Datang dan menikmati suasana Sanggar Anak Alam (SALAM) di kampung Nitiprayan Bantul, saya merasakan cara pikir dan semangat dalam mengelola aktifitas pendidikan yang sulit ditemukan di tempat lain. Kesederhanaan adalah kesan pertama. Selanjutnya kesan tentang kesungguhan komunitas ini menyelenggarakan pendidikan yang memerdekakan manusia. Pendidikan semacam apa?
Saya berusaha mendapatkan dasar-dasar pemikiran di balik kata ‘pendidikan yang memerdekakan manusia’ yang sering saya dengar ini.
Model pendidikan yang memerdekakan memiliki beberapa dasar pemikiran. Pertama, proses pendidikan harus beranjak dari kondisi alamiah atau kondisi kodrati manusia sebagai subyek pendidikan. Kondisi kodrati atau dalam istilah sehari-hari disebut bawaan genetik tiap orang berbeda-beda, maka sebuah upaya untuk mendidik, atau menumbuhkembangkan potensi kodrati itu mestinya juga tidak diseragamkan untuk tiap orang. Yang mungkin adalah model yang menempatkan keunikan tiap peserta didik sebagai kenyataan yang harus dipandang sebagai hal yang bermanfaat untuk tugas hidup yang bersangkutan. Untuk itu perlu desain pembelajaran dengan metode atau strategi yang mengakomodir keragaman setiap individu peserta didik.
Penyeragaman dalam proses pendidikan sepintas memberi kesan proses yang efisien: dari sisi waktu, tenaga dan tidak membutuhkan upaya keras dari pendidik karena menggunakan satu cara yang sama.
Tetapi pendidikan bukan aktifitas ekonomi yang sewajarnya menggunakan logika efisisensi sebagaimana dalam aktifitas ekonomi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Lebih tidak relevan lagi ketika ada anggapan bahwa kondisi kemanusiaan diharapkan, ‘dapat dibentuk oleh sistem’. Pengandaian ini tidak memerdekakan, maka peserta didik didudukan sebagai subyek yang mendapat kesempatan menentukan pertumbuhannya sendiri secara unik. Pendidikan yang memerdekakan merealisasikan keunikan indivdu dan proes pendidikan menjadi upaya membantu tiap orang untuk siap menjalankan tugas hidup masing-masing yang berbeda-beda
Kedua, ada optimisme bahwa manusia telah disiapkan oleh alam untuk mampu menjadi subyek atas hidupnya. Jiwa manusia akan menuntun pada pencarian pengetahuan yang relevan, menggali pemahaman dan penyadaran tentang nilai baik-buruk, benar-salah, indah-tidak indah, selama ia menjadi dirinya sendiri. Pendidikan yang memerdekakan menjadi upaya bersama untuk menjamin kesempatan pada jiwa-jiwa muda untuk mendapatkan apa yang diminati, apa yang ingin mereka ditekuni sesuai bakat, minat dan potensinya sebagai bekal untuk hidup secara bertanggung jawab.
Ketiga, “Anak-anak adalah maha guru bagi dirinya sendiri”, demikian menurut mba Sri Wahyaningsih pendiri Sanggar Anak Alam. Lalu bagaimana dengan tugas guru atau pendidik? Guru menjadi pamong, menjadi fasilitator, yang digambarkan oleh Sokrates menjadi pihak yang berperan seperti seorang bidan yang membantu proses persalinan. Oleh karena itu meski peserta didik di Sanggar Anak Alam ini dapat mengikuti ujian penyetaraan A,B,C, (bila mereka ingin melanjutkan belajar di tempat lain) tapi dalam pengelolaan pendidikannya tidak ada kurikulum tunggal. Kurikulum menjadi sangat personal yang disepakati bersama antara peserta didik, wali murid dan fasilitatornya.
Pendidikan yang memerdekakan tidak mengenal istilah ‘mencetak manusia bla bla bla…’, karena manusia bukan barang yang bisa diformat. Potensi kemanusiaan terlalu berharga dan mulia untuk ‘diformat’ oleh sebuah kurikulum yang mengandaikan bahwa semua peserta didik dapat dimasukan dalam proses yang seragam tanpa mempertimbangkan keunikannya.
Pendidikan yang memerdekakan memandang ilmu pengetahuan harus dibangun integral dalam membiasakan tindakan bertanggung jawab, karena kebebasan diperuntukan bagi sebensar-besar tanggung jawab pada kehidupan. Sementara manusia memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda, maka mendidik dengan cara seolah semua peserta didik sama dalam potensi maupun kecenderungannya, bisa jadi membuat sebagian dari mereka di masa yang akan datang tidak dapat memenuhi tanggung jawab sesuai perannya, karena potensi kodrati mereka yang unik tidak mendapat ruang pertumbuhan yang semestinya.
Merenungi praktik pendidikan di Sanggar Anak Alam (SALAM) mengingatkan saya pada model pendidikan pesantren tradisional. Ada semangat dan beberapa praktik yang bersesuaian pada dua model pendidikan ini.
Pesantren tradisional umumnya tidak dikelola dengan sistem klasikal. Kurikulum dapat dikategorikan bersifat personal, karena tiap santri selain mengaji kitab bersama-sama juga mendapatkan ‘kurikulum’ yang bersifat personal tergantung proses pertubuhan pedewasaan dalam menyerap ilmu.
Metode sorogan dalam membaca kitab klasik maupun membaca Alquran adalah contoh praktik pembelajaran yang bila dicermati terkait dengan cara pandang bahwa setiap santri itu unik, tidak dapat disamakan prosesnya satu dengan yang lain.
