Teman sekamarku, pasien Covid-19 yang saat itu hamil, hari ini memberi kabar baik. Akhirnya bisa keluar dari area isolasi Covid-19. Tapi masih di RS. Ia telah melahirkan secara Caesar minggu lalu dalam keadaan positif Covid-19.
Saat sekamar denganku hanya tiga malam. Tapi, setelah itu kami selalu komunikasi via WA. Teks maupun vidcall. Saat kami berpisah kamar, aku sebenarnya hanya pindah geser dua pintu dari kamarnya. Saat itu, hasil tws Swabku sudah lebih dulu negatif, dia masih positif Covid-19. Jadi, aku harus berjarak dengan pasien positif, dalam masa pemulihan. Tetap dalam kamar isolasi agar tak lagi terpapar.
Saat aku mau pulang, sebenarnya ingin masuk kamarnya untuk pamitan dan menguatkan dia yang akan melahirkan. Tapi, aku tak berpakaian APD. Ini berisiko tubuhku membawa virus kembali keluar. Apalagi teman sekamarnya batuk parah. Jadi hanya lewati pintunya dan kasih kabar lewat WA.
Ia tak tahu terpapar Corona dari mana. Ia seorang penyanyi panggung, tetapi sejak pandemi sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Selama ini tak pernah keluar rumah. Sebenarnya saat ke RS, niatnya untuk tranfusi darah karena HB rendah. Hasil pemeriksaan darah, terbaca rapidnya reaktif. Lalu, tes Swab, hasilnya positif.
Awalnya tidak ada gejala Covid-19. Kemudian, muncul pupnya tampak hitam dan lengket. Virus Corona diduga menyerang organ pencernaannya sehingga berdarah dan tampak dari fesesnya. Namun, dia tidak merasakan sakit apapun. Seminggu setelah di RS, tes Swab lagi, masih positif.
Mulanya akan segera Caesar selagi tubuh sedang kuat. Karena biasanya gejala Covid muncul lanjutan, takutnya semakin lama kondisi memburuk. Namun kemudian, ditunda dulu karena HB belum naik signifikan sembari menunggu sampai negatif. Saat tes Swab lagi, hasilnya masih positif. Dokter memutuskan dia melahirkan secara Caesar segera.
Usai melahirkan di ruang operasi, dia dibawa ke ruang pemulihan selama 4 jam. Suaminya diizinkan untuk menemani sementara.
Selanjutnya, dia dikembalikan lagi ke ruang isolasi Covid-19 lantai lima. Dia belum sempat menyentuh atau melihat langsung bayinya. Usai Caesar, bayi langsung dibawa perawat ke ruang khusus. Dijauhkan dari ibunya karena ibu masih positif Covid-19.
Selang tiga hari lahir, bayi tes swab. Aku sempat khawatir. Kasihan masih bayi merah dicolok hidungnya. Tapi katanya, pemeriksaan PCR terhadap bayi, caranya berbeda.
Senin, 5 Oktober 2020 ini, bayi tes Swab dan Selasa hasilnya keluar. Ikut deg-degan menunggu hasilnya, padahal bukan anakku. Bayi negatif Covid-19. Syukurlah. Setelah itu, si ibu pun tes Swab lagi, hasilnya negatif. Dan, hari ini si ibu keluar dari ruang isolasi Covid-19. Siap menggendong bayinya untuk kali pertama.
Lapangan ini adalah pemandangan dari jendela lantai lima dari kamar pasien Covid-19. Para anggota Brimob biasanya berolahraga di sini. Sendiri maupun berkelompok. Kadang mereka main bola.
Suatu sore, suami temanku ini bilang lewat video calling ingin lihat istrinya secara langsung di RS. Minimal lewat jendela kaca. Tapi, tidak mungkin kalau lewat pintu depan karena area isolasi Covid-19 memiliki pintu berlapis-lapis. Kusarankan agar suaminya lari di lapangan ini, lalu istri melambaikan tangan dari kaca lantai lima. Kebetulan suaminya Brimob juga, tentu bisa akses ke lapangan.
Rencana itu belum sempat diwujudkan. Itu akan dilakukan jika karantinanya nanti terlalu lama. Dia bahkan sempat merencanakan untuk membeli baju APD atau meminjam ke petugas untuk dipakai suaminya agar bisa menemani melahirkan.
Pada hari dia melahirkan, suami akhirnya diizinkan dokter untuk menemui istri langsung meski istri dalam kondisi positif Covid-19. Suami selama ini tidak terpapar Covid-19. Hadirnya suami membantu menguatkan istrinya menghadapi masa penting melahirkan.
Catatan 7 Oktober 2020
Hari ini, tubuhku masih mudah lelah. Cuma naik turun tangga sekali dan mandi, ngos-ngosan berasa usai ngepel lapangan. Dan, belum kuat mikir berat. Jangankan baca UU Omnibus Law, berita politik hanya sanggup baca judulnya saja. Berita baiknya, aku sudah bisa tidur nyenyak, tanpa muncul ketegangan di kepala.