Pada Oktober lalu, hati saya teriris ketika membaca sebuah berita menyedihkan tentang seorang anak berusia 15 tahun, mari kita sebut saja Ana, di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan Ana, yang merupakan korban, kini telah melahirkan seorang bayi. Hal lain yang mengiris hati saya adalah, kasus kekerasan seksual tersebut berakhir dengan pelaku membayar denda adat senilai 10 juta rupiah.
Dikutip dari kupang.tribunnews.com, informasi dari penyidik mengatakan bahwa pelaku telah membayar denda sebesar 10 juta rupiah sesuai kesepakatan dengan ibu kandung Ana. Pihak Polres Manggarai Timur juga mengaku mengalami kesulitan dalam menangani kasus tersebut karena telah beberapa kali meminta Ana untuk menjalani pemeriksaan namun yang bersangkutan tidak pernah memenuhi panggilan dari penyidik kepolisian setempat.
Sementara kabar mengenai langkah apa yang akan atau telah dilakukan keluarga atau pihak-pihak terkait di Manggarai Timur perihal pendampingan dan pemulihan lanjutan bagi Ana masih tidak terdengar. Sungguh sangat disayangkan apabila kasus tersebut hanya berakhir dengan ‘transaksi’ denda sepuluh juta rupiah saja. Padahal sebagai korban, Ana seharusnya mendapatkan pendampingan intensif dari psikolog dan juga dokter demi memulihkan kondisinya.
Seperti Apa Kendala yang Dihadapi di Daerah?
Ana adalah salah satu korban kekerasan seksual di daerah, yang tidak atau belum mendapatkan pendampingan dan pemulihan yang sebenarnya menjadi haknya. Ana tinggal di daerah di mana akses pendampingan dan pemulihan korban masih sangat terbatas. Keterbatasan tersebut meliputi keterbatasan akses informasi dan pengetahuan mengenai pentingnya serta langkah-langkah yang tepat dalam pendampingan dan pemulihan, keterbatasan fasilitas layanan pendampingan hingga keterbatasan psikolog dan dokter yang memiliki kapabilitas untuk mendampingi korban kekerasan seksual.
Dari berbagai diskursus wacana mengenai kekerasan seksual baik yang terjadi baik pada anak, perempuan, laki-laki maupun gender lainnya, hal yang sering luput dibahas adalah mengenai pendampingan korban pasca kejadian. Saya sempat membaca juga sebuah artikel mengenai pendampingan dan pemulihan terhadap 59 anak korban kekerasan seksual di Kabupaten Sukabumi. Pendampingan tersebut diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Mungkin persoalan seperti keterbatasan psikolog dan dokter dalam pendampingan korban kekerasan seksual tidak begitu relevan di wilayah-wilayah besar di Indonesia yang justru memiliki tenaga ahli, fasilitas hingga akses yang memadai. Namun, bagaimana di daerah-daerah pinggiran di Indonesia yang sangat terbatas perihal akses, psikolog dan dokter?
Manggarai sendiri merupakan salah satu daerah di NTT yang memang memiliki kendala yang menghambat upaya penanganan kasus kekerasan seksual di wilayah tersebut. Kepala Dinas P3A Kabupaten Manggarai, Silvanus, mengatakan bahwa pihaknya mengalami banyak kendala selama menangani kasus kekerasan seksual hingga pendampingan dan pemulihan korban. Beberapa di antaranya adalah kendala akses transportasi yang kerap tidak bisa menjangkau desa dan kecamatan dengan topografi yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan kecil.
Sementara kendala cukup serius yang menghambat langkah pendampingan dan pemulihan korban kekerasan seksual di Manggarai adalah kurangnya tenaga ahli psikolog, psikiater dan dokter untuk membantu percepatan penanganan kasus.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk membuka akses informasi dan pengetahuan masyarakat daerah mengenai urgensi serta bagaimana langkah pendampingan yang tepat, perlu dilakukan sosialisasi secara lebih masif kepada masyarakat di daerah. Harus diakui bahwa dalam masyarakat kita, masih kerap dijumpai anggapan bahwa kasus kekerasan seksual, perkosaan adalah sebuah aib. Masih cukup banyak yang menganggap bahwa korban perkosaan jadi tidak berharga lagi, korban adalah aib keluarga, jika membuka mulut tentang kekerasan yang dialami, maka itu sama saja dengan membuka aib sendiri.
Oleh karena itu, untuk melawan stigma dan anggapan negatif seputar kasus kekerasan seksual tersebut, perlu diadakan sosialisasi yang jauh lebih masif dan intens. Sosialisasi tersebut idealnya dilakukan oleh tenaga ahli yang memang kompeten di bidang tersebut agar kepercayaan masyarakat juga terjaring. Namun, jika tenaga ahli seperti psikolog, psikiater hingga dokter saja masih terbatas, bagaimana bisa akases dibuka?
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten Manggarai sendiri mengakui bahwa kekurangan psikolog dan dokter telah menjadi hal penghambat yang membuat langkah pendampingan semakin seret. Telah diresmikannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang (UU) pada Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 menjadi salah satu payung hukum yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi kekerasan seksual. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa UU TPKS masih belum bisa sepenuhnya diimplementasikan, terutama di daerah-daerah di Indonesia dengan keterbatasan akses seperti dipaparkan di atas.
Oleh karenanya, pemerintah pusat perlu lebih gencar lagi dalam memeratakan akses, fasilitas dan penambahan jumlah personil psikolog dan dokter di daerah. Upaya penanganan, pencegahan, pendampingan serta pemulihan korban kekerasan tidak boleh hanya gencar dilakukan di kota-kota besar saja. Pemerintah harus lebih memperhatikan kebutuhan daerah terkait pendampingan pemulihan korban. Dinas atau pemerintah daerah terkait juga bisa menjalin kerja sama dengan Himpunan Psikologi Indonesia atau HIMSI untuk mendatangkan psikolog dan psikiater untuk mendampingi pemulihan korban kekerasan seksual.
Pemerintah daerah juga perlu mengidentifikasi kebutuhan di daerahnya masing-masing. Jika pos-pos kebutuhan sudah teridentifikasi, maka akan mempermudah langkah selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Memang perlu pengertian dan kerja sama dari berbagai pihak untuk menyiapkan daerah agar siap menangani serta mendampingi korban kekerasan seksual. Dengan demikian, cita-cita agar daerah di Indonesia siap menangani dan mendampingi pemulihan korban kekerasan dapat diwujudkan.