M. Amruddin Latif
Penulis Kolom

Santri Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam.

Pelopor Modernisasi Pendidikan Islam (1): At-Tahtawi

Whatsapp Image 2020 08 25 At 20.53.40

اِنَّ اللهَ يُبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

(HR. Abu Dawud: 4.291)

Sebagaimana hadits di atas, pembaharuan atau modernisasi adalah sebuah keniscayaan, termasuk dalam dunia pendidikan. Setiap seratus tahun sekali, demikian bunyi hadits, Tuhan akan mengutus orang yang akan memperbaharui agama (pemahaman agama) agar terus relevan dengan zaman.  Pendidikan Islam mengalami perubahan dan perkembangan dari masa ke masa. Setiap perubahan pasti ada sosok yang mempeloporinya. Seri tulisan ini terfokus pada pemikiran-pemikiran para tokoh pembaharu pendidikan Islam abad modern dan usaha mereka untuk membangkitkan peradaban Islam dari keterpurukannya. Tak dipungkiri, bahwa tokoh pembaharu pasti tak lepas dari kontroversi yang melingkupinya, karena memang pemikiran para reformis biasanya melawan mainstream. Ada banyak para pembaharu dalam Islam, namun kita fokuskan pada pembaharu dalam pendidikan, sembari tak mempermasalahkan pikiran-pikiran kontroversinya.

At-Tahtawi dan Perjuangan Emansipasi

Rifa’ah Badawi Rafi’at at-Tahtawi, adalah ulama Mesir yang peduli akan dunia pendidikan Islam. Ia hidup di era kepemimpinan Muhammad Ali Pasha. At-Tahtawi dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang religius, sedari kecil ia sudah rajin mempelajari Al-Qur’an. Di usia ke 16 tahun, ia melanjutkan pendidikannya di Al-Azhar Cairo, di bawah bimbingan Syaikh Hasan al-Attar. Tahun 1824, At-Tahtawi berhasil mendapat gelar master pada Egyptian Army di Mesir. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mesir, ia dipercaya mengajar di Al-Azhar. Dua tahun mengajar di Al-Azhar at-Tahtawi mendapat perintah dari Ali Pasha untuk melanjutkan studinya di Prancis. Lima tahun di Prancis, at-Tahtawi mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini sangat mafhum, mengingat Prancis saat itu berada pada puncak peradabannya, banyak ilmuan hebat yang ada di sana. Ketika ia pulang dari Prancis pada tahun 1832, at-Tahtawi bertekad untuk memajukan Mesir melalui pendidikan.

Baca juga:  Mu'minah binti Bahlul dari Damaskus

Pembaharuan penting yang dilakukan at-Tahtawi dalam dunia pendidikan Islam adalah idenya tentang emansipasi wanita. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus dinikmati semua kalangan, tanpa membedakan status sosial dan gender. Baginya, pendidikan harus bersifat universal. Di Mesir kala itu, wanita menduduki strata sosial di bawah laki-laki. Wanita hanyalah ‘pelengkap’ kehidupan, dimana ia adalah ‘properti’ untuk dimiliki laki-laki. At-Tahtawi menolak pandangan seperti itu, baginya wanita juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Mereka juga harus diperbolehkan untuk menikmati hamparan ilmu dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Bahkan, bagi at-Tahtawi, wanita juga memiliki kewenangan untuk bekerja, sesuai batas kemampuan mereka. Ide tentang emansipasi wanita ini ia tuangkan dalam karyanya al-Mursyid al-Amin al-Banat wa al-Banin.

Kedudukannya sebagai ilmuan dan praktisi pendidikan, membuat at-Tahtawi memiliki kebebasan untuk menerapkan ide-idenya tersebut. At-Tahtawi dipercaya oleh penguasa Mesir untuk memimpin Sekolah Penerjemahan, sebuah lembaga pendidikan di bawah naungan pemerintah. Jabatan ini dimanfaatkan at-Tahtawi untuk memperjuangkan hak-hak wanita, ia memberi kebebasan bahkan mewajibkan wanita untuk sekolah. Pembaharuan yang dilakukan at-Tahtawi di kemudian hari memberikan dampak positif tidak hanya bagi kaum Hawa, melainkan juga terhadap kemajuan Mesir.

