Tokoh modernisasi pendidikan Islam berikutnya ialah Muhammad Rasyid Ridha. Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh, gagasan pembaharuannya banyak dipengaruhi oleh tokoh tersebut. Memiliki nama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qamuni al-Husaini. Rasyid Ridha lahir pada 23 September 1865 M di Qalamun, sebuah daerah dekat Tripoli, Lebanon. Keluarga Rasyid Rhida berasal dari Baghdad, kemudian menetap di Qalamun. Tradisi sunni sangat kental di kota ini.
Sejak kecil Rasyid Ridha sudah menunjukkan kecintaan terhadap ilmu, kecerdasan yang dimilikinya menghantarkan ia menguasai beberapa keilmuan dengan cepat. Oleh orang tuanya ia disekolahkan di madrasah tradisional di Qalamun, kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah al-Wataniyah, Tripoli. Di madrasah barunya, Rasyid Ridha mempelajari beberapa bahasa, seperti: Arab, Turki, dan Prancis. Penguasaan terhadap banyak bahasa membuat Rasyid Ridah mampu dengan mudah mempelajari berbagai ilmu. Selain bahasa, Rasyid Ridha juga mempelari ilmu pengetahuan modern seperti ilmu bumi, matematika, filsafat dll. Di Madrasah al-Wataniyah pula, Rasyid Ridha mengenal pemikiran revolusioner Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Di usia mudanya, ia juga belajar dengan banyak ulama’, diantaranya: Syaikh Abdulghani al-Rafi’i, Syaikh Muhammad al-Qawaqiji, Syaikh Mahmud Nasyabah, dll.
Kegelisahan Rasyid Ridha
Adanya pembaharuan pasti diawali akan kegelisahan terhadap realitas, dimana kehidupan tak berjalan dengan semestinya. Dalam konteks zamannya, Rasyid Ridha melihat Islam sedang berada dalam keterpurukan. Semenjak Barat memasuki era renaisance dan aufklarung, peradaban Islam seolah tak berdaya menghadapi percaturan zaman. Hal itu tentunya menggelisahkan para pemikir Islam, tak terkecuali Rasyid Ridha. Baginya, Islam sudah kehilangan ruh. Islam hanya menjadi simbol, hakikat dan esensi dari ajaran Islam telah memudar. Umat Islam tejebak pada nostalgia kejayaan masa lalu, untuk menutupi kebobrokannya di masa kini.
Dominasi Barat atas dunia Islam, membuat muslim hanya menjadi konsumen atas segala temuan-temuan Barat. Kolonialisasi yang dilakukan Barat semakin memperburuk keadaan. Selain terjadi penindasan di berbagai bidang, ideologi Barat seperti: westernisasi, sekuralisme, kapilatisme, hingga atheisme, telah meracuni alur berpikir umat Islam, ketika paham-paham tersebut diterima tanpa filter. Rasyid Ridha melihat umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, dalam menyikapi fenomena tersebut, yakni: Pertama, kelompok puritan. Kelompok ini memahami agama secara tekstualis dan menolak modernisme. Mereka melakukan revivalisme atas ketidakberdayaannya atas dominasi Barat. Kedua, kelompok yang berkiblat dengan kebudayaan Barat. Ketiga, golongan yang menginginkan pembaharuan di tubuh umat Islam, pada kelompok inilah Rasyid Ridha bergabung.
Untuk bisa mengejar ketertinggalan dengan dunia Barat, Rasyid Ridha menawarkan sebuah solusi, yakni reformasi di berbagai bidang, terutama pendidikan. Baginya, pendidikan adalah modal jangka panjang untuk membentuk generasi-generasi tangguh, generasi yang siap sedia ‘bertempur’ dengan persaingan global, bukan generasi yang hanya bisa membebek. Bukan pula manusia yang menyerah pada nasib.
Problem Based Learning
Ada banyak pembaharuan yang dilakukan Rasyid Ridha dalam memodernisasi pendidikan Islam, namun tulisan ini hanya akan membahas salah satunya saja yakni pendidikan berbasis masalah (Problem Based Learning). Problem Based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah yang terjadi di sekitar, sebagai media bagi anak didk untuk belajar tentang cara berfikir kritis, keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Rasyid Ridha menyayangkan model pendidikan tradisonal yang banyak diselenggarakan di zamanya. Pendidikan Islam kala itu lebih mengedapankan metode ceramah, oleh Rasyid Ridho dituduh sebagai biang kemunduran Islam. Metode ceramah membuat anak didik kurang aktif dan belum tentu sesuai dengan minat-bakat anak. Karenanya, pendidikan model lama ini tidak mampu mencetak manusia kritis, yang berakibat pada ketidakpekaan menyelesaikan masalah.
Dalam Problem Based Learning anak diajak untuk belajar menyelesaikan masalah. Caranya, mencari, meneliti, dan mengobservasi problem dan isu yang terjadi di sekitar untuk kemudian didiskusikan bersama, guna dicarikan soulusinya. Tugas guru adalah menemani anak didik untuk mencari jawaban dari masalah-masalah yang dihadapinya. Dengan metode tersebut, anak didik akan memiliki jiwa-jiwa mandiri, serta memiliki kesanggupan untuk menjadi garda depan penyelesaian problematika kehidupan.
Gagasan Rasyid Ridha ini memiliki kemiripan dengan pemikiran para filsuf pendidikan Barat, seperti; Ivan Illich, Neil Postman, dan John Dewey, juga Paulo Freire di Brazil. Kemiripan yang dimaksud adalah bentuk hakikat pendidikan yang digagas para pedagog tersebut, yakni pendidikan yang humanisme, dimana anak didik diletakkan sebagai subyek, bukan obyek. Anak didik dilibatkan dalam permasalahan realitas dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Anak didik dijadikan subjek belajar, subjek yang bertindak dan berpikir. Pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Hal tersebut juga dilakukan oleh pendidik. Jadi keduanya harus saling belajar satu sama lain, simbiosis mutualisme, saling memanusiakan. Hubungan antara keduanya adalah subyek-subyek, obyeknya adalah realitas dunia.
Problem Based Learning sistem pendidikan model baru yakni manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan kenyataan dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Kesadaran akan tumbuh dari pergumulan dengan realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri mereka. Metode ini menekankan bahwa materi pelajaran harus nyambung dengan masalah sehari-hari.
Dari Rasyid Ridha kita belajar, bahwa pendidikan bukan media untuk menabung, dimana guru menanamkan apa saja untuk kemudian harus ditelan, dihafalkan, dan wajib dimengerti oleh anak didik. Siapapun yang mengelola pendidikan sebaiknya disadari bahwa setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, kebutuhan berbeda, bakat berbeda, dan mimpi yang berbeda. Dengan menempatkan anak didik sebagai subyek, ia akan belajar untuk terlibat dalam proses, bukan menanti ‘matangnya’ saja. Tugas pendidikan adalah menemani anak didik untuk menemukan dirinya sendiri, bukan menciptakan robot-robot hanya untuk kepentingan status quo. Dunia berkembang, kita membutuhkan generasi yang mampu berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan merdeka sesuai dengan bidangnya masing-masing.