Biarpun di RS fasilitas VIP dan kamar bagus, tetap lebih tenang istirahat di rumah. Apalagi saat sendiri di ruang isolasi Covid-19, lampu dinyalakan, terangnya maksimal. Dimatikan, gelap. Ada lampu di atas ranjang tidur, saat dinyalakan terlalu remang-remang.
Tiduran sambil kepikiran, entah siapa saja yang pernah mati di ranjang ini. Nah, ngapain juga mikir begitu, Lel. Hehe.
Jadi, awalnya aku di ruang isolasi sekamar sendirian. Lalu, dipindah sekamar berdua bersama pasien Covid-19 lain. Dia pulang, aku sendirian lagi. Kemudian, berdua lagi, bersama pasien Covid yang lain. Lalu, saat hasil tes Swab sudah negatif, sendiri lagi. Ganti kamar tiga kali.
Tiap ganti kamar dan menempati ranjang rumah sakit, ada sensasi perasaan tertentu muncul. Ranjang yang barangkali telah menyaksikan bermacam kematian. Dan, kini aku menempati ranjang itu, sendirian.
Menyaksikan sakaratul maut bukan hal baru buatku. Saat usiaku 9 tahun Bapakku meninggal dunia. Tak lama setelah itu, Kakekku menjelang ajal. Aku dan Budhe yang menungguinya. Masih ingat betul, kakinya yang mulai dingin dalam selimut hijau.
Lalu, saat usiaku 18 tahun, ibuku wafat, aku yang menunggui langsung di ranjang RS. Aku sempat menuntunnya membaca istighfar. Saat itu aku bersama Budhe. Aku tahu betul bagi seorang muslim seperti ibuku, kalimat terakhir yang diinginkan di ujung napasnya adalah syahadat. Pada ibuku, tidak sempat kubimbing baca syahadat karena tak menyangka itu hembusan napas terakhir. Ajalnya tiba jelang ashar. Namun, ibuku sempat salat dhuhur sembari berbaring. Tentu ada syahadat dalam tahiyat. Ibuku sebelumnya tak pernah sakit berat, hanya sakit kepala seminggu sebelum dirawat di RS. Kata dokter saat itu, ada virus yang menyerang saraf otak.
Tiap lihat ranjang RS, bayangan kematian-kematian sekelebat datang. Sadar sepenuhnya kematian bisa datang kapan saja. Sebenarnya tak perlu takut, tidak ada hutang apapun. Tidak punya tanggungan apa-apa.
Tentu aku masih ingin hidup lebih lama. Ada banyak alasan bagiku merawat rasa optimis. Banyak cita-cita hidup yang ingin kuraih. Bahkan, semangat kecil semacam aku harus menumbuk kopi usai pulang rumah sakit. Sebelumnya, seorang teman mengirimku biji kopi untuk memberiku semangat.
Banyak semangat dari teman-teman yang menginginkan aku segera pulih. Jika aku sembuh, tentu membuat mereka lebih optimis menghadapi wabah Covid-19 ini.
Saat badanku sedang greges-greges tak karuan dan berasa lelah, kadang tiba-tiba hadir semilir energi yang meringankan. Barangkali itu doa-doa, harapan, atau energi positif dari orang-orang. Sejenak aku hening untuk berterima kasih. Atau, bisa juga itu efek jahe, vitamin, atau makanan yang menghangatkan. Aku pun hening untuk berterima kasih. Pada alam dan orang-orang yang memperantai unsur-unsur ini sampai di tubuhku. Juga, terbekatilah semua tenaga kesehatan, petugas gizi, petugas kebersihan, dan siapapun yang bertaruh nyawa terlibat langsung merawat pasien Covid-19.
Sekali lagi, terima masih untuk setiap bantuan tenaga, materi, semangat, dan doa teman-teman semua. Semua turut berarti menguatkan aku. Saat ini, aku masih pemulihan, badan masih mudah lelah, hal biasa pasca Covid-19. Dan, aku yakin semua akan baik-baik saja. ❤️
Catatan 18 September – 6 Oktober 2020