Ada sebagian masyarakat kita berpandangan bahwa usaha menempuh pendidikan hanya sebatas untuk naik kelas, dalam pengertian level pendidikan maupun dalam tujuan jangka panjang agar kelas sosialnyan naik. Misalnya dapat dilihat dari ungkapan yang sering kita dengar dalam percakapan, “Belajarlah, agar menjadi orang?” Dan bagaimana masyarakat memaknai kata ‘orang’ di sini?
Bila diamati dalam ekspresi dan ucapan-ucapan, ternyata ‘menjadi orang’ umumnya dimaknai sebagai orang yang mempunyai pekerjaan mapan, penapilan rapi, memiliki rumah dan mobil bagus, atau berbagai hal terkait kepemilikan lain. Dan apakah kultur kita memiliki pandangan bahwa orang yang tidak memiliki hal-hal (belum layak) menjadi orang?
Barangkali ini masuk kecenderungan umum terkait moralitas yang tidak otonom dan bergantung pada materi. Ini bisa diuji dari bagaimana spontanitas masyarakat kita dalam menghargai orang lain berdasar penampilan. Orang bisa merendahkan orang lain, menganggap bukan siapa-siapa hanya karena penampilan yang papa. Realitas yang menguatkan akan terasa dalam kelompok-kelompok sosial yang suka membuli; kita bisa temukan sikap–yang bila ditelusuri ada menunjukkan mekanisme membeladiri– rela berhutang atau kredit untuk memiliki barang demi terhindar dari cemoohan atau ejekan.
Sementara mereka yang dianggap sukses mendapatkan jabatan, dan ‘sudah menjadi orang’ terus saja merusaha menjadi ‘orang besar’, dengan melibatkan diri dalam proyek-proyek yang anggarannya memungkinkan dia dapatkan keuntung pribadi.
Keuntungan ‘material’ selanjutnya akan menjadi modal untuk kontekstasi selanjutnya, termasuk dalam penguasaan hal lain. Maka jual beli jabatan dan korupsi dalam nalar ini jadi biasa, justru oleh mereka yang telah menjadi pintar oleh pendidikan.
Apakah pendidikan kita tidak berupaya menumbuhkan sikap kritis pada diri dan lingkungan? Tapi dari mana pula kita akan melihat tanda kesungguhan dalam menanamkan prinsip-prinsip pada peserta didik ? Kenyataannya hampir semua kesibukan dalam ruang belajar lembaga-lembaga pendidikan formal kita adalah mengejar kepintaran dengan serangkaian metode hafalan.
Pencapaian kognitif seolah menjadi puncak proses belajar yang ditandai dengan pencapaian nilai-nilai THB, UN atau kemenangan dalam Olimpiade mata pelajaran. Tentu ini tida sepenauhnya keliru, tetapi dengan demikian seolah pendidikan hanya memperkuat pikiran saja, padahal ilmu yang berguna bagi kehidupan adalah tidak hanya untuk memperkuat pikiran melainkan juga mempertajam hati dan sikap hidup yang indah.
Sulit disangkal sebagai pengelola pendidikan bahkan sebagai bangsa, kita sering melupakan hikmah pendidikan dari ki Hadjar bahwa pendidikan hasus berangkat dari relaitas kodrati manusia. Manusia tidak dapat disederhanakan hanya pada pikirannya saja. Pendidikan seharusnya makin memanusiakan manusia, dengan metode yang memerdekakan, sehingga pendidikan adalah proses yang memerdekakan.
Pendidikan karater atau budi pekerti telah menjadi hal biasa dalam perbincangan penyelenggara pendidikan tetapi bila melihat berbagai kejadian dalam masyarakat, bahkan dalam banyaknya kekerasan dalam lembaga pendidikan dengan pelaku termasuk dari pendidik, apa yang kurang didalami dengan serius? Apakah ‘tekanan’ efektifitas dalam sistem pendidikan yang menyebabkan proses berjalan secukupnya sesuai tagihan kurikulum, dan pendidikan sebatas menjadi pengajaran atau transfer pengetahuan dan ketrampilan aja?
Nyatanya para pendidik pun telah sangat disibukkan oleh berbagai urusan administrasi pendidikan yang sangat menyita waktu dan perhatian, pada saat sesungguhnya para pendidik juga membutuhkan penyegaran pengetahuan dan wawasan agar dapat menemani peserta didik mereka.
Barangkali inilah saatnya pendidikan kita mengahadirkan paradaigma baru yang memiliki orientasi memanusiakan manusia, memiliki prinsip-prinsip yang yang hadir melalui pembiasaan dan tauladan maupun dalam setiap metode yang memerdekakan, yang menghorati keunikan setiap manusia, yang tidak memaksakan penyeragaman dan menghargai keunikan setiap manusia serta menghargai setiap proses.
Sebuah paradigma pendidikan yang mengantar setiap peserta didik menjadi diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupan yang luas, termasuk berani hidup bersahaja sebagai keutamaan demi kelestarian seluruh alam.
Selamat hari pendidikan. Semoga bangsa ini sadar telah terlalu lama abai dengan warisan pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara.