Setelah menemukan ibu dan adiknya tersebut, Gus Mus pun melaksanakan thawaf di Masjidil Haram bersama ibu dan jamaah lainnya. Dengan mengemban predikat sebagai staf Kedubes Gus Mus yang juga merangkap jabatan sebagai muthawif (pendamping jamaah haji) akhirnya Gus Mus berangkat ke Masjidil Haram bersama rombogan yang dibimbingnya.
Namun demikian nampaknya Gus Mus merasa kerepotan ketika memasuki Masjidil Haram, karena sandal para jamaah yang dibimbingnya termasuk ibundanya tersebut akan ditaruh di mana. Ide brilian muncul dari dari rongga kepala Gus Mus agar sandal para jamaah yang dibimbingnya untuk ditaruh di salah satu sudut Masjidil Haram.
Gus Mus beranggapan bahwa tempat tersebut aman untuk menaruh sandal para jamaah yang dibimbingnya selama melaksanakan tawaf, karena Gus Mus sendiri sudah terbiasa menyimpan sandal di tempat tersebut. Bahkan Gus Mus pun menganjurkan agar sandal para jamaah ditaruh secara selang seling.
Namun demikian teguran dari Allah SWT pun datang menghampiri Gus Mus, pasalnya setelah melaksanakan tawaf hanya sandal ibundanya saja yang ditemukan, sandal jamaah lainnya termasuk sandal sang adik raib dari sudut masjidil haram tersebut.
Bak tersambar petir di siang bolong, Gus Mus yang begitu optimis bahwa sudut masjidil haram tersebut aman untuk menaruh sandal merasa terkejut atas kejadian tersebut, Gus Mus merasa diwelehke oleh Tuhan.
Sejak kejadian tersebut Gus Mus merasa “kena mental”, dan tidak lagi berani berjanji atau memutuskan sesuatu yang bukan menjadi kewenangan dirinya.
Berdoa Minta Duit
Setelah proses panjang misi pencarian sang ibu dan adiknya selesai yang bersamaan juga dengan selesainya pelaksanaan ibadah haji 1389 H Gus Mus pun merasa kebingungan, bagaimana caranya agar bisa kembali ke Caairo, Mesir. Pasalnya uang saku hasil menjadi petugas musiman di Kedubes RI sudah habis untuk wira–wiri Mekah-Madinah mencari sang ibu dan adiknya tersebut.
Di sisi lain, keberangkatan Gus Mus ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji juga dibersamai sejuta amanah dari teman-temannya di Cairo yang menitip sesuatu kepada dirinya, sebagian sudah ada yang memberikan uang kepada dirinya, dengan kata lain selain menjadi tenaga musiman sebagai staf Kedubes RI, Gus Mus juga open jastip kepada rekan-rekannya.
Gus Mus dihadapkan dengan persoalan yang cukup pelik, dilema besar menyelimuti rongga dadanya. Gus Mus bisa saja pulang ke Mesir tapi tidak membawa oleh-oleh untuk teman-temannya karena uangnya telah habis dalam misi pencarian ibu dan adiknya tersebut. Namun demikian Gus Mus cukup realistis, untuk menyelesaiakan perkara kehabisan bekal tersebut ahirnya pilihan pun jatuh pada sebuah cincin pemberian sang ibu yang beliau kenakan untuk dijualnya demi menutupi kekurangan yang ada.
Saat itu Gus Mus membutuhkan sekitar 300 Riyal-an untuk menutupi kekurangan yang ada. Namun demikian setelah ditawarkan ke pedagang di sana cincin miliknya hanya ditawar 100 Riyal. Gus Mus pun memutar otak, sejurus kemudian beliau meminta bantuan kepada seorang mukimin. Gus Mus berpikir jika yang menjual seorang mukimin mungkin harganya akan relatif lebih tinggi dibandingkan tawaaran dirinya. Namun ternyata setelah ditawarkan ke sana ke mari cincin tersebut hanya laku sekitar 200-an Riyal.
Untuk ke sekian kalinya Gus Mus dilanda kebingungan, setelah sempat kebingungan ke sana ke mari mencari ibu dan adiknya, kini beliau dihadapkan pada kebingungan bagaimana caranya untuk mendapatkan uang senilai 300 Riyal, sementara cincin miliknya hanya mampu megangkat pada angka 200 Riyal. Gus Mus pun teringat dengan doa sepele yang pernah beliau panjatkan di padang arafah ketika hopeless kebingungan mencari ibu dan adiknya.
Ingatan tersebut pada ahirnya menghantarkan Gus Mus untuk berdoa meminta duit kepada Allah SWT. Baginya tidak ada salahnya persoalan sepele seperti halnya berdoa minta duit itu diwadulkan kepada Allah SWT. Sejurus kemudian Gus Mus berdoa meminta duit kepada Allah SWT untuk menutupi segala kekurangan yang ada. Dan ndilalah (biidznillah) ternyata doa tersebut dikabulkan juga oleh Allah SWT lewat wasilah seseorang sewaktu Gus Mus berada di Jabal Qubas.
Kala itu Gus Mus sedang jalan-jalan di Jabal Qubas, di tengah perjalanan beliau dihentikan oleh seseorang yang tidak dikenalinya. Usut punya usut orang tersebut begitu tertarik dengan cincin yang beliau kenakan.
“Cincin Anda menarik sekali” tanya orang tersebut kepada Gus Mus
“Oh, ini cincin pemberian ibu” jawab Gus Mus dengan nada tenang
“Kalau saya beli 300 Riyal cukup?” ujar kembali orang tersebut membuka penawaran cincin kepada Gus Mus.
Mendengar cincinnya ditawar 300 Riyal tersebut Gus Mus hanya diam saja.
“400 Riyal cukup” tawar kembali orang tersebut.
Mendengar tawaran 400 Riyal tersebut Gus Mus kembali diam saja.
“500 Riyal cukup?”
Kembali orang tersebut menawar cincin yang Gus Mus kenakan.
Mendengar tawaran 500 Riyal tersebut Gus Mus kembali diam saja.
“600 Riyal cukup?”
Tawar kembali orang tersebut di angka yang cukup fantastis yaitu 600 Riyal.
Mendengar tawaran 600 Riyal tersebut Gus Mus masih diam saja. Namun sejurus kemudian Gus Mus tersadar bahwa tawaran di angka 600 Riyal tersebut sudah hampir dua kali lipat dari yang beliau butuhkan, jika diteruskna orang tersebut akan menawar dengan harga yang lebih tinggi lagi.
Dalam kacamata Gus Mus tawaran yang lebih tinggi tersebut akan membuat dirinya berdosa, dan baginya mendapat uang dua kali lipat dari yang diharapkan itu juga berdosa. Sejurus kemudian secara spontan Gus Mus menghentikan tawaran tersebut.
“Cukup” ujar Gus Mus menyudahi aksi tawar menawar cincin tersebut.
Ahirnya cincin pemberian ibunya tersebut pun dilepas di angka 600 Riyal, dan Gus Mus pun merasa bungah karena terbebas dari persoalan kekurangan uang untuk pulang dan membeli oleh-oleh untuk teman-temannya yang beraada di Cairo, Mesir.
Untuk kesekian kalinya doa Gus Mus terkabul, dan ahirnya Gus Mus bisa kembali ke Mesir dengan perasaan yang tenang dengan membawa koper yang penuh dengan “jastipan” teman-temannya yang berada di Cairo, Mesir.
Itulah kisah perjalanan ibadah haji dari KH. Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus 52 tahun silam yang penulis nukil dari “kitab” Haji Sebuah Perjalanan Air Mata (Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh) karya Mustofa W. Hasyim & Ahmad Munif, (Yogyakarta: Bentang, 1993).
Selamat menjalankan ibadah haji bagi umat Islam menunaikannya, semoga menjadi haji yang mabrur. Mudah-mudahan yang tahun ini belum berkesempatan berangkat ke baitullah, semoga dimudahkan jalannya agar tahun depan bisa berangkat ke baitullah. Amin…
Selamat hari raya Iduladha 10 Dzulhijjah 1443 H taqaballahu minna wa minkum wa taqobal ya karim mohon maaf lahir dan batin.