejak kecil. Selain ilmu agama yang memang wajib dipelajari di keluarga pesantren, Kiai Wahid dikenal sebagai kutu buku, tidak hanya kitab kuning, ia juga membaca berbagai macam literatur, termasuk buku berbahasa Belanda dan Inggris. Kegemaran membaca inilah kelak mempengaruhi corak berpikir revolusionis Kiai Wahid. Pengetahuan Kiai Wahid jauh lebih maju dan terbuka dibanding pemuda seusianya.
Selain belajar di Pesantren Tebuireng, Kiai Wahid juga nyantri di beberapa pesantren di Jawa seperti Siwalan Panji Sidoarjo, Lirboyo Kediri, dan lain-lain. Kiai Hasyim juga berkesempatan thalabul ilmi di Makkah, selepas ia menunaikan ibadah haji. Didikan hebat ayahnya, pengembaraan intelektual ke berbagai daerah, kegemaran membaca buku lintas keilmuan, dan semangat memerdekakan Indonesia, membuat Kiai Wahid bercita-cita untuk melakukan pembaharuan di berbagai bidang, termasuk pendidikan Islam.
Pesantren Masa Depan
Berbeda dengan pembaharuan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan, dimana ia mendirikan lembaga pendidikan baru yang mengadopsi pendidikan Barat, dengan memasukkan unsur agama. Kiai Wahid berangkat dari khazanah yang ada, ia melakukan modernisasi pesantren dengan tetap memegang pada tradisi. Dengan qaidah al-muhafadzah ‘ala qadimi as-shalih wal akhdzu bil al-jadidi al-ashlah, Kiai Wahid tetap mempertahankan karakter, kultur, budaya, dan keunikan pesantren, sembari memasukkan sistem dan metode baru dalam pendidikannya yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Upaya modernisasi pesantren yang dilakukan Kiai Wahid kala itu banyak mendapat tentangan dari para kiai. Hal tersebut sangat dimaklumi, mengingat konteks hari itu pesantren diharapkan dapat menjadi benteng dari upaya westernisasi dan sekularisasi yang dibawa oleh Barat. Sikap anti kolonial masih sangat menyala waktu itu, bahkan KH. Hasyim sendiri menfatwakan haramnya meniru budaya Barat. Konservatisme dilakukan sebagai bentuk hubbu al-wathan dan upaya melakukan konfrontasi terhadap penjajah. Kiai Wahid memaklumi akan hal itu, namun ia berpandangan lain, bahwa untuk bisa mengalahkan musuh, maka caranya harus mempelajari musuh itu, salah satunya dengan bahasa dan ilmu.
Mengalahkan Belanda yang jauh lebih maju secara ilmu pengetahuan, persenjataan, dan teknologi, tidak cukup hanya dengan ilmu agama dan do’a. Dibutuhkan juga disiplin keilmuan lain untuk membentuk generasi yang cerdas dan terampil di kemudian hari. Oleh karena itu, pendidikan pesantren harus sebaiknya tidak hanya menggarap dimensi afektif saja, namun harus menyentuh ranah kognitif dan psikomotorik. Dalam upaya meningkatkan daya kritis santri, Kiai Wahid memasukkan sistem klasikal yang di pesantren. Berbeda dengan model bandongan, sistem klasikal yang mengedepankan diskusi ini diyakini mampu membuat santri lebih kritis dan aktif.
Kiai Wahid menyadari, bahwa pembaharuan dilakukan tidak harus membuang tradisi yang ada. Pesantren di masa mendatang harus memainkan peran ganda, di satu sisi harus tetap mempertahankan warisan klasik (at-turats al-qadim), sisi lain pesantren juga harus mengikuti modernitas (al-hadatsah). Khazanah keilmuan warisan ulama salaf as-shalih tidak lantas ditinggalkan begitu saja, melainkan harus ditafsirkan dan dikontekstualisasikan dengan realitas. Kiai Wahid mendorong santrinya untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum selain tentunya belajar ilmu agama. Baginya, hukum mempelajari ilmu umum yang fardhu kifayah (sebagaimana yang diutarakan para ulama klasik) harus ditafsirkan ulang kembali. Hal ini diamini para ulama kontemporer di kemudian hari. Kiai Wahid menghendaki santri dan warga NU umumnya, agar dapat berkiprah di masyarakat dalam spektrum yang lebih luas, tidak hanya dalam bidang keagamaan saja.
Bagi Kiai Wahid, Islam tidak mengajarkan adanya dikotomi keilmuan. Karenanya, ia memasukkan keilmuan modern dalam kurikulum pendidikan di Tebuireng. Konteks hari itu, keputusan Kiai Wahid sungguh sangat kontroversi, bahkan dalam penelitian Zamakhsari Dhofier dikatakan bahwa pesantren Tebuireng mengalami penurunan jumlah santri, akibat dari ‘percampuran’ itu. Namun hari ini, kita menyaksikan jasa luar biasa putra Hadratussyaikh ini. Banyak pesantren yang kemudian mengikuti langkah Tebuireng. Kini banyak yang ‘sadar’ bahwa dikotomi keilmuan hanya akan menjauhkan umat Islam dari sains dan teknologi. Pemahaman yang salah akan asketisme dapat ‘memusuhi’ rasionalisme dan intelektualisme.
Selain kurikulum, Kiai Wahid melakukan perombakan pada perpustakaan. Selain koleksi kitab, majalah terbitan Belandan dan kabar dalam negeri ia masukkan disana. Kiai Wahid mendorong para santri untuk gemar membaca, karena dengan membacalah manusia dapat mengetahui dunia. Dengan membaca pula, manusia juga berkesempatan mengenal gagasan dari tokoh hebat yang ada di dunia ini. Membaca adalah suatu keharusan bagi ia yang menghendaki banyak pengetahuan. Membaca berarti berkenalan dengan ide-ide yang mungkin belum pernah terlintas di benak kita. Membaca adalah modal awal bagi perubahan.