Pada metode sorogan, santri memilih sendiri kitab (atau disarankan untuk mempelajari kitab sesuai minat dan prosesnya belajarnya) yang akan dibaca di depan Kyai atau guru sebagai pembimbing dalam proses penyerapan dan pengembanan ilmu santri.
Dalam model penddikan pesantren tradisional, belajar suatu bidang ilmu tidak dipahami sebagai penguatan intelektual semata, meliputi juga proses pembatinan, atau dalam istilah pendidikan jaman sekarang disebut belajar dengan penuh kesadaran (mindfulness). Salah satu pengingat untuk menyadari dengan penuh misalnya anjuran agar selalu ‘punya wudu’. Penyerapan dan pengembangn ilmu diintegrasikan dalam kehidupan santri. Karena mengakomodir potensi dan proses belajar santri yang berbeda-beda, maka sistem kelas tidak digunakan di sini.
Evaluasi belajar juga bersifat orang-per orang dan bagaimana laku hidup menjadi lebih bijaksanan karena ilmu itu. Sampai batas apa proses belajar santri pada model pendidikan ini, meski peran pertimbangan Kyai sangat kuat, tetapi santri memiliki keleluasaan untuk terus belajar, pindah pesantren, berumah tangga sambil mengabdi atau pulang ke rumah dan lain-lain.
Praktik pendidikan di SALAM dan pesantren tradisional mencerminkan pendidikan yang memperhatikan berbagai dimensi kemanusiaan dalam keunikan martabatnya. Inilah model-model pendidikan yang lahir dari khasanah budaya nusantara, yang juga telah menginspirasi beberapa pemikiran pendidikan Bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
Namun perubahan sulit dielakkan. Negara sebagai penanggung jawab pengelolaan sistem pendidian nasional, mendesakkan idiologi pendidikan modern pada semua lembaga, termasuk pesantren. Pada saat yang sama, ada kebutuhan akan pengakuan dari sebagian masyarakat pendukung pendidikan pesantren terkait kompetensi lulusan pesantren, baik untuk pentingan sosial, pendidikan lanjut maupun pemenuhan lapangan pekerjaan.
Pesantren-pesantren tradisional mulai menghadirkan model pendidikan modern dengan sistem kelas, mengadopsi kurikulum yang dibuat oleh negara agar mendapatkan ijazah dari Departemen agama atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sambil tetap mempertahankan beberapa model pembelajaran khas pesantren yang sudah menjadi tradisi.
Di luar dunia pesantren, secara umum proses pendidikan dalam budaya bangsa yang semula sangat mempertimbangkan proses, bergeser lebih berorientasi pada hasil, efisiensi dan lapangan pekerjaan, yang selanjutnya hasil pendidikan pun diukur dengan berbagai sertifikasi. Pada beberapa kasus, proses pendidikan tereduksi menjadi pengajaran atau semata transfer pengetahuan saja, minim penyadaran yang perlahan-lahan makin dianggap kurang efisien. Di luar dua model pendidikan ini, bahkan Ijazah dan sertifikasi menjadi tujuan utama, bukan lagi untuk mengembangkan diri dan mampu mengartikulasikan ilmu untuk menjawab persoalan kehidupan.
Saya mengamati peminat pendidikan ala SALAM makin diminati di banyak kalangan, tidak hanya di daerah asal di Jogja. Di daerah lain seperti di Cirebon, Malang, Kudus dan lain-lain, juga diminati. Mengapa?
Perlu penelusuran lebih jauh, namun, kita telah merasakan sikap kritis pada kebijakan pendidikan makin tumbuh di masyarakat. Barangkali, ini seiring kesadaran masyarakat yang makin kuat, bahwa revolusi industri 4.0 telah mengubah banyak hal dalam pola relasi dalam masyarakat, termasuk dalam dunia pendidikan di mana sumber belajar sangat melimpah yang memungkinkan generasi saat ini belajar dan mendapatkan pengetahuan dari dalam kamarnya. Karena itu lembaga-lembaga pendidikan yang mereka cari adalah yang sungguh-sungguh dan konsisten dalam membangun karakter pribadi yang otentik, bukan sekedar soal keunggulan koginitif yang dapat dipenuhi sendiri. Nah bagaimana kalangan pesantren dan masyarakat pendukung pesantren menyikapi pergeseran dalam revolusi pengetahuan saat ini dalam dunia pendidikan?
September 2019 kemarin, DPR mengesahkan Undang-undang tentang pesantren. Ada beberapa hal yang perlu dicermati terkait kehadiran peran negara, dalam hal ini agar ruh model pendidikan warisan budaya bangsa dengan keuanggulannya tetap dipertahankan atau bisa ditransformasikan.
Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam Undang-undang Pesantren ini, misalnya tentang syarat pendirian pesantren (pasal 6), penyelenggaraan pendidikan pesantren (pasal 24), penjaminan mutu pesantren (pasal 30). Pencermatan ini penting, karena kebutuhan pendididikan di era sekarang ini harus berangkat dari kondisi kemanusiaan yang ada agar dapat mengantar generasi muda menjadi diri yang otetik di tengah berbagai tantangan jaman.
Singapura tahun 2018 telah mengubah paradigma pendidikan mereka menjadi lebih perhatian pada dimensi-dimensi kemanusiaan ini, mementingkan komunikasi, kerjasama dan berjejaring, bukan persaingan. Perubahan paradigma sebagai respons terhadap perubahan jaman. Suatu pemikiran pendidikan yang sebenarnya sudah ada dalam model pendidikan budaya kita, model pendidikan yang mendapat predikat tradisional.
Bagaimana menjawab tantangan agar hal-hal baik dari masa lalu dapat tetap dipertahankan tanpa menutup diri dari pembaharuan yang dibutuhkan?