KH. Ahmad Musthofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus merupakan sosok manusia hibrid, walaupun tumbuh kembang dalam lingkungan tradisionalis namun beliau tidak sungkan bercengkrama dengan dunia luar, termasuk di dalamnya yaitu dengan keihlasan dirinya dalam menggeluti dunia sastra utamanya puisi yang sudah dimulai sejak awal dekade 80an atau tepatnya tahun 1982.
Dalam riwayat hidupnya Gus Mus pertama kali berhasil manggung dalam jagat persyairan Indonesia yaitu di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 1982 lewat sentuhan tangan dingin dari seorang Gus Dur. Kala itu Gus Dur meminta dirinya untuk tampil membacakan puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada “Malam Solidaritas untuk Palestina” bersama para begawan syair Indonesia, mulai dari Taufiq Ismail, Wahyu Sulaiman Rendra atau akrab disapa WS. Rendra, hingga Subagyo Sastrowardoyo. Lewat penampilannya pada “Malam Solidaritas untuk Palestina” 40 tahun silam tersebut ahirnya mengantarkan Gus Mus menjadi salah satu sosok penyair pilih tanding di jagat persyairan Indonesia.
Jika meminjam istilah dari Fariz Alnizar, Gus Mus merupakan sosok kiai yang penyair sekaligus ulama yang pemikir. Maka menjadi maklum, jika katalog beliau begitu sangat komprehensif sehingga mampu menghasilkan magnum opus puisi yang begitu stylistik yang bisa dinikmati, diresapi dan dihayati oleh semua kalangan tanpa harus mengernyitkan dahi dalam-dalam, termasuk di dalamnya yaitu para elite pemerintahan yang kerap kali disinggung oleh Gus Mus lewat sentilan-sentilan dalam bait-bait puisinya.
Salah satu magnum opus dari puisinya Gus Mus yaitu sebuah puisi yang diberi judul: Aku merindukanmu, O, Muhammadku. Jahitan bait-bait puisinya begitu sangat relevan dengan kahanane zaman, termasuk zaman 4.0 ini yang semua serba digital namun di dalamnya cukup banyak menyimpan duka nestapa yang diakibatkan oleh keserakahan para tangan-tangan oligarki.
Untuk menghayati kembali magnum opus puisinya Gus Mus tersebut saya tuliskan kembali bait-bait puisinya yang saya sadur langsung dari buku antalogi puisi yang berjudul O Muhammadku! Puisi Cinta untuk Nabi yang dieditori oleh Jalaluddin Rahmat serta dibesut langsung oleh Muthahhari Press (2001). Semoga bermanfaat.
Aku merindukanmu, O, Muhammadku
Oleh: A. Mustofa Bisri
Aku merindukanmu, o, Muhammadku
Sepanjang jalan kulihat wajah-wajah yang kalah
menatap mataku yang tak berdaya
sementara tangan-tangan perkasa
terus mempermainkan kelemahan
air mataku pun mengalir mengikuti panjang jalan
mencari-cari tangan
lembut-wibawamu
Dari dada-dada tipis papan
terus kudengar suara serutan
derita mengiris berkepanjangan
dan kepongahan tingkah-meningkah
telingaku pun kutelengkan
berharap sesekali mendengar
merdu-menghibur suaramu
Aku merindukanmu, o. Muhammadku
Ribuan tangan gurita keserakahan
menjulur-julur ke sana ke mari
mencari mangsa memakan korban
melilit bumi meretas harapan
aku pun dengan sisa-sisa suaraku
mencoba memanggil-manggilmu
O, Muhammadku, O, Muhammadku!
Di mana-mana sesama saudara
saling cakar berebut benar
sambil terus berbuat kesalahan
Qur’an dan sabdamu hanyalah kendaraan
masing-masing mereka yang berkepentingan
aku pun meninggalkan mereka
mencoba mencarimu dalam sepi rinduku
Aku merindukanmu, O, Muhammadku
Sekian banyak Abu Jahal Abu Lahab
menitis ke sekian banyak umatmu
O, Muhammadku – salawat dan salam bagimu –
bagaimana melawan gelombang kebodohan
dan kecongkakan yang telah tergayakan
bagaimana memerangi umat sendiri?
O, Muhammadku
Aku merindukanmu, o, Muhammadku
Aku sungguh merindukanmu.