Pendidikan tanpa Diskriminasi

Pemikiran at-Tahtawi tentang emansipasi dan pembaharuannya di bidang pendidikan tak lepas dari persinggungannya dengan Dunia Barat. Kemajuan Barat di berbagai bidang, membuat mereka mampu mengendalikan dan mengusai dunia. Banyak fenomena yang berasal dari Barat terus menerus membanjiri Dunia Timur, misalnya: politik, ekonomi, arsitektur, pengetahuan, olahraga, seni dll. Kondisi tersebut tentu menggelisahkan at-Tahtawi, bagaimana Islam mampu mengejar atas ketertinggalannya dengan Barat, jika untuk pendidikan saja masih ada diskriminasi?

Baca juga:  Kiai Ali Maksum, Sumber Inspirasi Kosmopolitanisme Islam Gus Dur?

Ide yang diusung at-Tahtawi adalah pendidikan yang universal, dapat dinikmati oleh siapa saja, karena melalui pendidikanlah manusia dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Sebuah peradaban besar pasti diawali oleh pendidikan. Abbasiyah menemukan puncak kejayaannya, tak lebih karena kepedulian mereka akan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan Barat, untuk mencapai Aufklarung, mereka menempuh perjuangan berat, dengan menggali kembali khazanah nenek moyang mereka, Yunani dan Romawi. Mereka juga belajar dari ilmuwan-ilmuwan muslim, untuk kemudian mereka modifikasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Singkatnya, pendidikan adalah kapital jangka panjang untuk kemajuan suatu bangsa.

Pendidikan dimulai dari lingkup keluarga, peran orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Agar memiliki generasi yang unggul, pendidikan tidak bisa diserahkan kepada guru saja, kemampuan mendidik wajib dimiliki oleh setiap orang tua. Lingkungan keluarga sangat berpengaruh bagi terbentuknya kecerdasan dan karakater anak. Sebagaimana paham strukturalisme, manusia dibentuk oleh lingkungan yang mengitarinya. Bakat manusia dapat dimaksimalkan ketika ia berada di tempat yang mampu mengasahnya. Orang tua adalah pendidik utama setelah Tuhan, bagaimana kualitas manusia sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Dengan demikian peranan orang tua, terutama ibu sangat fundamental.

Pertanyannya bagaimana sebuah bangsa bisa maju, jika pendidikannya kurang berkualitas? Bagaimana pendidikan bisa berkualitas, jika para wanita yang kelak mengasuh anak kurang diperhatikan? Gagasan dan pembaharuan yang dilakukan at-Tahtawi mencerminkan cita-cita akan kemajuan suatu bangsa. Persamaan hak setiap manusia harus diperjuangkan. Ayat ar-Rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’ tidak seharusnya dieksploitasi dan dijadikan pembenaran atas penindasan laki-laki kepada wanita. Pendidikan harus melintas batas, tanpa sekat dan diskriminasi, itulah harapan at-Tahtawi. Gagasan para tokoh emansipatoris seperti; at-Tahtawi, Fatima Mernisi, R.A Kartini, dll. harus terus diperjuangkan. Para wanita juga berhak untuk pendapatkan ‘panggung’ dalam pergulatan sosial.

Baca juga:  Konstruksi Nalar Pesantren dalam Menangkal Radikalisme

Kita patut bersyukur, bahwa dalam praksis hari ini wanita sudah mendapat hak-haknya, sekalipun dalam prosentase yang lebih kecil. Pasal-pasal tertentu dibuat untuk melindungi mereka. Hari ini, para wanita juga dibolehkan untuk menikmati segala jenjang pendidikan dan kebebasan dalam berkarier. Namun perlu dicatat, masih banyak wanita yang belum merasakan kebebasan itu, masih banyak ketidakadilan, penindasan dan pelecehan yang dialami oleh mereka. Masih banyak wanita yang menjadi korban dominasi laki-laki. Itu menjadi PR kita bersama, wanita harus dijaga, dawuh Nabi wanita adalah penopang agama.

Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top