Sedang Membaca
Living Al-Qur’an dan Pesan Kemanusiaan (3): Masa Dinasti Umayyah
M. Amruddin Latif
Penulis Kolom

Santri Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam.

Living Al-Qur’an dan Pesan Kemanusiaan (3): Masa Dinasti Umayyah

Whatsapp Image 2020 05 05 At 2.12.13 Am

Tidak bisa dielakkan, dalam sejarah sebuah peradaban pasti ada tragedi kelam, yakni perebutan kekuasaan yang pada gilirannya terjadi banyak pembunuhan. Hal itu juga terjadi di dua dinasti besar Islam, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Namun, agar tidak keluar dari tema besar, yakni living Al-Qur’an, tulisan ini tidak akan ngerasani itu. Terlalu banyak sejarawan -dengan berbagai motifnya- yang mengulas sisi hitam serta konflik-konflik dari dua kerajaan monarki tersebut. Namun kita kali lebih fokus pada bagaimana Al-Qur’an membawa sebuah peradaban penting dalam Islam, bahkan dunia.

Dinasti Umayyah yang didirikan oleh Mua’wiyah bin Abi Sufyan mencatatkan diri sebagai sebuah kerajaan yang membawa perubahan besar terhadap dunia. Sumbangsih Dinasti Umayyah dari berbagai aspek, memberikan kemaslahatan bagi banyak orang. Administrasi yang rapi, penyebaran Islam ke berbagai penjuru, pembangunan aristektur, kepedulian terhadap kesehatan, penguatan ekonomi rakyat, dan segudang prestasi yang ditorehkan dinasti yang berkuasa sekitar 90 tahun ini.

Sekali lagi perlu diingat disini, ekspansi yang dilakukan umat Islam amatlah berbeda dengan penjajahan. Jika kolonialisme berawal dari sebuah arogansi kekuasaan ambisius, dengan menempatkan hubungan feodalistik dalam daerah jajahan. Umat Islam menjadikan daerah taklukkan sebagai tempat untuk menegakkan kalimat la ilaha illa Allah, pun tanpa paksaan untuk memeluk Islam bagi masyarakat sekitar. Fokus kolonialisme ada pada motif matrealisme, dengan mengeruk kekayaan dari daerah yang dikalahkan. Sementara umat Islam bertanggungjawab atas daerah taklukkan. Mereka melindungi warga daerah taklukkan dari serangan musuh, membangun sistem pemerintahan yang adil, pemerataan ekonomi sesuai syariat Islam, menyelenggarakan pendidikan tanpa dikotomi. Yang dilakukan umat Islam adalah dengan mengacu pada ajaran Al-Qur’an.

Baca juga:  “Ngelmu Syahadat” (1): Kesedihan sebagai Jalan Pengetahuan

Kita ingat sebuah peristiwa besar, saat dimana Thariq bin Ziyad seorang panglima Dinasti Umayyah yang berhasil menaklukkan Andalusia (Spanyol), hingga namanya diabadikan oleh sejarah. Setelah berhasil merebut wilayah Andalusia, Thariq tidak lantas menjarah kekayaan yang ada disana, menjadikan tawanan sebagai budak, atau mendirikan kekuasaan baru untuk memuaskan nafsu. Tidak. Musuh yang sudah menyerah tetap diperlakukan selayaknya seorang manusia. Ia berjanji akan melindungi seluruh warga negara, dengan catatan tidak melakukan pemberontakan dan melanggar hukum.

Di wilayah baru tersebut, Thariq menjalankan pemerintahan di bawah komando Dinasti Umayyah di Damaskus. Berbagai kemajuan dicapai di Andalusia, hingga hari ini masih kita jumpai berbagai peninggalan-peninggalan arsitektur di sana. Selain arsitektur, pendidikan tak luput dari perhatian umat Islam. Tidak sebagaimana bangsa kolonialis, pendidikan yang selenggarakan umat Islam boleh dinikmati siapa saja, tanpa diskriminasi. Banyak dari orang-orang Barat yang belajar kepada ulama-ulama Islam, yang nantinya menelurkan para cendikiawan-cendekiawan baru di kalangan mereka. Sekali lagi, Islam sangat peduli akan kemanusiaan.

Banner Aloya Ramadan

Berikutnya, Dinasti Umayyah juga merupakan awal dari sebuah gerakan keilmuan, banyak ulama-ulama yang lahir di era ini. Demikian pula berbagai cabang ilmu baru yang hasilkan, seperti nahwu, sejarah, bahasa, dan lain-lain. Terlebih di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khalifah terbaik Dinasti Umayyah. Umar menjadi pelopor dimulainya gerakan pembukuan hadits Rasulullah, karena di masa itu banyak berseliweran hadits-hadits palsu yang dibuat oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan tertentu. Pembukuan hadits dilaksanakan untuk menjaga orisinalitas dan validitas hadits. Dalam praktiknya, dibutuhkan penelitian selektif dan mendalam baik terhadap matan maupun sanad, untuk sebuah kepastian bahwa hadits tersebut benar-benar dari Rasulullah.

Baca juga:  Karen Armstrong, Beragama Seharusnya Sebuah Kedamaian

Di era ini pula, Al-Qur’an mulai diberi harakat dan ‘titik’, mengingat semakin luasnya daerah yang menganut agama Islam, dimana tidak semua paham Bahasa Arab. Menurut hemat kita, gagasan tersebut sangatlah cerdas, bisa dibayangkan betapa susahnya umat Islam yang datang di kemudian hari ketika dihadapkan pada Al-Qur’an ‘gundulan’. Melalui jasa Umar bin Abdul Aziz, Al-Qur’an hidup sampai hari ini.

Aktualisasi Al-Qur’an memberikan sebuah dampak positif bagi kemajuan peradaban. Al-Qur’an bermuatan pada ajaran-ajaran mulia yang barangsiapa memegang teguh niscaya ia akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat. Dinasti Umayyah telah membuktikan itu. Berbagai kemajuan yang telah diraih tak lepas dari penghayatan nilai-nilai Al-Qur’an. Semangat dalam menghidupkan agama Allah di bumi-Nya, memberikan dampak positif terhadap manusia. Ketika agama tidak hanya dipahami sebagai ritual ibadah saja, maka agama mampu menjawab problematika kehidupan yang kian hari kian kompleks. Agama akan tetap eksis di tengah kehidupan yang terus dinamis. Dan Al-Qur’an akan terus mengilhami sanubari setiap insan untuk memiliki jiwa sosial yang tinggi. Insan yang berjuang untuk memerdekakan manusia dari setiap tindakan diskriminasi. Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top